Selasa, 30 September 2008

Fitri dan Rahmatan Lil'Alamin


Ketika Surya tenggelam di ufuk barat petang nanti, maka ber- akhir pulalah Bulan Ramadan 1429 Hijriah. Akan berlalu pula satu bulan suci.

Yakni bulan yang penuh magfirah, berkah dan tuntunan. Kepergiannya kita yakin akan meninggalkan kesan mendalam, khususnya bagi umat Islam yang selama sebulan penuh kemarin menghayati momen pendidikan spiritual dan tempaan jiwa raga ini.

Berikutnya, datanglah hari kemenangan, yang patut dirayakan. Namun sesudahnya, tibalah saat pembuktian, bahwa kita memang sudah jadi insan yang lebih baik dibandingkan sebelum Ramadhan. Selama sebulan penuh kita mendengar siraman rohani dari para ustadz dalam acara buka bersama, dan menjelang shalat tarawih. Juga yang kita peroleh sendiri dari tafakur pada malam hari.

Besar harapan kita, selain dosa hari kemarin diampuni, kita juga menjadi lebih tercerahkan, yang lebih penting lagi setelah ibadah Ramadhan, kita bisa kembali ke kondisi fitrah, sebagaimana hakikat Idul Fitri.

Dari ceramah para khatib, antara lain, kita diingatkan kembali akan kondisi fitri yang digambarkan seusai Ramadhan, yakni yang mengingatkan kita pada sifat bayi. Pada bayi terdapat sifat jujur karena ia tidak berpura-pura menangis minta susu kalau ia kenyang. Bayi juga juga tidak serakah karena ia hanya akan menyusu sampai ia merasa cukup, bukan menyedot habis saat sang ibu akan berangkat bekerja. Bayi juga memancarkan aroma wangi khas, yang membuat siapa pun ingin menciumnya dan tak keberatan bila diompoli.

Ya, kita memang merindukan sifat-sifat ideal seperti yang ada pada bayi justru ketika semakin terperangkap dalam berbagai hasrat duniawi yang sering membuat kita menjadi tidak jujur dan serakah.

Dimensi lain yang kita dambakan selain fitri atau suci adalah berkah atau menebarkan kebaikan. Berkah tidak saja bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain, bahkan bagi seluruh kehidupan di muka bumi.

Inilah kiranya yang diajarkan agama. Melalui ibadah puasa, yang dilaksanakan secara massal, tersirat makna ibadah ini untuk membangun kebersamaan. Seperti kita baca dari kolom Musa Asy’arie di harian ini kemarin, agama mengajarkan perlunya manusia membangun rasa kebersamaan dan kesatunasiban masa depan.

Seiring dengan itu pula, agama menegaskan agar manusia satu sama lain saling menghargai, saling belajar atas kekurangan dan kelebihan untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih sejahtera dan beradab.

Ketika kita usai menjalankan perintah agama pada bulan Ramadhan, semestinyalah wawasan kesadaran di atas semakin kita resapi. Kita semakin jauh dari laku yang kurang beradab, yang keluar dari kalbu yang tidak mulia. Sebaliknya, yang lalu sering kita perlihatkan adalah perilaku luhur, yang memancar dari hati yang suci.

Semoga berkah itulah yang kita dapatkan setelah kita berpuasa Ramadan.

Selamat Idul Fitri 1429 H, mohon maaf lahir batin.

***

Lebaran Paceklik Kebahagiaan


Selasa, 30 September 2008 | 00:38 WIB

Yudi Latif

Seorang sahabat memohon kepada pembantunya, ”Tolonglah, Lebaran ini tak mudik. Giliran saya pulang kampung. Nanti saya lipatkan gajimu.” Sang pembantu berkata, ”Maaf Tuan, saya tak mau.” Sang majikan merayu, ”Sudah dua puluh lima tahun saya tak pulang, sedangkan kamu setiap tahun.” ”Tapi, Tuan bisa berbahagia setiap hari, sedangkan kebahagiaan saya hanya setahun sekali.”

Inikah yang membuat antrean panjang pemudik bersepeda motor, bertaruh nyawa arungi hambatan, kemacetan, dan risiko kecelakaan? Apakah Ibu Kota sebagai ”ibu harapan” mengalami paceklik kebahagiaan?

Adalah William James yang menyatakan, kepedulian utama manusia dalam hidupnya adalah kebahagiaan. Bagaimana cara memperoleh, mempertahankan, dan memulihkan kebahagiaan merupakan motif tersembunyi dari tindakan kebanyakan orang. Juga dalam beragama. Kebahagiaan yang dirasakan orang dalam keyakinannya dijadikan bukti kebenarannya.

Pencapaian kebahagiaan tertinggi, ujar Viktor Frankl, bukan dalam keberhasilan, tetapi keberanian menghadapi kenyataan. Berbeda dari Freud yang menjangkarkan kebahagiaan pada kenikmatan-seksual dan Adler pada kehendak untuk berkuasa, Frankl percaya pada kehendak untuk menemukan makna (the will to meaning) sebagai sumber kebahagiaan tertinggi.

Namun, apa arti makna hidup jika sehari-hari senantiasa dirundung kemiskinan, kekalahan persaingan, pungutan liar, ketidakpastian hukum, tipu-daya partai politik yang hanya rajin mengibarkan bendera tanpa keterlibatan di akar rumput, dan pemimpin yang kepeduliannya sebatas menaikkan gaji dan harga tanpa sanggup memulihkan harapan.

Dalam kesulitan menemukan makna hidup ke depan, orang akan mencarinya dengan berpaling ke belakang. Kepulangan ke kampung halaman dengan segala klangenan-nya sambil merembeskan rezeki pada akar jati diri merupakan mekanisme katarsis demi mengisi kekosongan makna hidup.

Demikianlah, mudik lebaran merupakan peristiwa amat heroik. Kalah dalam hidup, berani menghadapi kenyataan. Tak seberapa rezeki terkumpul, gembira berbagi kepada sesama. Kegagalan negara menyediakan kerangka solidaritas fungsional bagi redistribusi kekayaan hingga ke pedesaan tertolong heroisme korban- korban pembangunan yang dengan solidaritas emosionalnya mampu membawa balik nutrisi ke akar.

Memulihkan kebaikan

Drama tidak berhenti di situ. Partai politik dan pemimpin pemerintahan yang mestinya menjadi wahana penguatan solidaritas fungsional lewat perundangan dan kebijakan negara yang berorientasi kesejahteraan dan pemerataan justru lebih berintervensi secara ad hoc dalam bentuk solidaritas emosional-karitatif. Partai dan pemimpin politik yang dalam kinerja institusionalnya lebih berpihak pada kepentingan korporatokrasi berlomba mengesankan populismenya secara aji mumpung seperti lewat tarawih keliling atau bantuan terbatas kepada pemudik.

Masih bagus jika usaha meraih dukungan dari para korban pembangunan masih senapas dengan semangat Idul Fitri. Semangat Idul Fitri adalah semangat persaudaraan universal, bahwa tiap anak manusia terlahir dalam ”kejadian asal yang suci”. Dalam kefitrahan manusia, Tuhan tidak pernah partisan—memihak seseorang atau golongan tertentu—tetapi kualitas keberserahan diri dan amal shaleh- nya.

Karena itu, atas nama semangat Idul Fitri, semoga partai politik tidak mengorbankan para korban dengan mengadunya di altar pemilu, atas nama ideologi komunalistik, demi kepentingan elitis. Sebaliknya, dengan semangat Idul Fitri, semoga kasih ketuhanan merembesi jiwa-jiwa suci, mengisi relung jiwa kepartaian yang memungkinkan suara kasih dan etik bergema dalam kehidupan politik.

Hanya dengan kemampuan memulihkan kebaikan cinta-kasih dan cinta-moralitas, kepadatan beribadah selama Ramadhan bisa menghadirkan kemenangan sejati. Nabi Muhammad bersabda, ”Maukah aku tunjukkan perbuatan yang lebih baik daripada puasa, shalat, dan sedekah? Kerjakan kebaikan dan prinsip-prinsip yang tinggi di tengah-tengah manusia.”

Surga di dunia

Para pemimpin dituntut untuk mawas diri. Dalam terang mawas diri, akan tampak, warga sulit mencari kebahagiaan karena tabiat para pemimpin yang melupakan (tak mensyukuri) kebahagiaan, karena rangkaian panjang keinginan yang tak pernah berakhir. Sa’di berkisah, ”Seorang raja yang rakus bertanya pada seseorang yang taat tentang jenis ibadah yang paling baik. Dia menjawab, ’Untuk Anda yang paling baik adalah tidur setengah hari sehingga tidak merugikan atau melukai rakyat meski untuk sesaat’.”

Adalah tugas para pemimpin untuk menciptakan surga di dunia dengan memulihkan kebahagiaan rakyatnya. Dunia dapat menjadi surga saat kita saling mencintai dan mengasihi, saling melayani, dan saling menjadi sarana bagi pertumbuhan batin dan keselamatan. Dunia juga bisa menjadi neraka jika kita hidup dalam rongrongan rasa sakit, pengkhianatan, kehilangan cinta, dan miskin perhatian.

Thich Nhat Hanh, dalam the Miracle of Mindfulness, mengisahkan seorang raja yang selalu ingin membuat keputusan yang benar mengajukan pertanyaan kepada biksu. ”Kapan waktu terbaik mengerjakan sesuatu? Siapa orang paling penting untuk bisa bekerja sama? Apakah perbuatan terpenting untuk dilakukan sepanjang waktu?” Biksu menjawab, ”Waktu terbaik adalah sekarang, orang terpenting adalah orang terdekat, dan perbuatan terpenting sepanjang waktu adalah memberi kebahagiaan bagi orang sekelilingmu.”

Dengan ”lebaran” (kepurnaan), semoga paceklik kebahagiaan berakhir. Dengan kembali fitri, semoga kita bisa suburkan kembali pohon kebahagiaan!

Yudi Latif Pengasuh Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan (PeKik-Indonesia)

Idul Fitri, Moralitas, dan Spiritualitas


Selasa, 30 September 2008 | 00:37 WIB

Said Aqiel Siradj

Puasa Ramadhan selama sebulan merupakan pelatihan diri yang amat positif. Hal ini terkait tuntunan untuk selalu meningkatkan kesadaran individual yang bersifat mental dan spiritual.

Dengan penguatan aspek kedirian itu, akan dicapai keberagamaan yang ideal, seimbang antara ritual dan spiritual. Modal keseimbangan akan berarti bagi pembangunan kultur bangsa.

Banyak orang menyebut abad ke-21 sebagai ”abad spiritualitas”. Meski terdengar sloganistis, penyebutan itu merefleksikan kecenderungan global yang ditandai pesatnya perhatian terhadap dunia mistik-spiritual. Wacana spiritualitas telah diperkenalkan sebagai cara baru dalam menumbuhkan penghayatan agama dan pada gilirannya memahami kenyataan secara menyeluruh dan mendalam. Dalam tingkatan tertentu, tren spiritualitas telah dikemas menjadi komoditas yang ditawarkan melalui iklan.

Kebangkitan spiritualisme itu bisa saja disebut perubahan revolusioner menuju ”zaman baru” (New Age), semacam harapan untuk meninggalkan ”zaman lampau yang penuh kegelapan”. Semua ini karena berbagai temuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggiring manusia ke jurang krisis kemanusiaan yang menyengsarakan

Standar moral

Kata moral sering diidentikkan dengan budi pekerti, adab, etika, tata krama, etiket, dan sebagainya. Dalam kosakata bahasa Arab, istilah itu sering disebut al-akhlaq atau al-adab. Al-akhlaq adalah bentuk jamak dari al-khuluq, artinya budi pekerti atau moralitas. Kata itu semula diproyeksikan sebagai sandingan kata al-khalq, berarti ciptaan.

Meskipun berasal dari akar kata sama (kha-la-qa), kedua istilah itu memiliki arti yang bersifat immateri dan permanen, sedangkan al-khalq sebagai partner keberadaan manusia yang bersifat materi, bisa dilihat, kasat mata, dan sementara. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Meniadakan salah satu berarti memudarkan jati diri manusia. Karena itu, manusia sejati (insan kamil) adalah pengungkapan ahsan taqwim, ciptaan Tuhan yang terbaik, yang baru terwujud jika antara al-khuluq memiliki irama dan ritme yang selaras dengan al-khalq.

Pengertian akhlak yang esensial itu merujuk sifat-sifat eksistensial yang melekat diri manusia. Manusia adalah tubuh dan jiwa yang menyatu sehingga manusia bisa hidup, bernapas, bergerak, berpikir, dan merenung.

Karena itu, dalam proses bertindak, manusia harus selaras dengan penciptaan yang telah dititahkan Tuhan. Maka, berakhlak baik (akhlaq al-karimah) berarti bersesuaikan langkah dengan hakikat penciptaan. Sebaliknya, berakhlak buruk (akhlaq al-madzmumah) berarti melanggar kehakikian penciptaan atau menerabas batas hukum Tuhan (sunnatullah). Jelasnya, berakhlak adalah keselarasan dengan hakikat penciptaan ilahiyah. Berakhlak adalah berseturut fitrah manusia yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang baik.

Alam dan isinya adalah anugerah Tuhan kepada manusia. Manusia diberi potensi mengolah dan menata alam secara kreatif, produktif, konstruktif, dan humanis. Dalam mengelola alam diperlukan tindakan moral yang baik agar tidak terjadi pembelokan dan perusakan yang menyengsarakan.

Dalam konteks moral, agama memberi petunjuk praktis dalam menyempurnakan moralitas manusia. Dalam diri manusia tersimpuh dorongan baik dan buruk (al-ba’its al-din wa al-ba’its al- syaithan). Agama tidak menyangkal, manusia dengan akalnya mampu membedakan antara baik (al-haq) dan buruk (al-bathil). Namun, agama mewartakan, hanya dengan akal manusia tidak akan mampu menangkap hakikat moralitas. Sebab, akal mudah terbelokkan oleh unsur lain dalam diri manusia, terutama apa yang disebut nafsu (syahwathiyah). Masalah moral boleh dikatakan amat lembut, sering meremangkan pandangan manusia.

Agama mengajarkan untuk selalu bersikap ramah kepada sesama, bersedekah, saling membantu (ta’awun) sehingga terbentuk kohesi dan solidaritas sosial (hablum min al-nas). Ini adalah ajaran moral standar yang secara ’aqliyah maupun naqliyah diterima. Islam menjunjung perenungan rasional (ta’aqqul, tadabbur, I’tibar), karena dengan itu manusia bisa merengkuh pemahaman secara baik.

Menuju spiritualitas

Dalam sejarah Islam, kita mengenal figur Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Farabi atau al-Ghazali yang menunjukkan bagaimana mereka menuntut ilmu dan menanamkan dimensi keagamaan dalam dirinya. Mereka tampil sebagai manusia komplet dalam memahami dan mempraktikkan ajaran agama. Akhlak, ketaatan syariah, intelektualitas, dan spiritualitas merasuk pada diri dan intensional.

Walhasil, puasa dan Idul Fitri kali ini dapat menjadi panjatan refleksi ulang untuk membangun cara dan pendekatan yang jitu. Bangkitnya intelektualitas, kesadaran keagamaan, serta spiritualitas dewasa ini bisa menjadi momentum untuk lebih menguatkan penanaman keagamaan.

Pergumulan terhadap dunia modern dengan segala kembangnya ini bukan lagi menjadi penghalang (mawani’), tetapi justru menjadi kesadaran baru untuk lebih menggiatkan kerja mulia demi membangun mentalitas, intelektualitas, dan spiritualitas bangsa sehingga mampu memberi warna ideal bagi pembangunan bangsa.

Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

Said Aqiel Siradj Ketua PBNU

Potensi Zakat Triliunan Rupiah


Manajemen Perlu Diatur Lebih Baik

Selasa, 30 September 2008 | 00:18 WIB

Jakarta, Kompas - Potensi zakat, yang pelaksanaannya merupakan salah satu dari lima Rukun Islam, bisa mencapai triliunan rupiah. Namun, sejauh ini pengorganisasian zakat tersebut belum optimal sehingga manfaatnya belum dapat dirasakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat di Indonesia.

Berdasarkan hitungan Kompas, potensi minimal zakat di Indonesia sebesar Rp 4,8 triliun. Asumsinya, penduduk Muslim 88,2 persen dari total penduduk Indonesia. Mengacu pada Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007, dari 56,7 juta keluarga di seluruh Indonesia, 13 persen di antaranya memiliki pengeluaran lebih dari Rp 2 juta per bulan. Dengan asumsi bahwa penghasilan setiap keluarga itu lebih besar daripada pengeluaran, minimal keluarga itu mampu membayar zakat 2,5 persen dari pengeluarannya. Dengan demikian, nilai totalnya menjadi Rp 4,8 triliun.

Survei Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) tahun 2007 menyebutkan, potensi zakat di Indonesia lebih besar lagi, yaitu Rp 9,09 triliun. Survei ini menggunakan 2.000 responden di 11 kota besar.

Pakar ekonomi syariah, Syafii Antonio, bahkan menyebut potensi zakat Indonesia mencapai Rp 17 triliun. Namun, hasil riset terbaru dari Ivan Syaftian, peneliti dari Universitas Indonesia, tahun 2008, dengan menggunakan qiyas zakat emas, perak, dan perdagangan, didapat data potensi zakat profesi sebesar Rp 4,825 triliun per tahun. Penghitungan ini menggunakan variabel persentase penduduk Muslim yang bekerja dengan rata-rata pendapatan di atas nisab.

Sementara itu, jumlah dana zakat yang bisa dihimpun Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) tahun 2007 sebesar Rp 14 miliar. Apabila digabung dengan penerimaan zakat seluruh lembaga amil zakat (LAZ) tahun 2007, dicapai Rp 600 miliar. Nilai ini hanya 12,5 persen dari potensi minimal yang ada jika asumsi potensi Rp 4,8 triliun.

Manajemen zakat

Direktur Eksekutif Baznas Emmy Hamidiyah berpendapat bahwa manajemen zakat perlu diatur lebih baik karena belum maksimal. ”Selama ini belum ada lembaga yang mengatur semua pengelola dan penyalur zakat. Sebaiknya ada kontrol sehingga penggunaan zakat dapat dirasakan umat,” kata Emmy.

Selama ini, pengelolaan zakat dilakukan Baznas, Badan Amil Zakat Daerah, dan LAZ yang tersertifikasi maupun yang tidak. Pengelola masing-masing mempunyai aturan main sendiri dalam operasionalnya.

Amin Abdullah, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, menuturkan, persoalan zakat melibatkan tiga aspek penting yang saling mengait, yaitu muzaki atau pemberi zakat, pengelola zakat, dan pengawas. Namun, hingga kini ketiga aspek itu masih jalan sendiri-sendiri. Akibatnya, optimalisasi potensi zakat dan pemanfaatannya belum bisa dilakukan. ”Selama tiga faktor ini tidak berjalan, potensi sebesar apa pun hilang,” ujarnya, Senin (29/9).

Syafii Antonio juga menyayangkan sebagian besar umat Muslim yang hanya memaknai zakat sebagai ibadah ritual. ”Zakat ibarat potensi besar yang mati sehingga belum bisa jadi tumpuan pengentasan kemiskinan,” paparnya.

Tragedi pembagian zakat di Kabupaten Pasuruan, 15 September, yang menewaskan 21 orang, merupakan pelajaran berharga.

Peneliti PIRAC, Hamid Abidin, menilai, pendayagunaan zakat kurang karena hanya menggunakan pendekatan santunan. Zakat masih lebih fokus pada delapan kelompok yang berhak menerima. Padahal, zakat berfungsi stra- tegis dalam pemerataan kekayaan, pemberdayaan ekonomi umat, aspek advokasi, dan pendidikan. (NDY/ACI/RWN/GIANIE)

Dekonstruksi Sosial Idul Fitri


Senin, 29 September 2008 | 03:00 WIB

Musa Asy’arie

Sebulan penuh kita berpuasa, memperbanyak zikir dan sedekah, serta tadabbur dan tafakkur pada malam hari. Kini, kita mengakhiri di puncak pencapaian Idul Fitri, yaitu kembali pada sifat dasar kesucian manusia.

Maka, lengkaplah puasa sebagai proses pendidikan dan latihan olah jiwa massal untuk membangun peradaban, mencintai kemanusiaan, dan mewujudkan pluralitas kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam kesatuan kehidupan.

Sudah ratusan, bahkan ribuan tahun umat Islam menjalankan ibadah puasa, tetapi mengapa, dalam kenyataan, perilaku antiperadaban justru kian meluas, seperti terjadinya konflik kekerasan dalam menghadapi perbedaan pemikiran dan keyakinan, makin merajalelanya korupsi yang jelas merugikan kehidupan rakyat, serta pemujaan atas kekuasaan yang mendegradasikan etika sosial keagamaan.

Tafsir agama yang antiperadaban

Semula, agama diturunkan sebagai jawaban untuk menyelamatkan dan memperbaiki realitas kehidupan manusia yang antiperadaban, yang menghancurkan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, dan keindahan demi kekuasaan duniawi, konflik kekerasan yang mencabik-cabik persaudaraan dan kemanusiaan yang universal demi perebutan kekuasaan kelompok dan golongan. Agama sebenarnya untuk manusia, bukan manusia untuk agama. Karena itu, agama untuk rahmatan lil’alamin, untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh kehidupan di muka bumi.

Agama sebenarnya datang untuk menyelamatkan kemanusiaan dengan mengajarkan perlunya manusia membangun rasa kebersamaan dan kesatu-nasiban masa depan. Agama menegaskan agar manusia satu sama lain saling menghargai, saling belajar atas kekurangan dan kelebihan untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih sejahtera dan beradab. Karena itu, manusia dilarang mempertuhankan karya ciptanya, kekuasaannya, dan ideologi politiknya, yang menjadi awal konflik kekerasan di mana satu sama lain berusaha saling memusnahkan.

Namun, dalam realitas sosial, ternyata ada paradoks fundamental di mana pengajaran agama justru menghancurkan peradaban. Agama umumnya mengajarkan, orang lain yang berbeda agama dipandang sebagai obyek, bukan subyek. Dalam istilah keagamaan, orang lain yang berbeda agama menjadi obyek atau sasaran dakwah, yang harus diluruskan agamanya, dan diusahakan beragama sama dengannya.

Tarik-menarik kepentingan tafsir agama yang dibumbui pemutlakan kebenaran atas tafsir agama masing-masing, lalu bersentuhan dengan kepentingan bisnis dan politik kekuasaan aliran dan golongan. Maka, terpicu konflik kekerasan berkepanjangan dengan memanipulasikan kemutlakan tafsir agama itu untuk kebenarannya sendiri. Peradaban yang semula hendak dibangun oleh agama justru kemudian jatuh dan dihancurkan oleh pemutlakan tafsir agama itu sendiri.

Memajukan peradaban

Kini, umat Islam ada dalam suasana Idul Fitri karena setelah melakukan olah jiwa massal selama sebulan, mereka kembali pada fitrahnya yang suci, seperti bayi yang dilahirkan kembali, bersih tanpa dosa. Sebagai bayi, kesucian yang dicapai melalui olah jiwa massal tidak akan berarti jika mereka kemudian kembali terjebak dalam kehidupan lama yang antiperadaban, sebagaimana perkembangan seseorang dari bayi hingga dewasa akan dipengaruhi pendidikan, pengajaran, dan lingkungan sosialnya.

Proses pengulangan kehidupan yang antiperadaban terus akan berulang setiap tahun dan kita tidak mampu lagi keluar dari jebakan kehidupan antiperadaban yang berlangsung lebih lama—selama 11 bulan—daripada olah jiwa massal yang hanya sebulan. Jika jebakan realitas kehidupan sosial yang antiperadaban itu tidak dirombak, olah jiwa massal akan menjadi sia-sia karena kita tidak akan pernah mampu membangun suatu peradaban baru yang lebih maju lagi.

Karena itu, diperlukan upaya dekonstruksi sosial peradaban, dengan melakukan reaktualisasi, rekonstruksi, dan restrukturisasi sosial lama yang antiperadaban, dengan struktur sosial baru yang dapat memajukan peradaban. Perbaikan struktur sosial yang baru harus terus didasarkan reaktualisasi terhadap pemahaman keagamaan agar pendidikan dan pengajaran agama tidak antiperadaban, tidak antirealitas, dengan membuka cakrawala pemikiran keagamaan yang dapat menerima kebenaran dari mana pun datangnya untuk bersama-sama mewujudkan kehidupan saling menghormati atas adanya perbedaan.

Dunia pendidikan dan pengajaran agama dalam kehidupan kita, yang selama ini antiperadaban, harus dikembalikan kepada pendidikan dan pengajaran agama untuk memajukan peradaban. Jika tahun depan alokasi pendidikan pada APBN 2009 mencapai 20 persen, pendidikan peradaban ini penting diperhatikan agar pendidikan nasional dapat memajukan peradaban bangsa, agar peradaban kita sejajar dengan bangsa lain.

Pada hakikatnya, pendidikan nasional adalah bagian dari peradaban bangsa, yang bertugas mengembangkan intelektualisme, menghargai pluralitas, meninggikan rasionalitas dan kebersatuan. Karena itu, pendidikan nasional sebenarnya tidak boleh mendegradasi peradaban bangsa itu sendiri, seperti terlihat gejalanya sekarang, di mana konflik kekerasan justru terjadi di dunia pendidikan, seperti tawuran dan perusakan pilar-pilar akademik yang menjunjung tinggi rasionalitas, justru terjadi di perguruan tinggi kita yang seharusnya dijauhkan dari sikap-sikap antiperadaban. Perguruan tinggi adalah pusat peradaban, bukan pusat kebiadaban.

Idul Fitri adalah momen kemanusiaan yang tidak boleh berlalu begitu saja karena semangat untuk kembali pada kesucian dasar manusia, pada hakikatnya, merupakan tonggak pencapaian spiritualitas baru untuk menghadapi tekanan kekuasaan duniawi yang kian vulgar. Tanpa kembali pada kesucian dasar manusia, tidak ada jalan keluar untuk membangun peradaban baru yang lebih manusiawi.

Musa Asy’arie Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Idul Fitri Liberatif


Senin, 29 September 2008 | 00:36 WIB

Radea Juli A Hambali

Idul Fitri adalah hari istimewa, bukan hanya karena sarat makna spiritual, tetapi juga menjadi locus dari semangat liberatif berdimensi sosial.

Mengapa Idul Fitri dapat menjadi locus bagi semangat liberatif? Pertama, masalah yang tak habis diurai adalah kemiskinan. Sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi, penanganan kemiskinan masih menemukan kendala.

Melalui sejumlah pilkada, pemimpin datang dan pergi. Namun kehadirannya selalu tak mampu mengenali dan memberi jalan keluar bagi rakyat yang terjerat kemiskinan. Sementara itu, negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru tak berdaya. Negara tidak dapat menyediakan kebutuhan pokok rakyat seperti pendidikan, layanan kesehatan, rasa aman, penyediaan bahan pokok (gas dan minyak tanah).

Kedua, korupsi sudah menjadi endemi di republik, menyebar menjadi kegemaran siapa pun. Dan, korupsi telah menyergap lembaga terhormat (DPR/DPRD, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung) yang seharusnya menjadi benteng dan simbol terakhir pemelihara suatu kehendak umum menjadi bangsa yang punya harga diri dan bermartabat.

Ketiga, aura kehidupan sosial republik masih sarat kecurigaan terhadap kehadiran ”yang-lain” (the others). ”Yang-lain”, baik dalam ideologi, etnis, nilai, atau keyakinan, dipersepsi sebagai ancaman. Karena nurani terpasung dan akal tak mampu bekerja proporsional, cara menyelesaikan kehadiran ”yang-lain” sering tampil dalam wajah menakutkan. ”Yang-lain” kerap menjadi pesakitan, korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.

Sebagai bangsa dengan cita-cita besar, tidak seharusnya tiga masalah itu membuahkan sikap pesimis, apatis, dan berdiam diri untuk tidak mengusahakan perubahan. Tiga hal itu seharusnya menjadi pemantik semangat bagi umat Islam untuk mengusahakan tata kehidupan sosial yang adil dan sejahtera sesuai cita-cita republik sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD ’45.

Fitrah

Secara spiritual, Idul Fitri adalah momen yang mengabarkan kembalinya manusia kepada bentuk asli dan primordial: kesucian (fitrah). Menurut Cak Nur (2000), secara kebahasaan, fitrah mengandung pengertian sama dengan khilqah, ”ciptaan” atau ”penciptaan”. Akan tetapi, secara peristilahan, fitrah berarti ”penciptaan yang suci”.

Jika dirunut pada pengertian paling fundamental, Idul Fitri yang dimaknai ”penciptaan yang suci itu” adalah ajaran dasar agama yang menandaskan, manusia segera sebelum dilahirkan ke dunia pernah mengadakan ”perjanjian primordial” (ahd, primordial covenant) dengan Tuhan.

Isi ”perjanjian primordial” ini berupa kesediaan manusia (dalam alam rohani) untuk hanya mengakui dan menerima Allah sebagai satu-satunya sosok yang wajib dipercayai dan disembah.

Idul Fitri akan bermakna jika tidak hanya ditempatkan sebagai peristiwa spiritual, tetapi juga diletakkan sebagai locus bagi munculnya semangat liberatif dalam hal penataan kehidupan sosial yang adil dan beradab.

Implementasi semangat liberatif Idul Fitri adalah kesediaan umat Islam menjadi teladan par excellence dalam hal toleransi dan tenggang rasa terhadap kehadiran ”yang-lain” dan menempatkannya sebagai bagian dari faktisitas kehidupan.

Idul Fitri liberatif

Idul Fitri liberatif adalah spirit agama paling nyata tentang bagaimana membebaskan masyarakat dari jerat kemiskinan, ketidakberdayaan, kesewenangan, dan perilaku zalim yang dapat merusak tatanan masyarakat madani. Masyarakat madani adalah suatu tatanan sosial di mana agama tidak hanya dinyatakan sebagai sekumpulan dogma, tetapi ikut terlibat aktif ”politik emansipatoris” dan ”politik kehidupan” (istilah Anthony Giddens).

Pada aras emansipatoris, agama menjadi kekuatan yang bertujuan menghapus eksploitasi, ketidaksamaan, dan penindasan. Pada aras kehidupan, agama menjadi pionir yang memberi motivasi tentang aktualisasi diri, kepedulian moral, dan eksistensi yang dimarginalkan oleh aneka tindakan tidak adil.

Dengan politik emansipatoris dan politik kehidupan, diharapkan agama menjadi kesadaran yang ”melihat” (to see) secara obyektif, ”mempertimbangkan” (to judge) secara jernih, dan ”bertindak” (to act) secara bijak saat berhadapan dengan gejala dan kenyataan sosial yang dihadapi.

Idul Fitri liberatif adalah visi kerohanian baru yang mendaku agama bukan sebagai hypostase (Hans Kung). Dia tidak ada di langit Plato yang sempurna, dari sana menjadi perantara manusia dan Tuhan, tetapi selalu merupakan agama manusia biasa yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan.

Maka, benar yang dikatakan para teolog modern, ”agama bukan suatu hakikat metafisik, yang tak mengandung gerak dalam dirinya, dan mantap dalam keabadian: pergolakan yang dihadapi manusia selalu menjadi pergolakan agama”.

Radea Juli A Hambali Dosen Teologi dan Filsafat Universitas Islam Negeri SGD Bandung

Minggu, 28 September 2008

Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia: Masa Depan Islam Indonesia

Suaedy

Oleh Ahmad Suaedy*

Berbicara tentang pemikiran dan gerakan Islam, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari amatan terhadap kekuatan-kekuatan politik yang sedang berlangsung sekarang ini dan momentum-momentum yang sedang akan segera berlangsung, baik dalam skala nasional maupun lokal. Tahun 2008-2009 adalah tahun di mana proses politik berlangsung sangat intensif guna menghadapi momen paling krusial dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang keduanya akan berlangsung pada 2009.

Kedua pemilu ini, kalau bisa dan semoga benar-benar terjadi, hasilnya bukan saja akan menentukan arah dan model demokrasi yang telah terbangun sejak runtuhnya Orde Baru, melainkan juga orientasi filosofi dan arti kemerdekaan bangsa Indonesia itu sendiri. Seluruh persaingan dan pertaruangan tersebut sesungguhnya adalah pertarungan antar kekuatan Islam sendiri; dan tak ada persaingan dan pertarungan politik pun yang tanpa melibatkan unsur Islam.

Jadi, Islam kini sudah berada di tengah arena pertarungan itu sendiri, entah sebagai landasan bertindak atau ideologi, dan dengan demikian, ditawarkan sebagai alternatif dari bentuk negara dan masyarakat yang telah ada dan berlangsung; entah sebagai komoditi politik untuk tujuan kekuasaan dan meraih dukungan semata; entah sebagai sebuah cita-cita ideal yang diimpikan sebagai bentuk ideal dari bentuk terbangunnya integrasi Islam-bangsa Indonesia yang otentik.

***

Mark Woodward (2001), misalnya, mengelompokkan respon Islam atas perubahan paska Orde Baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.

Pertama,indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam, tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan ritual lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut Clifford Geertz sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Dalam hubungan politik dan agama, secara given mereka mengikuti cara berpikir sekuler dan enggan membawa masalah agama ke ranah negara dan sebaliknya.

Kedua, kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan “Arabisme” ke dalam kehidupan keislaman sehari-hari.

Ketiga, Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah, organisasi terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama. Ia berbasis pada pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Ia misalnya, dalam arus utamanya, menolak ekspresi lokal dan lebih mengukuhkan ekspresi puritanisme yang lebih menonjolkan “ke-Arab-an”.

Keempat, Islamisme atau Islamis. Gerakan yang disebut terakhir ini tidak hanya mengusung Arabisme dan konservatisme, tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran kalau Jihad dan penerapan Syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini. Kelompok ini juga tidak segan-segan membentuk barisan Islam paramiliter untuk melawan siapa saja yang diidentifikasi sebagai musuh Islam yang mereka definisikan.

Kelima, neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Ia berasal dari berbagai kelompok, termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Mereka biasanya tergabung dalam berbagai NGO dan institusi-institusi riset, perguruan tinggi Islam dan pemimpin Islam tradisional tertentu. Mereka juga melakukan pencarian tafsir baru terhadap berbagai doktrin Islam berlandaskan pada realitas masyarakat dan penggunaan filsafat dan metode-metode baru seperti hermeneutika.

Sementara itu, Peter G Riddel (2002) membagi menjadi empat kekuatan Islam Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru; yaitu modernis, tradisionalis, neomodernis dan Islamis. Secara umum, Riddel sepaham dari definisi masing-masing kategori dengan mengabaikan satu kategori dari Woodward, yaitu indigenized Islam. Bagi Riddel, masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu krusial di tahun-tahun periode pertama pasca Pemilu pertama runtuhnya Orde Baru, yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain, kembali ke Piagam Jakarta, krisis Maluku, membuka hubungan dagang dengan Israel, negara Indonesia federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, preisden perempuan, dan partai politik yang baru dibuka kran-nya setelah Orde Baru runtuh.

***

Meskipun berbeda kategori dengan dua pengamat di atas, saya sepakat ada empat kekuatan Islam saat ini menjelang Pemilu 2009, yang merupakan cermin dari pemikiran dan gerakan Islam. Meskipun masing-masing kekuatan ini cukup kompleks untuk dijelaskan secara komprehensif, namun saya ingin menunjukkannya dengan cara sederhana, yakni dengan menunjukkan simbol sentral dan karakter utama dari pemikiran atau gerakan, atau idealisasi dan para pendukungnya.

Pertama , kekuatan Megawati dengan PDI-P-nya. Selama ini PDI-P dianggap sebagai kekuatan nasionalis yang, dalam peta politik tradisional, Orde Lama dan Orde Baru, diperhadapkan dengan arus politik atau partai Islam. Menurut saya, PDI-P tidak bisa lagi dipandang partai nasionalis vis-a-vis Islam. PDI-P dengan simbol Megawati-nya adalah partai yang juga setidaknya didukung oleh sebagian besar pemeluk agama Islam.

Yang menjadi ciri keislaman PDI-P, adalah bahwa Islam bukan sebagai dasar bertindak dan hampir tidak memiliki basis intelektual keislaman. Dan secara given mereka meyakini bahwa agama terpisah dari politik. Paham ini bukan hanya datang dari paham sekuler Barat, melainkan juga datang dari kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, itu sendiri dengan apa yang oleh Woodward di atas disebut sebagai indigenized Islam.

Namun secara argumentatif, kelompok ini akan mengalami kesulitan untuk menjawab tuntutan dari kelompok Islam lain, seandainya ada tuntutan tertentu dari mereka, karena tidak memiliki basis intelektual Islam untuk menjawab mereka. Sehingga, kelompok ini akan lebih memainkan kekuasaan untuk menjawab tuntutan tersebut ketimbang argumentatif. Akibatnya, ia akan bergantung pada kekuatan negosiasi. Jika negosisasi kalah dan akan mengganggu kekuasaan mereka, maka mereka akan memilih mempertahankan kekuasaan dengan mengakomodasi tuntutan, betapa pun prinsipnya tuntutan tersebut.

Kedua, Golkar. Kita belum tahu siapa simbol figur sentral partai warisan Soeharto ini. Namun bisa diduga, calon presiden Golkar akan berasal dari Islam yang berpandangan modern atau modernis –dalam kategori akademik lama. Ciri model ini adalah pragmatis. Apapun tuntutan mayoritas anggota maupun masyarakat, akan menjadi acuan pengambilan keputusan asalkan partai ini tetap bisa meraih atau mempertahankan kakuasaan.

Partai ini memiliki banyak intelektual, termasuk intelektual Islam, tetapi orientasinya sangat tergantung pada kekuasaan tersebut. Ini bisa dilihat dari berbeda-bedanya orientasi partai ini dari daerah satu ke daerah lain, tergantung tuntutan utama mayoritas muslim di tempat tersebut. Sehingga seperti juga pada kekuatan pertama, negosiasi akan menjadi senjata utama kekuatan ini, bahkan dalam hal yang sangat prinsipil sekalipun.

Ketiga, kekuatan Gus Dur. Dari sudut partai, kekuatan Gus Dur tidak sebesar dua kekuatan sebelumnya. Namun dukungan terhadap pemikiran dan gerakan tokoh ini merata di hampir semua kelompok dan kekuatan, kecuali kelompok yang benar-benar Islamis yang menolak pandangan pluralisme atau kepelbagaian dan anti toleransi.

Banyak orang yang mengakui kebenaran pandangan dan gerakan Gus Dur, meskipun banyak yang kuatir dan takut mengikuti ideal Gus Dur, karena dia sering mengabaikan keuntungan material dan politik serta tidak peduli dengan citra diri demi mempertahankan prinsip. Ciri dari kekuatan ini adalah di samping basis intelektual kislaman yang tinggi juga memiliki prinsip keindonesiaan yang sangat kuat. Jika dirunut dari geneologi pemikiran dan gerakan ini, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, mungkin inilah tradisi yang paling otentik dari Islam-Indonesia. Ia berbasis pada pandangan tradisi Islam nusantara, tetapi memiliki geneologi yang kuat pada sejarah Islam paling awal sebagai sebuah tradisi yang terus berkembang dan beradaptasi.

Di tangan kelompok ini, Islam terus berkembang tanpa meninggalkan nilai intrinsik dan keasliannya. Kekuatan ini sulit berkompromi dengan masalah-masalah yang idiil menyangkut ke-Islam-Indonesia-an: ada di dalamnya unsur-unsur penghormatan terhadap tradisi yang hidup dan berkembang di masyarakat serta hak-hak intrinsik warganegara, seperti misalnya hak untuk beragama dan berkeyakinan serta hak untuk memperoleh kehidupan yang layak. Kelompok ini sangat ideal sebagai sebuah cita-cita, namun sangat sulit memenangkan pertarungan di masa yang sangat pragmatis dan serta jalan pintas seperti sekarang ini.

Dalam ekonomi, kalau kita boleh bercermin pada kepresidenan Gus Dur waktu lalu, maka mungkn Gus Dur bukan orang yang anti neoliberal, namun cenderung ingin membangun kekuatan ekonomi baru seperti poros India-China-Indonesia demi kemandirian rakyat di kawasan ini tanpa harus menimbulkan ketegangan yang berlebihan.

Keempat, kekuatan SBY. Karena SBY sedang berkuasa, maka lebih mudah dinilai. Melihat sepak terjangnya sebagai presiden, maka dengan mudah bisa dilihat, bahwa dari sudut agama ia mewakili arus kanan atau islamis dan agen paling telanjang dari neoliberal dari sudut ekonomi. Adalah bukan kebetulan, bahwa SBY dalam agama mengikuti arus MUI yang anti toleransi dan anti pluralisme, bukan pula kebetulan mengangkat KH. Ma’ruf Amin, juru bicara paling vokal anti pluralisme dan aliran sesat, sebagai anggota Wantimpres bidang agama.

Kasus Ahmadiyah dan Tragedi Monas berdarah memperlihatkan pandangan yang diderivasi menjadi kebijakan presiden SBY, bahwa SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah, misalnya, dikeluarkan pada saat istana dikepung oleh kaum proponen Rizieq Shihab, ketua Umum FPI yang anti pluralisme dan toleransi. Bisa dikatakan, dalam kasus SKB Ahmadiyah, SBY bertekuk lutut di bawah tuntutan Rizieq dan Munarman (Panglima Komando Laskar Islam). Hal itu terjadi karena lingkaran pertama kekuasaan SBY adalah partai-partai Islam, yaitu PKS, PBB, PKS dan PD. Tiga partai yang disebut pertama dikenal sebagai partai militan Islam, sedangkan PD tidak memiliki cukup sumberdaya intelektual untuk berdebat dengan ketiga partai di atas.

Di pihak lain, di bidang ekonomi, selama pemerintahan SBY, meskipun dari sudut angka-angka makro ekonomi cukup stabil karena bertumpu pada modal luar negeri yang bersifat sangat sementara, tetapi dalam waktu yang sama fondasi ekonomi nasional runtuh. Lihatlah penurunan hasil minyak bumi, pasokan listrik, pasokan gas, minyak goreng dan BBM di dalam negeri. Belum pernah fenomena pemandangan rakyat antri makanan, BBM, minyak goreng serta gizi buruk seperti terjadi pada pemerintahan SBY ini. Tetapi pada saat yang sama, seorang menteri yang juga pengusaha kolaborasi SBY menjadi orang terkaya se Asia Tenggara untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia.

Karena itu, kekerasan antar agama yang tidak pernah ditangani secara normal dan terpeliharanya kakum Islamis, menurut saya, praktis merupakan strategi pemerintahan ini untuk merawat dukungan Islamis demi Pemilu 2009. Demikian juga ketegangan yang sebenarnya sumir, yang terus terjadi seperti aliran sesat, termasuk di dalamnya Ahmadiyah, tidak lain untuk merawat sentimen Islam untuk tujuan yang sama. Dengan demikian, SBY dengan kekuatan pendukungnya adalah representasi Islam kanan tersebut. Makanya jangan heran kalau ketegangan seperti ini akan terus dipelihara sampai Pemilu 2009.

***

Melihat hal ini, ada beberapa isu yang perlu dicermati. Pertama, hubungan antar agama di mana campur tangan pemerintah mulai menggurita, karena menjadi bagian dari strategi merawat dukungan. Fenomena ini diperkirakan akan terus berkembang, bahkan akan merasuk ke UNDANG-UNDANG, peraturan pemerintah tingkat pusat maupun daerah. Saya berharap tidak sampai pada konstitusi, meskipun hal ini tidak bisa diabaikan kemungkinannya. Ujungnya, akan terjadi dominasi kelompok tertentu dan diskriminasi atas kelompok yang lain, pada tingkat paling basis, yaitu konstitusi dan UU.

Kedua , kemiskinan dan antri. Dua kata ini akan terus saling berkait dan selama tidak ada perubahan strategi ekonomi yang signifikan, kata ini mungkin akan bertambang, yaitu kematian, disamping gizi buruk. Penguasaan sumberdaya alam oleh asing akan segera disusul dengan efisiensi melalui regenerasi mesin dan mengabaikan tenaga kerja manusia. Yang terjadi kemudian adalah pengangguran luar biasa. Imbasnya mudah diduga; kemiskinan, antri, gizi buruk dan bahkan kematian.

Ketiga , penguasaan sumberdaya alam. Orientasi ekonomi pemerintahan ini tampaknya sejak awal memang dirancang mengikuti arus besar ekonomi dunia, yaitu neoliberal. Pada batas waktu tertentu, Indonesia mungkin tidak akan memiliki sumberdaya alam yang dikelola sendiri, melainkan seluruhnya akan di”borong”kan kepada modal asing dengan masa kontrak sangat panjang dengan pengelolaan efisien untuk menggenjot keuntungan.

Keempat , gerakan Islamis. Pemerintahan sekarang ini, terutama SBY, tidak saja diduga kuat memiliki pemahaman yang sejalan dengan Islamis, dan juga tiga partai lingkaran utama di atas, melainkan SBY tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam dan gerakan Islam. Sehingga apapun yang menguntungkannya akan diambil, bahkan dalam hak yang prinsipil sekalipun seperti hak untuk beragama dan berkeyakinan. Jika tidak ada keberanian untuk mengubah orientasi pemerintahan sekarang atas gerakan Islamis, mereka akan segera masuk lebih dalam ke dalam keseluruhan badan negara dan pemerintahan ini.

***

Saya tidak akan memberikan saran kepada PMII untuk mengikuti arus mana atau bahkan membuat arus baru. Tetapi komitmen atas rakyat sebagai organisasi yang berasal dari arus paling grassroot, serta visi ke-Islam-Indonesia-an mungkin harus menjadi pertimbangan utama. Tampaknya hanya dengan cara itu, Islam Indonesia akan tetap eksis dalam menatap masa depan.

Terima kasih.
Kampung Rumbut, 13 Juli 2008

Islam di Tengah Percaturan Global

Oleh KH. Dian Nafi*
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu … ” (Qs. Al-Baqarah: 143).

Pokok ayat itu antara lain adalah pada frasa ummatan wasathan. Terjemahan Departemen Agama menyepadan artinya dengan “umat yang adil dan pilihan”. Sementara Muhammad Sayyid Thanthawi, menambahkan pula makna “umat yang dibersihkan dengan ilmu dan amal” (Tafsir Al-Wasith Juz I: 227).

Kombinasi ilmu dan amal adalah karya, yang dalam pergumulan antargenerasi akan membangun peradaban. Dengan begitu, maka tulisan ini lebih melihat Islam sebagai kenyataan empirik lintas bangsa.

Dalam melihat Islam sebagai kenyataan manusiawi ini kita berutang budi kepada Ibnu Khaldun. Melalui karyanya, Muqaddimah dan komentar sejumlah pakar dari beberapa generasi dan universitas, terlihat ulama yang satu ini adalah peletak dasar kajian sosiologi empirik (Shameela eBook).

Titik temu antara Islam sebagai ajaran dan kenyataan manusiawi menjadi perjuangan komunitas muslim di seluruh dunia. Untuk itu pantas jika kita mempertimbangkan empat segi pokok dari sekian banyak tawaran Ibnu Khaldun yang dapat kita jadikan sebagai tolok ukur sukses suatu bangsa dan umat dalam mengarungi kehidupan mereka.

Pertama adalah segi pandangan hidup. Pandangan hidup menjadi penentu maju dan mundurnya umat. Pentingnya pandangan hidup bisa kita pahami dari tamsil sederhana. Di tangan orang yang berpandangan hidup baik, sepeda bekas bisa menjadi kendaraan andal. Dan di tangan orang yang berpandangan hidup buruk, sepeda baru akan segera menjadi perangkat rusak. Umat yang berpandangan hidup baik memberikan sumbangan besar dan berharga bagi perkembangan peradaban. Dan sebaliknya, umat yang berpandangan hidup buruk akan menyisakan persoalan besar bagi kehidupan di dunia ini.

Kedua adalah segi cara hidup. Pandangan hidup yang baik ternyata tidak cukup, karena dunia ini adalah alam ikhtiari, yaitu lingkungan hidup strategik yang akan terjaga baik jika disertai upaya cerdas, terencana dan berkelanjutan. Upaya itu membentuk cara hidup. Dalam lingkup antarbangsa dewasa ini terlihat jelas. Cara hidup yang mengabaikan kedaulatan pangan membuat suatu bangsa menjadi kelas penggarap sekaligus pasar bagi produk pangan bangsa lain.

Ketiga adalah tempat hidup. Banyak bangsa hidup di alam yang subur dengan iklim yang bersahabat tetapi lambat beranjak lebih maju dibandingkan lainnya. Sementara bangsa lain hidup di alam tandus dengan iklim yang ganas tetapi mampu berkembang menjadi lebih kuat dan makmur. Pesannya jelas. Kesungguhan dan kesinambungan untuk mencerdasi tempat hidup lebih penting daripada mengeluhkan dan menyalahkannya.

Keempat adalah peralatan hidup. Manusia hidup membutuhkan peralatan. Babakan sejarah manusia pun bisa dilihat dari penggunaan dan penguasaan mereka atas peralatan. Manusia nomaden menguasai dan membutuhkan sedikit alat. Semakin maju peradaban maka semakin banyak pula peralatan yang dikuasai dan dipergunakan.

Di sinilah peradaban terpahami terutama dari keragaman peralatan. Sejarah kita mengenal tokoh-tokoh hebat dan karismatis seperti Nabi Khidlir AS. Nabi Musa AS yang belajar pada tokoh ini “tidak lulus”, tetapi yang diangkat sebagai Rasul justru Nabi Musa AS.

Hikmah apa di baliknya? Nabi Musa AS adalah sosok yang mudah diikuti jalan berpikirnya, bekerja dalam tim manajerial, dan membangun kepemimpinan. Dan tokoh semacam Nabi Khidlir AS lebih tepat dalam peran sebagai penasihat dan penjaga standar moralitas.

Andai kehidupan kita didominasi oleh orang-orang yang mampu mengajar tanpa buku, gedung, dan alat tulis, tentu tidak akan kita jumpai sekolah, madrasah, atau pesantren seperti sekarang. Untuk itu masuk akal jika Ibnu Khaldun melihat kemajuan suatu kawasan dari keragaman dan keterencanaan bangunan di dalamnya. Semakin maju, semakin beragam pula jenis bangunan yang dibutuhkan, terencana dan bermanfaat.

Uraian ringkas di atas bisa menjadi perangkat evaluasi kita dalam melihat Islam di tengah percaturan global dari zaman ke zaman.[]

*Pengasuh Ponpes Al Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura Sukoharjo.

(Solo Pos, Rabu, 10 September 2008 ).

Teologi Zakat

Oleh: Abdul A’la*


Tragedi maut pembagian zakat di Pasuruan beberapa hari lalu bukan hanya memperlihatkan kesalahan teknis pemberian zakat yang selama ini berjalan. Bukan pula persoalan ketidakpercayaan masyarakat terhadap amil zakat.

Hal yang lebih mendasar, kejadian itu juga menelanjangi pola keberagamaan sebagian umat Islam yang masih berada dalam tataran tekstual semata serta belum menyentuh inti dan substansi ajaran agama yang mereka anut.

Fenomena kuat pembagian zakat selama ini lebih menampakkan sifatnya yang karitatif, semata sebagai sikap belas kasihan dari orang berpunya kepada kelompok masyarakat yang miskin.

Bisa juga, aktivitas itu sekadar muncul dari kewajiban para muzakki untuk menyebarkan pembagian zakat tanpa mau tahu lagi dampak pemberian mereka. Mereka tidak atau kurang menyadari pesan moral dan ajaran inti agama di balik kewajiban berzakat.

Akibatnya, setiap tahun bermiliar-miliar harta zakat di Indonesia keluar dari kantong hartawan muslim, tapi setiap tahun pula uang itu nyaris tidak berbekas apa pun bagi masyarakat miskin.

Mereka, para penerima zakat, umumnya tetap miskin dan tetap berada dalam buaian sesaat, mengharap tahun depan mendapatkan kucuran setetes harta lagi untuk menyambung sehari atau dua hari hidup mereka.

Dengan pola semacam itu, kesenjangan antara elite hartawan dan masyarakat miskin tetap melebar tajam, khususnya di negeri ini. Tidak berlebihan jika dikatakan, sampai derajat tertentu sedekah atau zakat karitas lebih menampakkan nuansa pamer harta dari si kaya; sekadar meneguhkan kekuasaan mereka terhadap kaum yang lemah.

Pemberdayaan Umat
Dalam perspektif Islam, monoteisme sebagai pengakuan atas keesaan Allah pada saat yang sama sejatinya berimplikasi secara teologis kepada umat Islam untuk mengakui kesetaraan umat manusia. Konkretnya, konsep monoteisme ini meniscayakan setiap muslim untuk berupaya menyebarkan dan mengarusutamakan kesetaraan dan segala derivasinya, dari solidaritas sosial hingga kesejahteraan hidup dalam dunia ini.

Kehadiran Adam (as) dan Hawa ke surga sebelum dilepas ke dunia -sebagaimana dinyatakan Alquran dalam Surat Thaha 117-119- merepresentasikan seutuhnya ajaran monoteisme Islam yang transformatif tersebut.

Melalui "studi wisata" ke surga itu, Nabi pertama tersebut dituntut untuk melabuhkan pola kehidupan surgawi di alam ini. Adam dan anak turunannya serta seluruh umat manusia bertugas sebagai khalifah Allah dengan peran melepaskan manusia dari derita kekurangan pangan, membebaskannya dari sakit kekurangan sandang, dan menyediakannya papan yang layak. Umat Islam dengan iman yang diyakini harus melabuhkan kehidupan dengan sandang, pangan, dan papan yang cukup, serta lingkungan yang asri.

Kesetaraan dan kesejahteraan tentu tidak akan pernah membumi kukuh manakala di sana tidak ada keadilan sosial, ekonomi, dan aspek-aspek yang lain. Zakat, sedekah, dan sejenisnya seutuhnya berada dalam bingkai teologis ini.

Karena itu, pengeluaran harta itu tidak bisa disikapi semata-mata sebagai pemberian, apalagi hanya bersifat karitatif, yang setelah itu menguap tanpa bekas. Zakat dan pengeluaran lain yang berwatak religius perlu direkonstruksi menjadi wahana dan sekaligus bagian intrinsik dari pengembangan keadilan dan kesejahteraan yang dibingkai sistem yang kukuh, holistik, dan berkesinambungan.

Pencapaian hal itu mengantarkan umat Islam pada keharusan untuk menjadikan zakat dan sejenisnya sebagai harta produktif, bukan sekadar bersifat konsumtif. Harta ini mutlak dikembangkan sebagai media pemberdayaan umat Islam dan umat manusia secara keseluruhan. Melalui pola tersebut, para penerima zakat diupayakan untuk mengembangkan zakat yang mereka peroleh sebagai modal untuk penguatan ekonomi.

Dengan demikian, penerima zakat tahun ini diupayakan pada tahun berikutnya tidak perlu menerima zakat lagi karena sudah mampu berpenghidupan layak dari hasil penerimaan zakat mereka pada tahun sebelumnya.

Menukik ke Dasar Iman
Pengembangan zakat produktif dengan tujuan pemberdayaan umat tidak bisa berhenti sebatas pada wacana fikih zakat semata. Zakat dengan karakter transformatif perlu disikapi dari sisi teologis. Zakat tidak bisa dipahami dari sisi wajib dan tidak wajib, tapi harus lebih menukik pada dasar keimanan, sebagai salah satu dimensi dari ketauhidan yang dianut umat Islam.

Dengan menjadikan zakat sebagai ajaran teologis, umat Islam tidak bisa menganggap cukup dengan hanya mengeluarkan zakat serta setelah itu abai terhadap proses dan dampaknya. Mereka justru dituntut untuk melaksanakan zakat dengan niat yang benar, melalui proses yang sejalan dengan tujuan dan ajaran agama, yaitu melabuhkan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteran bagi umat manusia.

Dari proses itu akan diketahui indikator keberimanan seseorang dan nilai-nilai teologis yang dianutnya. Pemberian zakat yang serampangan bisa menjadi penanda bahwa tauhid dan iman yang dianutnya masih bersifat parsial dan sepotong-potong. Demikian pula sebaliknya.

*Abdul A’la, guru besar Sunan Ampel, Surabaya
(Indo Pos, Senin, 22 September 2008)

Waluyo, "Membumikan" Agama


KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Waluyo Sastro Sukarno
Sabtu, 27 September 2008 | 03:00 WIB

Ahmad Arif dan M Ardus Sawega

Emperan sebuah rumah di tepian Bengawan Solo, Minggu, 14 September 2008. Terik matahari siang itu terhalang dedaunan pohon mangga. Angin semilir terasa menyejukkan. Bunyi kemanak dan gender diiringi gending Jawa lembut mengalun, berpadu dengan suara rebana dan beduk yang mengentak, membuat tidak ingin beranjak.

Waluyo Sastro Sukarno, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, ikut memainkan musik. Dia kebagian memukul kendang, sedangkan istrinya, Heni (41), dan empat perempuan lain melantunkan tembang-tembang Jawa berseling dengan selawatan, puji-pujian kepada Nabi Muhammad.

Musik itu, yang disebut Santi Suara Laras Madya, menautkan antara budaya Jawa dan Islam. ”Pertautan itu terlihat dari alat musik dan tembangnya,” ujar Waluyo.

Alat musik dari Jawa diwakili kemanak, kendang, dan gender, sedangkan representasi dari budaya Islam adalah rebana dan beduk. ”Tembang dalam Santi Suara Laras Madya biasa menggabungkan tembang-tembang mocopat seperti gambuh, dengan solawatan dan doa-doa dalam Islam,” kata Waluyo menambahkan.

Musik itu pula yang menyatukan dosen, guru, tukang batu, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga di Dusun Kaplingan, Kelurahan Jebres, Kecamatan Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, untuk menembangkan irama yang sama.

Perasaan pun seperti disedot ke masa lampau. Konon, menurut Waluyo, Santi Suara Laras Madya digagas oleh Pakubuwono V (PB V). ”PB V terinspirasi dengan para penyebar awal di tanah Jawa yang mengenalkan agama baru ini melalui budaya dan kesenian,” kata Waluyo.

Pada awal masuknya Islam ke tanah Jawa, para sunan menggunakan musik, lagu, hingga seni pertunjukan wayang untuk menambat hati orang Jawa. Dengan cepat agama baru ini pun menyebar di Jawa. Antropolog dari Amerika Serikat yang banyak meneliti tentang Indonesia, Clifford Gertz, menyebut hal ini dengan Islam yang di-Jawa-kan, daripada Jawa yang di-Islam-kan.

Meski analisa Gertz yang mengotak-ngotakkan tiga kategori Muslim di Jawa sebagai santri, abangan, dan priayi tak sepenuhnya sahih, dia sesungguhnya telah melihat adanya akulturasi praktik-praktik Islam dengan budaya Jawa.

Akulturasi dan asimilasi budaya itu telah membentuk identitas Islam di Jawa yang unik. Identitas yang banyak disemangati oleh nilai toleransi itu telah membuat konfigurasi ”anyar” antara agama yang datang dari Timur Tengah dan agama yang tunduk pada budaya awal di Jawa, tanpa menafikan substansi pesan ”langit” agama itu.

Menyatukan

Dengan semangat toleransi itu pula, Waluyo memunculkan kembali Santi Suara Laras Madya pada tahun 1996 di Dusun Kaplingan.

Sebelum itu, warga jemaah empat masjid di desa itu terkotak-kotak. Mereka fanatik dengan imam masjid masing-masing. Di luar masjid, warga desa di pinggiran Sungai Bengawan Solo itu, anak-anak muda yang berjarak dari masjid, mabuk-mabukan. Tepian Bengawan Solo ini dulunya dikenal sebagai kawasan hitam, tempat mabuk- mabukan dan perjudian.

Waluyo datang ke empat masjid itu. Jemaah dari masjid satu dibawa ke masjid lainnya. Para muda yang sebelumnya berjarak dari jemaah masjid juga diajak bergabung. Mereka membentuk kelompok musik Santi Suara Laras Madya di Kaplingan.

”Saya memulai dengan membentuk kelompok musik anak- anak. Mereka lebih gampang diajari dan mudah guyub (rukun). Kemudian para pemuda, dan baru orang tua,” cerita Waluyo.

Untuk menjembatani komunikasi antar-generasi, Waluyo pun menggubah tembang berjudul Guyub. Tembang yang mengingatkan pentingnya kebersamaan ini dinyanyikan bersahut-sahutan antara anak-anak, pemuda, hingga orang tua, lelaki maupun perempuan. Tembang-tembang Santi Suara Laras Madya lain yang digubah Waluyo juga berisi tentang ajakan untuk senantiasa berbuat kebajikan terhadap sesama.

Santi Suara, yang artinya doa yang baik, pernah sangat populer di Surakarta hingga era tahun 1960-an. Pada waktu itu, radio-radio di kota ini banyak yang mengalunkan musik yang memadukan unsur Islam dan Jawa. Namun, musik ini mulai punah. Kelompok musik Santi Suara Laras Madya yang dibentuk Waluyo menjadi rintisan baru.

Bagi Waluyo, mengembangkan kembali Santi Suara Laras Madya tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menjadi media efektif untuk menyebarkan kebajikan.

”Menyampaikan kebaikan bisa dengan musik dan lagu. Pendekatan budaya ini telah dilakukan sejak lama, dan lebih mengena,” ujarnya. Musik ini juga menjadi medium bagi Waluyo untuk memperpendek jarak antara dunia kampus dan masyarakat sekitar.

”Sebelumnya saya merasa berjarak. Tetapi, dengan membuat kelompok musik bersama masyarakat, saya bisa membaur dengan mudah,” kata Waluyo yang berasal dari Blora ini.

Di mata Waluyo, seni tak hanya berfungsi secara estetis dan wadah mengekspresikan diri, tetapi juga menjadi media komunikasi dengan realitas keseharian dan alat untuk mengajak kepada kebaikan.

Lebaran dan Tradisi Mudik

Jum'at, 26 September 2008 - 15:08 wib

Syukri Rahmatullah - Okezone


BEBERAPA hari belakangan berita-berita di media massa mulai menyoroti aktivitas mudik masyarakat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pemudik terus saja membanjiri terminal, stasiun, pelabuhan, hingga bandara.

Lalu dari mana sebenarnya asal muasal istilah mudik? Tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Istilah mudik sendiri tercatat di Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poewadarminta (1976), di dalam kamus tersebut mudik berarti "Pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran".

Di dalam ajaran Islam, tradisi mudik tidak dikenal. Usai melaksanakan puasa selama sebulan penuh, umat Islam hanya diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah dan melaksanakan salat Ied di tanah lapang, serta melarang berpuasa di hari pertama dan kedua Idul Fitri.

Namun, ada juga yang menafsirkan arti dari Idul Fitri yaitu kembali ke fitrah sebagai kembali kepada asal muasal. Sehingga para perantau di kota-kota besar berondong-bondong kembali ke kampung halamannya atau dikenal mudik.

Sementara menurut Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani jawa. Keberadaannya jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di Khayangan.

Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah.

Namun, masuknya pengaruh Islam ke Tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik. Meski begitu, peluang kembali ke kampung halaman setahun sekali ini muncul lewat momen Idul Fitri.

Makanya, tidak heran kebanyakan masyarakat Jawa yang mudik selalu menyempatkan diri untuk ziarah dan membersihkan kuburan.

Kini, teknologi semakin maju. Sudah ada hape, internet, hingga teleconference yang memudahkan komunikasi dari jarak jauh. Namun, meskipun biaya komunikasi lewat hape dan internet sudah terjangkau, masyarakat merasa tradisi mudik tidak lagi bisa tergantikan.

Menurut sosiolog Universitas Gajah Mada Arie Sudjito, ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama pada masyarakat pedesaan.

Sehingga para perantau rela berdesak-desakan mengantre tiket, naik kereta hanya demi tiba di kampung halaman sebelum Lebaran. Namun, bukan berarti tradisi mudik tidak bisa hilang. Tradisi mudik bisa saja hilang, namun dalam waktu yang relatif lama.

Setidaknya ada 4 hal yang menjadi tujuan orang untuk melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi. Pertama, mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga. Kedua, terapi psikologis. Kebanyakan perantau yang bekerja di kota besar memanfaatkan momen lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Sehingga ketika kembali bekerja, kondisi sudah fresh lagi.

Ketiga, mengingat asal usul. Banyak perantau yang sudah memiliki keturunan, sehingga dengan mudik bisa mengenalkan mengenai asal-usul mereka.

Dan yang terakhir, adalah unjuk diri. Banyak para perantau yang menjadikan mudik sebagai ajang unjuk diri sebagai orang yang telah berhasil mengadu nasib di kota besar.

Jadi, rupanya memang sulit untuk menghilangkan tradisi mudik di Indonesia. Asalkan pengelolaan dari pihak terkait berjalan lancar, mudik juga insya allah berjalan lancar. Selamat Mudik!

Sabtu, 27 September 2008

Filantropi Islam dan Civil Society

Oleh: Azyumardi Azra

Bulan Ramadhan, tidak ragu lagi, merupakan puncak dari realisasi filantropi, kedermawanan, dalam masyarakat Muslim. Tidak mengherankan, Ramadhan merupakan salah satu momen puncak yang berlangsung sebulan penuh untuk peningkatan amal ibadah. Bukan hanya ibadah puasa, tetapi juga untuk ibadah yang bersifat filantropis, yang diwujudkan dalam berbagai bentuknya, sejak dari memberi makanan berbuka bagi kalangan masyarakat Muslim yang membutuhkannya sampai kepada berbagai bentuk kedermawanan lainnya.

Filantropisme Islam juga jelas mencapai puncaknya dalam bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Sesuai dengan ajaran tentang puasa sebagai salah satu bentuk solidaritas kepada kaum dhuafa, fakir miskin, dan orang-orang tidak beruntung lainnya, pada bulan Ramadhan terjadi peningkatan signifikan zakat, infak, sedekah, dan semacamnya. Bulan Ramadhan secara konvensional merupakan waktu bagi Muslimin yang sudah berlebih rezeki untuk menghitung dan mengeluarkan zakat maal, zakat hartanya. Bahkan, mereka yang hidup pas-pasan juga berusaha memberikan sedekah atau bahkan zakat maal. Tentu, di sini perlu disebut zakat fitrah yang harus dikeluarkan sebelum Idul Fitri.

Tren filantropisme Islam di Indonesia jelas terus meningkat, seiring dengan peningkatan taraf peningkatan ekonomi kaum Muslim. Memang, jumlah pengumpulan ZIS per tahun masih jauh jari potensi sekitar Rp 20 triliun per tahun yang sering disebut lembaga-lembaga filantropi Islam Indonesia. Peningkatan realisasi filantropisme Islam itu mendorong kemunculan kian banyak lembaga pengumpul dan pendistribusi dana filantropisme Islam. Kredibilitas dan akuntabilitas tentu saja merupakan modal paling pokok bagi lembaga seperti itu. Sekali lembaga filantropi kehilangan trust dari masyarakat Muslim, ia segera kehilangan pamornya.

Peningkatan filantropisme Islam sangat terkait dengan bangkit dan bertambahnya kelas menengah Muslim. Janine A Clark dalam Islam, Charity, and Activism: Middle-Class Networks and Social Welfare in Egypt, Jordan, and Yemen (Bloomington: Indiana University Press, 2004) mencatat, meningkatnya filantropisme Islam pada ketiga negara Muslim tersebut berkaitan dengan menguatnya kelas menengah Muslim yang sering juga disebut sebagai petit bourgeoisie, borjuis kecil.

Mereka ini berbeda dengan kaum borjuis kecil di masa silam yang terutama adalah para pedagang, perajin, dan juga petani. Kini, kelas menengah itu juga para dosen, birokrat, dokter, wartawan, dan penulis, bahkan perwira menengah. Kelas menengah baru ini segera bergabung dengan kelas menengah lama, membentuk pool yang kian kuat bagi filantropisme Islam.

Gejala yang sama juga terdapat dalam lapisan kelas menengah di Indonesia; kaum borjuis kecil baru di kalangan Muslim Indonesia mulai terbentuk sejak 1980-an. Para sarjana Muslim dengan segera memasuki berbagai sektor kehidupan, baik birokrasi pemerintahan maupun sektor swasta. Mereka ini segera pula mendapatkan kemapanan. Seiring dengan peningkatan attachmen> mereka kepada Islam, mereka pun segera menjadi tulang punggung kebangkitan filantropisme Islam Indonesia.

Berbeda dengan Islam Indonesia yang sejak masa penjajahan Belanda bersifat independen vis-a-vis negara, di Timur Tengah kebangkitan kelas menengah Muslim menjadi tantangan yang riil bagi negara. Memang, sejak masa Turki Usmani sampai terbentuknya negara modern pasca-Perang Dunia II, negara begitu kuat di Timur Tengah; negara menguasai seluruh kehidupan Islam, termasuk filantropisme Islam. Negara sepenuhnya menguasai filantropisme Islam, khususnya wakaf. Setelah masuk kas negara, kemudian baru didistribusikan kembali untuk berbagai kepentingan masyarakat, yang pada gilirannya membuat masyarakat tergantung pada negara. Hal ini paling jelas terlihat dalam kelembagaan wakaf Al Azhar Kairo yang dinasionalisasi Presiden Gamal Abdel Naser pada awal 1960-an.

Karena itulah, kebangkitan kelas menengah baru di Timur Tengah dewasa ini tidak hanya berujung pada peningkatan jumlah dana filantropi yang dikelola lembaga-lembaga non-pemerintah, tetapi juga mendorong peningkatan aktivisme sosial politik melawan pemerintah. Kelambanan pemerintah merespons kebutuhan dasar masyarakat dhuafa membuat aktivisme semakin menemukan lahannya yang subur di dalam masyarakat bawah.

Gejala seperti ini tentu saja tidak terjadi di Indonesia. Islam Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam hal independensi vis-a-vis negara. Dan, negara juga tidak memiliki pretensi untuk menguasai dan mengontrol sumber-sumber filantropis untuk kepentingan politik para penguasa. Inilah juga yang perlu disyukuri umat Islam Indonesia ketika memandang negara-bangsa Indonesia.

(-)

Nuzulul Quran dan Problem Bangsa


Dr Rosihon Anwar
Dosen Kajian Studi Alquran di Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Tanggal 17 Ramadhan biasanya dijadikan momentum oleh umat Islam untuk memperingati turunnya Alquran (Nuzulul Quran). Peringatan itu biasanya diselenggarakan dengan berbagai jenis kegiatan, mulai dari Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), kajian seputar Alquran, dan umumnya tablig akbar.

Sepertinya, hampir setiap tahun model peringatannya sama dan relatif monoton. Biasanya kegiatan tadarusan yang biasa digelar selepas melaksanakan Shalat Tarawih pun sebatas pada membaca Alquran, jarang diteruskan pada upaya memahami kandungannya, sesuatu yang tak kalah penting dari membacanya.

Padahal, kata tadarusan kalau dilihat dari maknanya tak hanya membacanya, tetapi juga membaca dan menghayati ayat yang dibaca. Begitulah sebagian sahabat memaknai perintah membaca Alquran.

Agar peringatan Nuzulul Quran memiliki vitalitas makna dan semangat baru, memang tampaknya harus ada pembacaan baru terhadapnya. Nuzulul Alquran diharapkan menjadi tolok ukur sejauh mana Alquran dijadikan solusi untuk menyelesaikan problem bangsa.

Ada pertanyaan mendasar tentang relasi Alquran dengan problem bangsa. Pertanyaan ini sudah terlalu sering dikemukakan, tetapi masih relevan untuk dikaji kembali. Pertanyaan itu berbunyi, ''Bukankah Alquran itu, seperti sabda Nabi, dapat menyelesaikan problem kemanusiaan, tetapi kenapa di Indonesia yang mayoritas Muslim, problem bangsanya bukannya semakin berkurang, malahan bertambah kompleks?''

Pertanyaan ini sederhana, tetapi sesungguhnya memerlukan analisis mendalam dengan menggunakan berbagai perspektif karena setidaknya berkaitan dengan metodologi memahami Alquran dan bagaimana kemudian pemahaman itu direalisasikan. Dua ranah itu sangat berkaitan erat. Merealisasikan pemahaman yang keliru terhadap Alquran akan mendatangkan dampak negatif, sama buruknya dengan keengganan merealisasikan pemahaman Alquran yang benar.

Terhadap pertanyaan di atas, kita memang membaca dalam sejarah bagaimana semangat Alquran mampu membangkitkan semangat umat Islam secara individu dan kolektif. Tak terbantahkan fakta bahwa semangat Alquran merupakan faktor kuat kokohnya peradaban Islam selama tujuh abad lamanya.

Fakta sejarah ini membuktikan benarnya sabda Nabi yang mengatakan bahwa Alquran dapat dijadikan sebagai problem solving (al-makhraj) dari berbagai problem (fitnah) kemanusiaan. Persoalannya sekarang, bagaimana kita memahami Alquran secara metodologis. Lalu, bagaimana pemahaman itu dilaksanakan secara konsisten. Kedua hal di atas diharapkan menjadi perantara bagi penyelesaian persoalan bangsa melalui Alquran.

Perlu metodologi
Memahami Alquran memang tidaklah sederhana. Alquran bukanlah kitab konvensional, tetapi firman Allah yang membutuhkan metodologi tertentu untuk memahaminya. Itu pula alasannya kita mewarisi banyak aturan yang terkadang ketat dari para ulama tentang metodologi memahami Alquran.

Dari sinilah kemudian kita mengenal perangkat terjamah, tafsir, dan takwil. Bahkan, seorang ulama abad ke-10, Imam al-Syutuhi, menetapkan 15 persyaratan bagi siapa saja yang hendak menafsirkan Alquran. Ini menunjukkan betapa penafsiran Alquran membutuhkan perangkat metodologis.

Kita memang agak khawatir dengan berbagai kecenderungan sementara orang belakangan ini yang menafsirkan Alquran tanpa dibekali perangkat yang memadai. Dampaknya sangat fatal, banyak hasil penafsiran yang keliru dan terkadang menyesatkan.

Kita mewarisi sejarah kelam berupa pertikaian bahkan pertumpahan darah antarsesama umat Islam. Memang banyak faktor yang melatarinya terutama faktor politik. Tetapi, pemahaman yang keliru terhadap Alquran pun merupakan salah satu pemicunya.

Mungkin ada baiknya kita mengikuti saran dari para ulama untuk merujuk kepada kitab-kitab tafsir standar dalam memahami Alquran, tidak langsung memahami sendiri Alquran tanpa dibekali persyaratan standar, seperti memahami bahasa Arab, memahami hadis, dan memahami Ushul Fiqih.

Masuk akal kalau tidak semua orang diizinkan memahami Alquran sendiri. Sebaiknya kita serahkan saja kepada ahlinya. Kita tinggal mendengar dan membacanya, lalu melaksanakannya. Apakah lalu di luar ahlinya tidak berhak untuk menafsirkan Alquran? Tentu saja semua orang berhak melakukannya asal memiliki persyaratannya, mulai dari perangkat bahasa sampai perangkat metodologi.

Alquran ditulis dengan bahasa Arab, sedangkan setiap kosa kata Arab memiliki psiko-lingustik sendiri yang tidak dapat ditangkap, kecuali oleh mereka yang benar-benar paham bahasa Arab. Contoh sederhana, kita sering mendengar uraian larangan berbuat fitnah (dalam bahasa Indonesia) dengan dalil ayat wal-fitnatu asyaddu minal qatli. (QS Albaqarah [2]:191).

Sering dipahami kata al-fitnah (dalam bahasa Arab) pada ayat itu dengan fitnah dalam bahasa Indonesia, padahal maknanya tidaklah serupa. Dalam kitab-kitab tafsir standar, seperti Tafsir al-Thabari dan Tafsir al-Jalalain, fitnah yang dimaksud adalah kemusrikan. Ada banyak contoh lain model kekeliruan seperti ini yang berkembang di masyarakat.

Termasuk ke dalam metodologi pemahaman Alquran adalah bagaimana dengan cerdas mengangkat isu-isu kekinian yang memerlukan penyelesaian dari Alquran dengan segera, seperti masalah pengangguran, kerusakan lingkungan, korupsi, narkoba, relasi buruh-majikan, dan relasi pemerintah-rakyat.

Ini pekerjaan rumah bagi ahli tafsir di Indonesia. Perlu ada perubahan paradigma pemahaman Alquran. Kalau para ulama dahulu memahami Alquran tanpa banyak menyentuh problem kemanusiaan, bahkan terkadang tidak menyentuh sama sekali, ada baiknya sekarang justru memahami Alquran diawali dengan melihat problem kemanusiaan (Ibottom-up).

Living Alquran
Hal paling penting dari semua proses interaksi umat Islam dengan Alquran adalah bagaimana Alquran dipribumikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Artinya, Alquran bukan lagi merupakan sesuatu yang asing, tetapi merupakan bagian kehidupan mereka.

Seharusnya mereka memang menjadi living Alquran, Alquran yang berjalan. Sebaik apa pun metode yang dipergunakan dalam memahami Alquran tidak akan bermanfaat tanpa dibarengi dengan aktualisasi hasil pemahaman kita.Namun, ternyata mengaktualisasikan pemahaman Alquran pun tidaklah mudah. Dibutuhkan perangkat-perangkat tertentu di samping modal keimanan yang kuat, di antaranya diperlukan rumusan operasional bagaimana pemahaman itu dilaksanakan.

Meminjam istilah Kuntowijoyo, ayat-ayat Alquran merupakan grand theory. Dibutuhkan teori perantara (middle theory) untuk melaksanakannya. Di tataran perantara inilah sebenarnya kita membutuhkan bantuan para pakar di berbagai bidang. Zakat dapat mengangkat perekonomian merupakan grand theory, tetapi bagaimana zakat berdaya untuk mendongkrak ekonomi merupakan bidang di antaranya pakar ekonomi.

Shalat dapat menangkis kerusakan moral ( tanha ani-l fahsyai wa-l munkar) merupakan grand theory, tetapi bagaimana teknisnya memerlukan pemikiran-pemikiran tidak saja berdimensi fikih, tetapi juga berdimensi sosiologi, antropologi, ekonomi, dan sebagainya. Di sini perlunya para ulama dan para pakar di berbagai disiplin ilmu untuk duduk bersama merumuskan grand theory dan middle theory yang dimaksud.

Ikhtisar:

- Alquran bukan kitab konvensional, tetapi firman Allah yang membutuhkan metodologi tertentu untuk memahaminya.
- Tidak semua orang diizinkan memahami Alquran sendiri.

(-)

Studi Kritis Terhadap Orientalisme


M Hilaly Basya
Mahasiswa Islamic Studies di Universitas Leiden, Belanda


Pada dasarnya orientalisme adalah sebuah disiplin kajian yang serius. Orientalisme dikembangkan agar Barat dapat mempelajari kemajuan peradaban Timur.

Sebagaimana dijelaskan dalam pidato 'The Meridian House' yang disampaikan oleh Edward Djerejian, asisten Menteri Luar Negeri untuk urusan Timur Dekat pada masa Pemerintahan Bill Clinton, bahwa melalui tangan kreatif ilmuwan-ilmuwan Muslimlah Barat mampu bangkit dan membangun kembali peradabannya (1992). Dengan demikian sebelum mencapai kemajuannya seperti yang kita saksikan sekarang ini, Barat banyak menimba pengetahuan dari dunia Islam.

Hasilnya, teologi-mitologi digeser oleh ilmu pengetahuan. Pada masa itu terjadi pergumulan antara ilmu pengetahuan dan doktrin gereja. Dengan demikian renaissance dan era modern Barat merupakan produk dari studi ilmuwan Barat terhadap Timur (Islam). Artinya, studi terhadap Timur tidak selalu mengandung kepentingan politis. Dalam banyak hal justru menggambarkan bahwa Barat ingin mempelajari ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban lain.

Namun, ada sisi lemah yang memang bisa kita ungkapkan dalam kajian orientalisme. Edward Said dalam bukunya Orientalism (1978) memberikan kritik tajam terhadap epistemologi orientalisme. Bagi Said, tidak ada orientalisme tanpa bias politik dan budaya. Ketika Timur ditekstualisasikan oleh Barat, saat itu ada kepentingan peradaban untuk menghadirkan inferioritas Timur (Islam).

Meminjam perspektif teori analisis diskursus dari Michel Foucault, sebuah institusi, praktik, dan konsep terkait dengan empat hal, yaitu keinginan, kekuasaan, disiplin, dan pemerintahan. Keempat hal ini disebut formasi diskursif, yakni bangunan yang mendasari sebuah diskursus (1972: 41). Pengetahuan, menurut Foucault, dikontrol oleh kekuatan-kekuatan dominan.

Terkait dengan itu, peradaban Islam dan Barat yang kita pahami tidak terlepas dari kontestasi pemaknaan. Sungguhpun keduanya merupakan realitas objektif yang tak terbantahkan, makna yang dikandungnya mengalami pergumulan. Ini karena makna dibangun dan dikontrol oleh kekuatan-kekuatan tertentu.

Kekuatan-kekuatan tersebut berkontestasi mendaulat dirinya menjadi pemilik otoritas untuk menafsirkan, memaknai, dan mendefinisikan. Dengan demikian makna Barat dan Islam terkait dengan kepentingan yang beroperasi di baliknya. Karenanya Said menyimpulkan bahwa orientalisme tidak lebih merupakan ajang pertukaran berbagai jenis kekuasaan (1978).

Said membedakan empat jenis kekuasaan yang berkontestasi di seputarnya, yakni kekuasaan politis, intelektual, budaya, dan moral. Kekuasaan politis dimaksudkan sebagai pembentukan kolonialisme dan imperialisme, sedangkan kekuasaan intelektual bermakna bahwa Barat hendak mendidik Timur sebab Timur dinilai bodoh, tidak menguasai ilmu pengetahuan, menyukai kekerasan, irasional, mistis, dan seterusnya.

Kekuasaan budaya mengandung tujuan tidak jauh berbeda dengan yang kedua, sementara kekuasaan moral menentukan dan mengontrol Timur tentang yang baik dan yang buruk. Kesimpulannya, keempat jenis kekuasaan yang beroperasi di balik orientalisme bermuara pada legitimasi superioritas Barat terhadap Timur. Timur ibarat panggung yang mementaskan drama dan kejadian, sementara Barat penontonnya yang melihat dan menilai Timur dengan ukuran-ukuran peradaban Barat.

Karya Said memberikan kontribusi signifikan dalam perkembangan kajian tentang orientalisme. Selain itu juga memberikan legitimasi ilmiah bagi ketidakrelaan Timur dihadirkan oleh Barat. Bagi Said, epistemologi orientalisme menggambarkan bahwa Barat, sang aku, yang berpikir adalah eksisetnsi mutlak. Dengan kata lain, Barat yang menggunakan standar berpikir ilmiah menyatakan diri sebagai pemegang otoritas dalam menilai dan mendefinisikan kebudayaan lain.

Sejauh ini orientalisme memperlihatkan sang aku secara produktif mendefinisikan the other. Bahkan, the other mengenal dirinya melalui sang aku. Dengan demikian sang aku atau Barat menjadi pengontrol dan peramal masa depan Timur.

Kita tidak bisa secara ekstrem beranggapan bahwa semua hasil studi orientalisme berniat jelek untuk menghancurkan umat Islam. Namun, kita juga tidak boleh menerima produk orientalis itu secara tidak kritis.

Sisi lemah yang mendasari orientalisme adalah pada epistemologinya. Tampaknya hal inilah yang membuat banyak umat Islam senantiasa mencurigai orientalisme. Alangkah baiknya jika para cendekiawan Muslim produktif mengonsepsi sejarah dan masa depannya. Ini karena orientalisme hanya bisa dilawan dengan merebut otoritas yang selama ini didominasi oleh the other.

Selasa, 23 September 2008

Kepemimpinan Santri dan Dilema Kekuasaan

Oleh Agus Muhammad

Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.

Pasca reformasi, santri memegang peran penting dalam kepemimpinan nasional. Setidaknya, kelompok ini memiliki akses kekuasaan yang lebih luas di banding sebelumnya. Peluang ini tak ubahnya seperti pembalikan terhadap fakta sejarah pada kepemimpinan Soeharto yang tidak memberi akses bagi kekuatan politik Islam untuk mengambil peran dalam kepemimpinan nasional. Rezim ini justru melakukan peminggiran secara sistematis terhadap kekuatan politik Islam.

Setelah Soeharto mundur, kekuatan politik Islam bangkit dan membalikkan fakta sejarah. Partai-partai Islam berlomba-loma dalam pemilu. Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden setelah Habibie merupakan simbol santri par excelent. Pada saat yang sama Amien Rais terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR. Pada saat itu, praktis kepemimpinan nasional berada di tangan kaum santri.

Ketika Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden, Megawati yang menggantikannya didampingi oleh Hamzah Haz yang merupakan figur politisi santri. Dalam pemilu 2004, partai-partai Islam kian marak. Disamping itu, semua calon presiden yang maju dalam pemilihan presiden merupakan pasangan antara figur santri dan nasionalis. SBY dan Jusuf Kalla yang kemudian memenangkan pemilu presiden adalah respresentasi dari dua hal ini.

Kecenderungan itulah yang oleh Kuntowijoyo (2004) disebut sebagai pragmatisme religius. Dalam pragmatisme religius, dikotomi sekuler-religius hilang. Tak ada lagi dikotomi santri-abangan. Bersama dengan hilangnya dikotomi sekuler-religius, menurut Kuntowijoyo, tidak akan ada lagi charismatic politics, power politics, dan politics of meaning. Pragmatisme religius mengintegrasikan yang sekuler dan yang religius. Pragmatisme religius adalah antropo-teosentrisme.

Kepemimpinan Moral

Kepemimpinan santri di pentas nasional diharapkan membawa nuansa yang berbeda dengan sebelumnya. Sampai batas tertentu, harapan ini berhasil diwujudkan, misalnya iklim keterbukaan yang lebih transparan, demokrasi yang lebih terjamin dan akses kekuasaan yang relatif terbuka bagi semua kelompok masyarakat.

Namun, dari segi perbaikan ekonomi, peningkatan kesejahteraan serta penegakan hukum yang berkeadilan, kepemimpinan santri masih harus diuji. Karena di bidang ini, tingkat keberhasilannya masih kecil. Kenyataan ini mengherankan, karena secara umum, kepemimpinan kaum santri di pentas nasional relatif memenuhi kriteria akseptabilitas, kapabilitas, dan integritas.

Akseptabilitas yang mengandaikan adanya dukungan riil dari sekelompok masyarakat yang menghendaki orang tersebut menjadi pemimpin sudah terpenuhi dalam pemilihan umum. Demikian juga kapabilitas yang menyangkut kemampuan dan kecakapan untuk menjalankan kepemimpinan. Meski kapabilitas kaum santri yang duduk dalam kepemimpinan nasional tidak sangat memuaskan seperti yang diharapkan, setidaknya mereka telah didampingi para ahli, teknokrat dan kelompok profesional di bidangnya masing-masing. Sehingga problem kapabilitas mestinya sudah tidak ada masalah. Prasyarat yang masih dipertanyakan adalah integritas. Sebab, integritas adalah komitmen moral untuk berpegang teguh dan mematuhi aturan main yang telah disepakati dan sekaligus kesediaan untuk tidak melakukan pelanggaran terhadapnya.

Tanpa akseptabilitas, seorang pemimpin akan mudah dipertanyakan keabsahannya karena tidak memiliki legitimasi yang kuat. Sebaliknya, tanpa kapabilitas, seorang pemimpin tidak mungkin bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik karena dia tidak dilengkapi dengan kompetensi yang memadai. Namun akseptabilitas dan kapabilitas menjadi tidak ada gunanya jika tidak didukung oleh integritas. Tanpa integritas, seorang pemimpin mudah terjemurus dalam sikap sewenang-wenang. Dengan sendirinya berbagai bentuk penyelewengan moral akan mudah terjadi. Aspek terakhir inilah yang sering disebut sebagai kepemimpinan moral. Rendahnya kepemimpinan moral sering dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat kondisi bangsa ini tidak segera beranjak pada keadaan yang lebih baik.

Dilema Kekuasaan

Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.

Banyak analis menyebutkan bahwa kegagalan untuk memenuhi harapan masyarakat luas disebabkan oleh parahnya kondisi sosial, ekonomi dan politik bangsa ini. Ini masih ditambah dengan tidak adanya keberanian moral dari pemimpin untuk melakukan terobosan. Monopoli kekuasaan yang nyaris terpusat di lembaga legislatif menjadi persoalan lain yang tak kalah krusialnya. Para politisi santri yang duduk di parlemen tidak jauh berbeda dengan politisi sekuler.

Mengapa politisi santri tidak berhasil membangun moralitas di parlemen? Bukankah mereka adalah representasi dari religiusitas? Eberhard Puntush (1986) punya analisis menarik soal ini. Menurutnya, ada tiga tekanan yang membahayakan kepribadian politisi. Pertama, ia terlalu dibebani secara intelektual. Ia dituntut suatu tingkat kemampuan yang tidak dimilikinya karena melebihi daya tampung biasa suatu kepala. Ia terjebak pada ketidakmampuan dalam banyak bidang dan sekaligus harus menyembunyikan ketidakmampuannya itu. Menurut Puntush, itulah awal dari merebaknya ketidakjujuran.

Tekanan kedua bagi seorang politisi, adalah adanya paksaan untuk bersikap solider pada partainya dan wakil-wakil dari partai tersebut, walaupun tingkah laku rekan-rekan satu partai itu melukai cara pandang etisnya sendiri. Menurut Puntush, politisi sering harus menutup-nutupi kesalahan-kesalahan rekan-rekannya separtai. Ia harus membela pendapat rekan-rekannya meskipun pendapat itu salah. Membohongi masyarakat umum dianggap prestasi.

Tekanan ketiga, adalah paksaan untuk mampu menahan kritik umum yang tidak adil. Kritik umum biasanya membandingkan keberhasilan yang ada dengan keberhasilan yang sebaiknya dapat dicapai; dan dengan cara itu di mana-mana terlihat adanya kekurangan. Dari lawan-lawan politiknya, politisi hanya bisa menerima lebih sedikit lagi keadilan. Karena partai-partai itu saling bersaing, maka upaya merendahkan lawan dengan sendirinya meningkatkan posisi mereka sendiri. Akibatnya, menurut Puntush, kemampuan politisi untuk menerima kritik semakin menurun.

Karakter yang digambarkan di atas hampir semuanya – kalau tidak seluruhnya – tergambar dalam tingkah laku politisi kita. Sebagai personifikasi dari religiusitas, kepemimpinan santri mestinya lebih bisa konsisten dalam memegang teguh moralitas, sehingga berbagai kebijakan dan perilaku politiknya betul-betul dituntun oleh etika. Namun, etika dan moralitas tidak cukup hanya diserahkan kepada individu yang bersangkutan sebagai komitmen pribadi, tetapi harus dilembagakan dalam aturan main. Jika tidak, moralitas akan berbenturan dengan tekan-tekanan yang, menurut Puntush, hanya akan merusak karakter orang yang bersangkutan.[]

Jumat, 19 September 2008


Jumat, 19 September 2008 | 00:19 WIB

Oleh Toto Suparto

Kalau bisa memilih, orang pasti tak mau menjadi miskin. Namun, kemiskinan sering tak bisa dihindari, terutama bagi orang-orang yang dikorbankan akses mereka.

Sebab, hakikat kemiskinan adalah masalah kalah dalam merebut akses terhadap sumber ekonomi. Mereka yang mempunyai kekuatan untuk merebut akses itu lebih mudah terhindar dari kemiskinan. Di negeri ini, kekuatan dimaksud identik dengan kekuasaan.

Dalam kenyataannya, kemiskinan bukan sekadar angka, tetapi menggambarkan hubungan dinamis antara orang-orang dan risiko maupun peluang hidup dalam keseharian. Jika hubungan itu berlangsung timpang, terjadilah kesenjangan.

Dalam satu kalimat bisa dijelaskan, kemiskinan adalah kondisi deprivesi atas sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar (seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, maupun pendidikan dasar), sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan akses atas sumber ekonomi yang dimiliki (Bambang Sudibyo, 1995).

Dalam kaitan itu, saat Vandana Shiva (2005) berbicara soal kemiskinan global, setidaknya ada uraian yang patut dipikirkan, yaitu sebaiknya orang-orang (kaya) tidak mengambil secara berlebihan agar orang lain mendapat kesempatan mendapat akses untuk keluar dari kemiskinan. Shiva ingin menjelaskan soal pemerataan akses justru hal penting dalam mengatasi kemiskinan.

Orang-orang kaya, seperti diklasifikasikan Shiva, suatu saat bisa menjadi sumber ekonomi bagi mereka yang miskin. Seperti Saikhon di Pasuruan, Senin (15/9), adalah sumber ekonomi bagi ribuan orang miskin di sekitar tempat tinggalnya. Hari itu Saikhon membagi kelebihannya kepada tetangga. Merujuk Shiva, Saikhon sedang membuka akses bagi orang miskin.

Ternyata niat baik membuka akses malah berbuah tragedi. Ribuan orang berebut akses itu sehingga mereka berdesak-desakan. Mereka yang kuat menang dan yang lemah kalah. Kekalahan itu ditandai dengan 21 orang tewas dan puluhan lainnya luka. Maka, mereka yang lemah siap- siap jadi korban dalam perebutan akses.

Pemerataan akses

Insiden di Pasuruan itu merupakan tragedi kemiskinan. Para pemimpin di negeri ini seharusnya ”terbelalak” bahwa korban akibat ketimpangan akses masih banyak. Para pemimpin layak introspeksi, benarkah pemerintah ”telah berbuat bagi orang miskin”? Sepintas ”ya”, tetapi jika direnungkan lebih dalam ”tidak”. Sepintas ”ya” karena telah terjadi alokasi dana dari sebelumnya dinikmati orang kaya (misalnya subsidi BBM) kepada orang miskin (berupa uang kompensasi). Setelah direnungkan, akan berubah ”tidak” karena uang subsidi yang belakangan ini dikenal sebagai bantuan langsung tunai (BLT) hanya tambal sulam sesaat. Setelah uang BLT terhenti, orang miskin bisa berbuat apa?

Penyelesaian kemiskinan memang tak bisa diprogram sesaat, tetapi harus permanen. Apa pun bentuk program dimaksud, setidaknya diupayakan untuk pemerataan akses. Dari sisi positif, negeri ini membutuhkan banyak Saikhon. Dari sisi negatif, cara yang dilakukan Saikhon berisiko sehingga perlu dibenahi.

Namun, Saikhon setidaknya telah membangun solidaritas sosial karitatif, yakni kepedulian yang lebih mengacu pada penekanan bantuan berwujud kebendaan. Saikhon telah mempraktikkan benih solidaritas, seperti dikemukakan tokoh solidaritas El Salvador, Jon Sobrino, ”Kita benar-benar menjadi manusia apabila mempunyai kepedulian dan tanggung jawab terhadap kehidupan manusia lain, terutama yang menderita dan yang paling miskin maupun tertindas.”

Merawat solidaritas

Insiden di Pasuruan menjadi cermin akan beberapa hal. Pertama, para pemimpin harus membuka mata dan telinga atas tragedi kemiskinan di penjuru negeri. Jangan gegabah bahwa angka kemiskinan telah dikurangi.

Kedua, kita ternyata tak pandai merawat solidaritas. Solidaritas perlu dirawat agar terus tumbuh sebab solidaritas menjadi tali pengikat untuk mengutamakan kepentingan yang lebih luas, bukan kepentingan diri sendiri. Solidaritas melipatgandakan kekuatan kolektif untuk bermasyarakat dan berbangsa dengan mengedepankan kemanusiaan. Kita butuh solidaritas agar kemiskinan yang mendera 16 persen dari total penduduk Indonesia masih ditengok oleh mereka yang bernasib lebih baik.

Ketiga, hati-hati, di negeri ini kian terjadi krisis kepercayaan terhadap kelembagaan yang ada. Idealnya pembagian zakat itu bisa dilakukan lewat institusi yang dikemas dalam berbagai nama. Namun, Saikhon lebih percaya untuk membaginya sendiri meski lemah dalam koordinasi. Ini menjadi bahan telaah bagi para pengelola lembaga atau institusi di bidang apa pun, sudahkah mereka menjalankan kelembagaan itu secara benar?

Toto Suparto Peneliti pada Pusat Kajian Agama dan Budaya Yogyakarta