Minggu, 29 Juni 2008

Makna Perdamaian dan Pluralisme Agama

Antara Taize dan Mopuya


Oleh Sumanto Al Qurtuby
Taize, sebuah desa kecil di jantung kota Burgundy, France, dikenal luas sebagai tempat "wisata rohani" atau "oasis spiritual" bagi individu dan komunitas pecinta perdamaian global, kebersamaan hidup, toleransi iman, ketentraman batin, dan pluralisme agama.

Di tempat itu tinggal beberapa ratus orang dari berbagai agama, terutama Protestan dan Katolik, dan (masing-masing) hidup damai serta saling menghargai perbedaan dan keragaman. Setiap orang dari berbagai agama dan tradisi bisa "merayakan" kebebasan iman dan perdamaian di sana. Karena wataknya yang unik, lintas-agama dan budaya, Taize tiap tahun menjadi tempat "jujugan" ribuan orang dari berbagai negara dan agama yang haus makna perdamaian dan pluralisme agama.

Didirikan Roger Louis Schutz-Marsauche (populer Brother Roger, lahir 1915) pada 1940, Taize pada mulanya didesain sebagai tempat semacam "rekonsiliasi" antara komunitas Protestan dan Katolik. Kita tahu, dua kelompok agama pengikut Yesus itu selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, hidup dalam permusuhan sejak Martin Luther mendeklarasikan 95 Tesis Reformasi yang ditempel di Gereja Wittenberg pada akhir abad ke-15 sebagai tanda penabuhan genderang perang melawan Katolik. Tetapi kini, Taize menjadi milik bersama siapa saja dari agama, negara, dan etnis mana saja bisa merayakan kebebasan spiritualitas, berdoa bersama, menyanyikan lagu-lagu "rohani" bersama-sama dalam semangat perdamaian dan tetap menghargai keunikan serta keragaman masing-masing tradisi. Karena jasanya dalam menebarkan perdamaian, toleransi, dan pluralisme, kematian Brother Roger pada 2005 diratapi banyak orang. Pope Benedict XVI menyebutnya sebagai "one of the best-loved Christian leaders of our time." Sementara Jacques Chirac menggelarinya "one of the most remarkable servants of the values of respect and tolerance." Gerhard Schroeder menyebutnya sebagai "one of the great contemporary personalities of religious life."

Sebagaimana Taize yang damai dan pluralis, Mopuya, sebuah dusun terpencil di Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolmong, Sulawesi Utara, juga memiliki karakter yang kurang lebih sama: damai, toleran, dan pluralis. Desa itu dihuni penduduk dari berbagai agama: Islam, Hindu, Katolik, dan Kristen dari berbagai denominasi.

Uniknya, mereka membangun tempat ibadah bersama-sama. Bahkan, di Desa Mopuya Selatan, tempat-tempat ibadah itu dibangun dalam satu kompleks. Di kompleks tersebut terdapat Masjid Jami’ al-Muhajirin, Pure Puseh Umat Hindu, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya, Gereja Pantekosta, Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, dan GMIBM PGI Jemaat Immanuel Mopuya (Jawa Pos, 18 Maret 2008).

Tidak sebatas itu, komunitas agama di desa tersebut juga saling merayakan hari-hari besar agama masing-masing dalam semangat penuh kebersamaan serta saling menghargai perbedaan dan keragaman. Karena karakteristiknya yang unik, damai, dan pluralis, desa itu pernah menjadi proyek percontohan atau model toleransi dan pluralisme agama bagi masyarakat internasional. Pada waktu itu, Menteri Tarmizi Taher dan Gubernur E.E. Mangindaan pernah diundang pemerintah Amerika Serikat untuk presentasi mengenai kehidupan keberagamaan di Indonesia, khusunya komunitas Mopuya.

***

Saya sengaja memaparkan kehidupan keberagamaan komunitas Taize dan Mopuya karena melihat -di Indonesia khususnya- masalah perdamaian dan pluralisme berbasis agama saat ini sedang dalam tahap memprihatinkan. Banyak umat beragama, baik muslim maupun nonmuslim, yang salah baca dalam menilai konsep pluralisme. Kelompok keislaman tertentu di tanah air, misalnya, merasa terancam dengan paham pluralisme yang mereka baca sebagai penegasian kebenaran agama Islam.

Bahkan, MUI secara serampangan menyamakan pluralisme dengan "sinkretisme" -sebuah pencampuradukan paham keagamaan, penyamarataan doktrin kebenaran yang secara esensial, menurut mereka, bertentangan dengan Islam sebagai "satu-satunya jalan kebenaran."

Kelompok Kristen konservatif juga menganggap wacana pluralisme sebagai ancaman atas identitas, sendi-sendi, dan nilai-nilai kekristenan yang mereka yakini kebenarannya mutlak dari Tuhan, mengancam doktrin evangelisme dan misionarisme, dll. Karena itu, mereka juga menyerang kelompok Kristen moderat-pluralis dan menganggap mereka telah menyeleweng dari ajaran tradisional Kristen.

Kedua kelompok konservatif Kristen dan Islam tersebut sejauh yang saya tahu telah "salah baca" (misreading) dan salah pengertian (misunderstanding) terhadap konsep dan paham pluralisme.

Dalam hal ini, Profesor Diana Eck yang sedang memimpin program "Pluralism Project" dari Harvard Divinity School memberikan penjelasan menarik mengenai pemahaman pluralisme itu. Menurut dia, pluralisme berbeda dengan plurality atau diversity, keragaman. Diversity, kata Eck, adalah pluralitas yang alami, basic, simple, colorful, splendid, dan given sifatnya.

Sebaliknya, pluralisme adalah proses pergumulan yang bertujuan menciptakan masyarakat bersama yang dibangun atas dasar pluralitas itu. Dia memberi contoh di salah satu negara bagian AS, Maryland, tepatnya di jalan di Silver Spring terdapat berbagai tempat ibadah yang berdekatan seperti the Vietnamese Catholic church, the Cambodian Buddhist temple, the Ukraine Orthodox church, the Muslim Community Center, the Disciples of Christ church, dan the Mongol Mandir Hindu temple.

Itu adalah contoh diversity atau plurality, tetapi tanpa engagement (baca, dialog intensif atau pergumulan terus-menerus) antara satu komunitas dan lainnya, kata Eck, maka plurality itu tidak akan menjadi pluralism.

Jadi, kata kunci pluralisme adalah "pergumulan kreatif-intensif" terhadap fakta pluralitas itu. Tidak seperti plurality yang merupakan pemberian atau anugerah Tuhan (given), pluralisme adalah sebuah "prestasi" (achievement) bersama dari kelompok agama dan budaya yang berlainan untuk menciptakan apa yang oleh Eck disebut common society.

Lebih lanjut Eck yang juga penulis buku Encountering God itu memberikan empat karakteristik tentang pluralisme. Pertama, pluralisme berbeda dengan keberagaman itu sendiri, melainkan (pluralisme) adalah "the energetic engagement with diversity" -atau katakanlah, sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman.

Kedua, pluralisme tidak sekadar toleransi, melainkan proses pencarian pemahaman secara aktif menembus batas-batas perbedaan (active seeking of understanding across lines of difference). Ketiga, pluralisme bukan relativisme, tetapi "the encounter of commitments."

Dalam paradigma baru, pluralisme bukan berarti seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agama tertentu, melainkan inti pluralisme adalah perjumpaan komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain.

Seorang pluralis bukan berarti tidak mengakui eksistensi perbedaan agama. Sebab, perbedaan itu adalah nature (sunatullah) yang tidak bisa diabaikan. Tetapi, perbedaan agama tersebut dijadikan sebagai sumber bagi hubungan agama yang sehat, sebagai kekuatan pemersatu, bukan sebaliknya, melihat perbedaan itu sebagai faktor pemecah (divider) yang mengancam identitas keagamaan dan kebudayaan tertentu.

Dalam konteks ini, seorang pluralis akan memandang agama lebih sebagai "unite factor" ketimbang "divide one." Empat, pluralisme dibangun di atas basis dialog. Bahasa pluralisme adalah bahasa dialog dan perjumpaan, take and give, criticism and self-criticism. Dialog berarti berbicara sekaligus mendengarkan, dan proses dialog itu harus mengungkapkan common understanding serta fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat dan saling menghargai.

Perlu juga dicatat bahwa dialog berbeda dengan debat. Dalam dialog, target yang hendak dicapai adalah mutual understanding, bukan saling mengalahkan seperti dalam debat. Tidak ada kalah-menang dalam dialog. Inilah makna ketika Alquran menegaskan "bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal" (Q 49:13).

Kalimat "berbangsa-bangsa" dan "bersuku-suku" adalah fakta diversity atau plurality, sementara "untuk saling mengenal" (ta’aruf) adalah pemahaman tentang pluralisme tadi.

Karena itu, fakta pluralitas tersebut baru bisa dipahami jika kita umat beragama memiliki komitmen untuk berdialog yang merupakan roh pluralisme. Sementara dialog bisa dimengerti sebagai "a way of knowing or understanding." Dalam kerangka pemikiran ini, pluralisme setingkat lebih tinggi daripada toleransi.

Dalam toleransi tidak dibutuhkan pengetahuan (knowledge) dan pemahaman (understanding) atas "yang lain", sementara pluralisme mensyaratkan keduanya. Meskipun toleransi itu baik dan perlu dalam hubungan antaragama, ia tidak cukup kuat sebagai landasan dialog antaragama. Sebab, "budaya toleransi" (culture of tolerance) itu masih rawan dan rapuh untuk disusupi dan diprovokasi pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agama dan politik.

***

Dalam banyak hal, hubungan inter dan antaragama di Indonesia dan di mana pun saat ini masih berada pada level toleransi itu, belum sampai ke tahap pluralisme.

Karena itu, dibutuhkan usaha keras untuk memecah kebuntuan dan kesalahpahaman antar dan interumat beragama di tingkat elite, lebih-lebih di level akar rumput.

Program-program seperti Center for Religious and Cultural Studies (CRCS) di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta serta Indonesian Consortium for Religious Studies yang didirikan UGM, UIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) di Jogjakarta adalah bagian dari usaha intelektual untuk menciptakan kultur pluralisme di Indonesia yang perlu ditiru lembaga akademik lain.

Di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam di negeri ini juga perlu ada mata pelajaran cross-cultural or religious understanding yang melibatkan nonmuslim dalam proses pengajaran.

Demikian juga, perguruan tinggi-perguruan tinggi non-Islam perlu melibatkan para sarjana muslim dalam proses pengajaran. Keterbukaan menjadi kata kunci sekaligus prasyarat religious encounter yang sehat dan dinamis serta jalan terciptanya perdamaian global antarumat beragama.

Di tingkat akar rumput, komunitas ekumeni Taize dan kelompok agama Mopuya juga bisa dijadikan contoh yang baik tentang bagaimana agama bisa ditransformasikan sebagai kekuatan penggerak perdamaian, persatuan, toleransi, dan pluralisme, bukan sebagai motor kekerasan, perpecahan, dan antipluralisme sebagaimana dilakukan kelompok konservatif dan fundamentalis agama.

Dalam konteks Indonesia yang pluralistis, aplikasi paham pluralisme seperti dipaparkan dengan baik oleh Eck dan dipraktikkan dengan tulus oleh masyarakat Taize dan Mopuya adalah wajib ain hukumnya dan menjadi tanggung jawab masing-masing umat beragama.***

*Sumanto Al Qurtuby, mahasiswa PhD di bidang "Cultural Anthropology" dan Earhart Fellow di Institute on Culture, Religion, and World Affairs, Boston University, Massachusetts, United States

(Jawa Pos, Selasa-Rabu, 27-28 Mei 2008).

Belajar dari Sejarah Ahmadiyah

Riwayat Ahmadiyah Indonesia

Oleh Asvi Warman Adam*
Ahmadiyah bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia. Hampir seabad lalu gerakan itu sudah masuk ke tanah air dan selama berpuluh tahun tidak mengalami masalah dengan kelompok lain.

Mengapa sekarang dalam situasi ekonomi-politik yang kian panas menjelang Pemilu 2009 persoalan itu kembali diungkit? Ada baiknya kita menengok ke belakang, melihat proses masuknya Ahmadiyah ke Nusantara ini. Artikel ini terutama berdasar tulisan Herman L. Beck dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde (2005: 210-246).

Ini bermula dengan kedatangan Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad ke Jogjakarta pada Maret 1924 menghadiri Kongres Ke-13 Muhammadiyah. Mereka dipersilakan berbicara dalam kesempatan tersebut. Pandangan mereka terhadap Jesus, yang dalam Islam disebut Nabi Isa, menarik perhatian hadirin.

Bagi penganut Ahmadiyah, Jesus setelah disalib tidak meninggal, tiga hari kemudian sadar dan bertemu dengan murid-muridnya. Dia kemudian pergi ke Srinagar, Kashmir, dan mengembangkan ajarannya di sana hingga meninggal pada usia 120 tahun.

Karena Jesus itu hanya manusia biasa, messias atau Al Masih yang disebutnya akan datang ke bumi tak lain dari Mirza Ghulam Ahmad. Oleh Ahmadiyah aliran Lahore, dia dianggap mujadid (pembaru). Sedangkan aliran Qadiyan memosisikan dia sebagai nabi.

Ahmadiyah juga memiliki pandangan yang khas tentang jihad. Bagi mereka, jihad bersenjata memerangi musuh (orang kafir) tidaklah wajib, kecuali untuk mempertahankan diri. Kelompok itu sebetulnya juga tidak tergolong ekstrem karena bersikap loyal kepada pemerintah yang berkuasa.

Tahun 1928, tokoh Muhammadiyah Raden Ngabehi HM. Djojosoegito, saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari -kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur)- dan Wahab Chasballah, mendirikan Ahmadiyah Indonesia. Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah yang juga bersaudara sepupu adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama) tahun 1926.

Tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda mengakui Ahmadiyah. Selain ketua Djojosoegito, terdapat nama Erfan Dahlan sebagai pengurus. Erfan Dahlan adalah putra H Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore dan kemudian mengembangkan aliran tersebut di Thailand.

Selain Erfan Dahlan, ada beberapa pemuda lain yang juga belajar tentang Ahmadiyah di Lahore. Yang satu setelah kembali ke Indonesia bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Yang lain, Maksum, keluar dari Muhammadiyah, bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) yang dipimpin A. Hassan di Bandung.

Polemik Panjang
Seperti kita ketahui, polemik panjang mengenai ajaran Islam juga terjadi antara A. Hassan dan Soekarno. Maksum beberapa puluh tahun kemudian ikut gerakan DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.

Djojosoegito kemudian memindahkan kegiatannya ke Purwokerto dan di kota ini didirikan masjid pertama Ahmadiyah di Indonesia. Hubungan antara Ahmadiyah dan SI (Sarekat Islam) pada mulanya cukup erat.

Pemimpin SI, HOS Tjokroaminoto, menerbitkan tafsir Alquran pada 1930. Kata pengantar diberikan pimpinan Ahmadiyah di Lahore, India. Ketika ketepatan terjemahan kitab suci itu banyak dikritik, terutama dari kalangan Muhammadiyah, dukungan diberikan pimpinan Ahmadiyah.

Namun, hubungan Ahmadiyah dengan SI kemudian menjadi renggang karena sikap politik SI yang radikal terhadap penjajah Belanda. Sedangkan Ahmadiyah tetap loyal kepada pemerintah. HOS Tjokroaminoto yang menjadi mertua Soekarno, menurut KH Abdurrahman Wahid, sebetulnya juga saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah.

Kalau benar demikian, sebenarnya tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, SI, dan Ahmadiyah tersebut berasal dari rumpun keluarga yang sama. Kalau terjadi selisih paham sesama mereka, itu menjadi pertengkaran intern keluarga yang tidak akan menjadi konflik berdarah.

Pada 1925, Haji Rasul, ulama terkenal dari Sumatera Barat, ayahanda HAMKA, mengunjungi putrinya, Fatimah, yang menikah dengan A.R. Sutan Mansyur, pimpinan Muhammadiyah di Pekalongan. Dari Pekalongan, dia singgah di Jogja dan Solo serta bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Terjadilah perdebatan seru. Haji Rasul mengatakan bahwa keyakinan Ahmadiyah itu menyimpang dari ajaran Islam.

Dalam kongres Muhammadiyah di Solo pada 1929, hubungan antara organisasi itu dan Ahmadiyah menjadi putus. Majelis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa barang siapa yang memercayai adanya nabi setelah Muhammad dianggap kafir, walaupun tidak eksplisit menyebut Ahmadiyah. Sebelumnya sudah ada larangan bagi warga Muhammadiyah untuk mendengarkan ceramah tentang ajaran Ahmadiyah.

Setelah 1929, Muhammadiyah sangat jarang mengeluarkan pernyataan yang memojokkan Ahmadiyah aliran Lahore. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada 1984, Muhammadiyah mendukung dan menganggap bahwa itu terutama menyangkut Ahmadiyah aliran Qadiyan.

Tak Berbahaya
Mengapa Muhammadiyah masih bersikap toleran terhadap Ahmadiyah aliran Lahore? Menurut Herman Beck, itu terjadi karena organisasi tersebut dianggap tidak berbahaya serta bukan kompetitor dalam bidang dakwah, sosial, dan pendidikan. Itulah sebabnya, selama puluhan tahun, Ahmadiyah tetap hidup berdampingan secara damai dengan Muhammadiyah dan organisasi Islam yang lain.

Menjadi pertanyaan saat bangsa Indonesia mengalami kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, kesejahteraan rakyat tak kunjung terwujud, masyarakat didera kemiskinan, mengapa persoalan Ahmadiyah yang muncul ke permukaan? Untuk apa dan siapa yang menggerakkan semua ini?

Kalau diperhatikan, sejarah lahirnya organisasi-organisasi muslim di tanah air terlihat bahwa pendiri dan pengurus awal berbagai organisasi Islam itu sesungguhnya bersaudara. Oleh karena itu, sebaiknya masalah Ahmadiyah ini diselesaikan secara persaudaraan pula.[]

*Dr Asvi Warman Adam, sejarawan di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta.

(Indo Pos, Kamis, April 24, 2008)

Selasa, 10 Juni 2008

Beberapa Catatan Mengenai SKB

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

10/06/2008

Dengan kata lain, negara kita telah menyediakan alasan legal kepada kaum fundamentalis dan radikal untuk melakukan "jihad" melawan kelompok-kelompok yang mereka anggap sesat hanya karena mengajukan tafsiran atas Islam yang berbeda dengan tafsiran mereka.

Akhirnya, Senin (9/6) kemarin, keluar juga SKB mengenai Ahmadiyah. Dengan seluruh ambiguitas yang ada dalam teks surat itu, dokumen itu jelas-jelas merupakan pelanggaran yang telanjang atas konstitusi negara kita yang menjamin kebebasan beragamaa dan keyakinan.

Pihak pemerintah mengatakan bahwa SKB ini bukanlah tindakan pembubaran Ahmadiyah sebagai organisasi. Pernyataan ini hanya membuat masyarakat, terutama warga Ahmadiyah, dalam situasi ambigu yang membingungkan.

Secara formal, memang SKB ini tidak menyatakan pembubaran Ahmadiyah, tetapi di sana ada klausul yang sangat ambigu dan sekaligus berbahaya. Dalam item nomor dua, surat itu menyatakan bahwa sejak keluarnya dokumen itu seluruh penganut dan pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) diperingatkan untuk menghentikan seluruh kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya.

Redaksi SKB ini sangat buruk, ambivalen, dan bisa ditafsirkan macam-macam, sehingga membuka kemungkinan untuk ditarik secara semena-mena untuk memberangus kelompok-kelompok yang dianggap "sesat" menurut penafsiran agama Islam "pada umumnya".

Apa yang dimaksudkan dengan "penafsiran Islam pada umumnya"? Ini istilah yang sangat aneh. Apakah yang dimaksud adalah penafsiran ala MUI? Apakah penafsiran MUI mewakili penafsiran seluruh umat atau umumnya umat Islam? Ataukah yang dimaksud adalah penafsiran NU dan Muhammadiyah?

Jika penganur JAI dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan yang tak sesuai dengan penafsiran Islam pada umumnya itu, apakah mereka tak boleh lagi menyelenggarakan ibadah sehari-hari di masjid mereka? Apakah mereka tak boleh lagi mengadakan salat Jumat? Apakah mereka tak boleh lagi menyelenggarakan pendidikan di sekolah mereka?

Karena ambiguitas SKB ini, maka dokumen ini bisa dipakai secara serampangan untuk melarang kegiatan ibadah anggota Ahmadiyah.

Bagaimana mungkin di era reformasi ini sebuah kelompok didiskriminasi sedemikian kronisnya, persis seperti masyarakat Tionghoa dulunya pada zaman Orde Baru. Diskriminasi kali ini lebih buruk lagi karena diberikan justifikasi kegamaan.

SKB ini juga mengandung pasal yang sangat berbahaya karena melarang masyarakat untuk menafsirkan agama “secara menyimpang”. Sekali lagi, defenisi menyimpang di sini bisa disalah-gunakan untuk memukul kalangan yang selama ini banyak mengkritik penafsiran Islam fundamentalis. SKB ini telah meresmikan argumen kaum fundamentalis selama ini bahwa penafsiran Islam yang menyimpang dari pandangan kaum ortodoks adalah sama dengan penghinaan pada agama.

Dengan kata lain, negara kita telah menyediakan alasan legal kepada kaum fundamentalis dan radikal untuk melakukan "jihad" melawan kelompok-kelompok yang mereka anggap sesat hanya karena mengajukan tafsiran atas Islam yang berbeda dengan tafsiran mereka.

Saya sungguh tak percaya bahwa hal ini terjadi di Indonesia, negeri yang selama ini dikampanyekan ke luar negeri sebagai negeri Muslim moderat. Di mata saya, Indonesia kini telah jatuh ke tangan kaum fundamentalis, dan karena itu tak berhak lagi menyebut dirinya atau menjual citra ke dunia luar sebagai negeri Muslim moderat.

Saya melihat kehidupan kebangsaan kita di masa depan kian gelap, kian jauh dari harapan para pendiri negeri ini.

Saya khawatir Indonesia akan menjadi seperti negeri Pakistan yang kacau balau saat ini. Respon umat Islam dan pemerintah kita atas kasus Ahmadiyah persis seperti yang terjadi di Pakistan dahulu.

Dengan mobilisasi besar-besaran oleh kalangan fundamentalis, antara lain oleh Jamaat-i Islami, organisasi yang didirikan oleh Abul A'la al-Maududi, sang ideolog Islam fundamentalis itu, akhirnya pemerintah Pakistan menyatakan Ahmadiyah sebagai sekte non-Islam. Masalah Ahmadiyah tak selesai dengan dikeluarkannya sekte itu dari Islam.

Hingga sekarang, warga Ahmadiyah masih mengalami persekusi dan masalah kebebasan beragama yang sangat besar di Pakistan. Kasus Pakistan adalah contoh yang sangat baik di mana setelah dikeluarkan dari Islam pun, Ahmadiyah masih terus "dikuya-kuya" (bahasa Jawa, artinya: ditindas secara semena-mena). Kebencian kaum fundamentalis tak pernah mengenal batas.

SKB ini jelas tak memuaskan bagi kalangan fundamentalis di Indonesia. Mereka kemungkinan akan meminta pemerintah bertindak lebih jauh lagi untuk membubarkan Ahmadiyah. Mereka akan memakai pasal-pasal yang ambigu dalam SKB ini untuk mencapai tujuan mereka, yakni mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam.

Jika mereka pada akhirnya berhasil mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam pun, seperti terjadi di Pakistan, masalahnya juga tak akan selesai. Mereka akan terus memburu sekte yang mereka anggap sesat itu. Saya bertaruh, perburuan dan kebencian mereka tidak akan ada batasnya.