Minggu, 28 September 2008

Islam di Tengah Percaturan Global

Oleh KH. Dian Nafi*
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu … ” (Qs. Al-Baqarah: 143).

Pokok ayat itu antara lain adalah pada frasa ummatan wasathan. Terjemahan Departemen Agama menyepadan artinya dengan “umat yang adil dan pilihan”. Sementara Muhammad Sayyid Thanthawi, menambahkan pula makna “umat yang dibersihkan dengan ilmu dan amal” (Tafsir Al-Wasith Juz I: 227).

Kombinasi ilmu dan amal adalah karya, yang dalam pergumulan antargenerasi akan membangun peradaban. Dengan begitu, maka tulisan ini lebih melihat Islam sebagai kenyataan empirik lintas bangsa.

Dalam melihat Islam sebagai kenyataan manusiawi ini kita berutang budi kepada Ibnu Khaldun. Melalui karyanya, Muqaddimah dan komentar sejumlah pakar dari beberapa generasi dan universitas, terlihat ulama yang satu ini adalah peletak dasar kajian sosiologi empirik (Shameela eBook).

Titik temu antara Islam sebagai ajaran dan kenyataan manusiawi menjadi perjuangan komunitas muslim di seluruh dunia. Untuk itu pantas jika kita mempertimbangkan empat segi pokok dari sekian banyak tawaran Ibnu Khaldun yang dapat kita jadikan sebagai tolok ukur sukses suatu bangsa dan umat dalam mengarungi kehidupan mereka.

Pertama adalah segi pandangan hidup. Pandangan hidup menjadi penentu maju dan mundurnya umat. Pentingnya pandangan hidup bisa kita pahami dari tamsil sederhana. Di tangan orang yang berpandangan hidup baik, sepeda bekas bisa menjadi kendaraan andal. Dan di tangan orang yang berpandangan hidup buruk, sepeda baru akan segera menjadi perangkat rusak. Umat yang berpandangan hidup baik memberikan sumbangan besar dan berharga bagi perkembangan peradaban. Dan sebaliknya, umat yang berpandangan hidup buruk akan menyisakan persoalan besar bagi kehidupan di dunia ini.

Kedua adalah segi cara hidup. Pandangan hidup yang baik ternyata tidak cukup, karena dunia ini adalah alam ikhtiari, yaitu lingkungan hidup strategik yang akan terjaga baik jika disertai upaya cerdas, terencana dan berkelanjutan. Upaya itu membentuk cara hidup. Dalam lingkup antarbangsa dewasa ini terlihat jelas. Cara hidup yang mengabaikan kedaulatan pangan membuat suatu bangsa menjadi kelas penggarap sekaligus pasar bagi produk pangan bangsa lain.

Ketiga adalah tempat hidup. Banyak bangsa hidup di alam yang subur dengan iklim yang bersahabat tetapi lambat beranjak lebih maju dibandingkan lainnya. Sementara bangsa lain hidup di alam tandus dengan iklim yang ganas tetapi mampu berkembang menjadi lebih kuat dan makmur. Pesannya jelas. Kesungguhan dan kesinambungan untuk mencerdasi tempat hidup lebih penting daripada mengeluhkan dan menyalahkannya.

Keempat adalah peralatan hidup. Manusia hidup membutuhkan peralatan. Babakan sejarah manusia pun bisa dilihat dari penggunaan dan penguasaan mereka atas peralatan. Manusia nomaden menguasai dan membutuhkan sedikit alat. Semakin maju peradaban maka semakin banyak pula peralatan yang dikuasai dan dipergunakan.

Di sinilah peradaban terpahami terutama dari keragaman peralatan. Sejarah kita mengenal tokoh-tokoh hebat dan karismatis seperti Nabi Khidlir AS. Nabi Musa AS yang belajar pada tokoh ini “tidak lulus”, tetapi yang diangkat sebagai Rasul justru Nabi Musa AS.

Hikmah apa di baliknya? Nabi Musa AS adalah sosok yang mudah diikuti jalan berpikirnya, bekerja dalam tim manajerial, dan membangun kepemimpinan. Dan tokoh semacam Nabi Khidlir AS lebih tepat dalam peran sebagai penasihat dan penjaga standar moralitas.

Andai kehidupan kita didominasi oleh orang-orang yang mampu mengajar tanpa buku, gedung, dan alat tulis, tentu tidak akan kita jumpai sekolah, madrasah, atau pesantren seperti sekarang. Untuk itu masuk akal jika Ibnu Khaldun melihat kemajuan suatu kawasan dari keragaman dan keterencanaan bangunan di dalamnya. Semakin maju, semakin beragam pula jenis bangunan yang dibutuhkan, terencana dan bermanfaat.

Uraian ringkas di atas bisa menjadi perangkat evaluasi kita dalam melihat Islam di tengah percaturan global dari zaman ke zaman.[]

*Pengasuh Ponpes Al Muayyad Windan, Makamhaji, Kartasura Sukoharjo.

(Solo Pos, Rabu, 10 September 2008 ).

Tidak ada komentar: