Rabu, 03 September 2008

Logika Poligami Nabi Muhammad


Nabi Muhammad SAW yang tidak poligami dalam konteks ini harus diakui hanyalah sebuah ’’ilusi’’ provokatif dalam pemunculan dialog yang lebih komprehensif soal poligami. 

Pada tingkatan substansial gagasan di atas merupakan upaya membongkar kedok legitimatif kaum partriakhi dalam pernikahan dan kehidupan kesederajatan (di mata Allah) antara laki-laki dan perempuan. Ini tidak dibedakan antara muslimin dan muslimat, tetapi atas dasar keimanan/ ketauhidan. 

Pembahasan dalam poligami ini berkenaan dengan soal-soal upaya penciptaan kemanusiaan yang sejati. Hal itu tidak membedakan ma-nusia atas jenis kelaminnya, tetapi berdasar struktur sosial penindas dan tertindas sosial, ekonomi, politik. 

Konsep ini diambil dari kerinduan akan ’’kesempurnaan’’ dan ’’tak lekang oleh waktu’’ Nabi Muhammad sebagai pemrakarsa perubahan radikal-revolusioner. Konseptualisasi hijriyah sebagai perjalanan perubahan menjadi pendobrak semangat penulis untuk memunculkan ide ini. 

Selain itu struktur penindasan hanya bisa dilawan jika kita se-bagai kaum tertindas mau mengubah nasib kita sendiri. Sebab berharap pada kekuasaan-keagamaan menjadi sama sulitnya dengan mengharapkan kemunculan negara budiman atau political will pemerintah. 

Legitimasi Poligami

Sudah banyak kritik yang muncul dalam melihat poligami. Kesekian kritik tersebut ’’mentah’’ dengan alasan Nabi Muhammad adalah yang memberi contoh dalam kehidupan kemasyarakatan. Banyak tafsir kritis itu menjawabnya dengan ’’sosiologi pengetahuan’’, yakni mencari akar historis kemunculan sebuah gagasan. 

Karena pada zaman itu poligami dianggap hal yang lumrah, dan Nabi Muhammad adalah yang memprakarsai peningkatan kesederajatan melalui pembatasan poligami dan alasan yang non-seksual. Penulis dalam pembahasan kali ini sebagian mengikuti logika tersebut dengan sesekali menambahkan gagasan prakarsa penulis.

Para penganut Islam-patriarkhal mendasarkan gagasannya pada ayat yang berbunyi: ’’Nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga atau empat. Akan tetapi, jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau kalian nikahi budak-budak yang kalian miliki (QS An Nisaa:3)’’. 

Landasan ’’teoretis’’ ini menjadi pijakan kuat untuk berbuat hanya demi kepentingan penguasaan sosial dan nafsu tanpa memerhatikan substansi pengetahuan poligami. 
Pada waktu itu, Nabi Muhammad bermaksud mengangkat harkat perempuan. 

Seperti apa yang dituturkan oleh Abudillah: Pada tahun kesebelas pascakenabian atau pada tahun wafatnya Khadijah, Rasulullah berpikir untuk menikah. 

Usia beliau waktu itu 50 tahun. Beliau kemudian meminang Aisyah binti Abu Bakar, putri sahabatnya. Aisyah yang saat itu masih kecil, yakni berusia enam tahun, kemudian dinikahi. 

Akan tetapi, beliau belum tinggal serumah dengan Aisyah, kecuali tiga tahun setelah itu, yaitu setelah beliau berhijrah dan usia Aisyah menginjak sembilan tahun. Akan tetapi, tidak lama setelah akad nikah dengan Aisyah, beliau menikah lagi dengan Saudah binti Zum’ah, janda mendiang Sukran ibn Amr ibn Abdi Syams, salah seorang Muslimin yang ikut berhijrah ke Habsyah yang kemudian kembali ke Makkah lalu wafat di sana. 

Saudah bersama istrinya itu telah memeluk Islam. Ia kemudian turut berhijrah bersama suaminya. Setelah suaminya wafat, ia dinikahi oleh Rasulullah. Pada diri Saudah tidak ditemukan garis-garis kecantikan, kekayaan atau kedudukan yang memungkinkan Rasulullah bisa memeroleh kemewahan dunia. 

Artinya, jika Rasulullah menikahi Saudah setelah ditinggal wafat oleh suaminya. Maka dapat dimengerti bahwa pernikahan beliau saat itu adalah dalam rangka mengangkat kedudukannya serta meninggikan martabatnya menjadi Ummul Mukminin. 

Setelah Rasulullah hijrah, beliau kemudian membangun tempat tinggal Saudah di sisi masjid. Ini merupakan tempat pertama yang dibangun Rasulullah untuk istri-istrinya
Selain alasan di atas, menarik untuk melegitimasi kepentingan kaum patriarkhial, terutama Indonesia. 

Soal perbandingan jumlah wanita dan laki-laki yang sudah tidak berimbang, menurut data Badan Pusat Statisktik (BPS) yang dikutip majalah SABILI, di perkotaan jumlah perempuan yang belum menikah pada rentang usia 20 hingga 44 tahun ada sekitar 3.447.214 jiwa. Perempuan yang telah menikah sekitar 10.462.025 orang. 

Dari jumlah perempuan yang belum menikah tersebut bisa dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang telah menikah, yakni terdapat agregat sebesar1.517.810 jiwa. 

Dengan begitu banyak perempuan yang sudah waktunya menikah, tetapi belum mendapatkan jodoh. Karena kondisi itulah maka para penganut poligami beranggapan bahwa sudah saatnya mereka ’’hadir’’ untuk memberi pertolongan pada perempuan tak berjodoh tersebut. 

Masih menurut para laki-laki ’’penguasa’’ ini, apa yang mereka lakukan merupakan bentuk keadilan terhadap sesama manusia alias kasihan terhadap perempuan yang tak bersuami. Tidak hanya itu. 

Perkawinan perempuan tersebut menginginkan agar sang perempuan tidak terjun ke lembah nista.

Kedua landasan di atas nampaknya rasional atau lebih tepatnya bentuk rasionalisasi. Hal pasti terjadi, kedua alasan tersebut bukanlah hubungan kesetaraan yang mendasarkan diri pada balas budi maupun welas asih adalah bentuk kesadaran yang boleh dikata tidak otentik.

(Barid Hardiyanto, direktur eksekutif Prakarsa Learning Centre (PLC), Purwokerto-80)

Tidak ada komentar: