Kamis, 11 September 2008

Kiai Organik v Kiai Karbitan

Oleh KH. DR. Abd A‘la
Abdul A'la
Fenomena sosial keulamaan di Indonesia memperlihatkan adanya – minimal dua kategori ulama Indonesia – kiai organik dan kiai karbitan. Munculnya kategori ini sampai derajat tertentu tidak bisa dilepaskan dari seluk-beluk kehidupan sosial politik yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini.

Kiai adalah ulama khas Indonesia yang merujuk pada para tokoh yang alim di bidang keagamaan Islam dan sekaligus memiliki akar kuat dalam tradisi dan budaya lokal Nusantara.

Selain berwawasan luas mengenai ilmu-ilmu “agama” dan memiliki aura ilahiyah, mereka juga memiliki kearifan yang tecermin dalam pandangan dan sikapnya yang menyejukkan dalam merespons suatu atau beragam persoalan. Kiai memiliki kemampuan untuk mendialogkan prinsip-prinsip ajaran Islam dengan realitas temporal dan lokal.

Dalam menyelesaikan atau memberikan pertimbangan mengenai suatu masalah, kiai sering memberikan solusi alternatif dan sejauh mungkin menghindari pemberian keputusan hitam-putih.

Sebelum itu, kiai pada umumnya lebih banyak mendengarkan dibanding mendominasi pembicaraan. Kiai semacam itu adalah kiai organik, yang dibentuk, dibesarkan, serta bersikap dan bertindak atas nilai-nilai keulamaan dan keindonesiaan.

Karakteristik kiai organik ini menjadikan hubungan kiai dengan masyarakat begitu dekat, tapi sekaligus tidak lebur. Pada satu sisi, kiai dengan berpegang teguh pada prinsip ajaran, selalu menyambut dengan terbuka kehadiran masyarakat dengan keragaman budaya dan tradisi yang dibawa mereka, dan pada sisi yang lain, masyarakat –karena keramah-tamahan dan aura moralitas kiai – selalu merindukan untuk “dekat” dengan kiai.

Karena itu, kiai organik selalu mengedepankan langkah-langkah yang penuh kearifan. Tindakan KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947) dalam pendirian Pesantren Tebuireng Jombang bisa diambil sebagai contoh menarik.

Pada saat itu, Tebuireng dikenal sebagai daerah yang penuh kriminalitas dan jauh dari nilai-nilai moral agama. Penduduknya banyak yang tidak agamis, perampok, pejudi, pemabuk, dan sejenisnya. Untuk “mengislamkan” mereka, Hasyim tidak melakukan tindak kekerasan melawan mereka, tapi justru melalui pendirian pesantren. Melalui pesantren itu, Hasyim mengenalkan nilai-nilai moral Islam secara bijak sebagaimana telah dilakukan Wali Songo dalam melakukan dakwah kepada masyarakat Jawa pada masa sebelumnya.

Kearifan kiai itu terus berlanjut hingga Indonesia berada dalam alam kemerdekaan. Misalnya, dalam perspektif para kiai, yang awalnya dimotori antara lain oleh KH. Ahmad Siddiq, Pancasila telah diterima sebagai dasar yang absah bagi negara Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim.

Kiai Karbitan
Namun, akhir-akhir ini beberapa orang yang bergelar kiai tidak menampakkan jati diri mereka yang organik dan genuine. Pada sebagian mereka, nilai-nilai luhur yang dulunya nyaris menjadi bagian intrinsik kepribadian kiai, sekarang mulai memudar.

Itu tampak jelas pada munculnya sikap, pernyataan, atau tindakan segelintir kiai yang membuat gerah bukan hanya kalangan nonmuslim, tapi juga umat Islam sendiri.

Dalam mengeluarkan pernyataan atau tindakan, mereka sering kehilangan kearifan yang dapat mencerminkan keluasan wawasan pandangan dan kesabaran mereka. Alih-alih, mereka terjebak pada pengedepanan sikap apriori dan gampang membuat pernyataan yang beroposisi biner, dikotomis hitam-putih. Mereka mulai senang membuat kriteria sendiri mengenai fenomena yang berkembang, dan pada gilirannya gampang menuduh negatif orang atau kelompok lain secara simplistis.

Keterjebakan mereka ke dalam sikap yang sarat dengan nuansa reaktif itu berpulang kepada berbagai kemungkinan. Salah satunya adalah kekurangluasan wawasan mereka mengenai tradisi dan budaya Indonesia atau seluk-beluk kehidupan sosial-budaya global. Mereka jadi kurang mampu memilah antara aspek sosial dan aspek teologis, atau antara nilai-nilai universal agama dan nilai agama yang bersifat partikular. Di antara mereka – tidak diragukan lagi – banyak yang hafal Alquran dan hafal beribu-ribu Hadits, tapi pemahaman mereka parsial dan kurang memiliki kemampuan untuk melakukan kontekstualisasi.

Kemungkinan yang lain, mereka selain lemah dalam bidang pemahaman keagamaan yang holistic – serta lemah dalam pemahaman tradisi dan budaya lokal – mereka juga memiliki pandangan pragmatis dan jiwa avonturisme. Dunia politik yang menjanjikan dan masih kuatnya politisasi agama – di mana kiai memiliki peran besar dalam dunia keagamaan, terutama pada masyarakat pedesaan – mengantarkan orang-orang tertentu menjadikan simbol kiai sebagai alat mengeruk keuntungan.

Mereka itu juga tidak memiliki konsistensi pandangan sebagaimana dulu dianut para kiai. Ke mana angin bertiup, ke sana langkah diayuhkan. Ironisnya lagi, kiai model ini mulai memisahkan diri dari masyarakat kecuali jika punya kepentingan tertentu yang lebih banyak bersifat subjektif.

Tokoh semacam itu merupakan kiai karbitan karena tidak memahami seutuhnya budaya dan tradisi Indonesia, sebagaimana pula kurang menguasai seluk-beluk persoalan global. Di atas semua itu, integritas moralnya sangat diragukan. Mereka tampak seperti kiai, bahkan matang di permukaan, padahal moralitas di dalamnya bukan hanya tidak manis, tapi bahkan mengarah kepada pembusukan.[]

* Salah satu pengasuh PP al-Nuqoyyah Guluk-guluk Madura Jatim

Tidak ada komentar: