Selasa, 30 September 2008

Dekonstruksi Sosial Idul Fitri


Senin, 29 September 2008 | 03:00 WIB

Musa Asy’arie

Sebulan penuh kita berpuasa, memperbanyak zikir dan sedekah, serta tadabbur dan tafakkur pada malam hari. Kini, kita mengakhiri di puncak pencapaian Idul Fitri, yaitu kembali pada sifat dasar kesucian manusia.

Maka, lengkaplah puasa sebagai proses pendidikan dan latihan olah jiwa massal untuk membangun peradaban, mencintai kemanusiaan, dan mewujudkan pluralitas kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam kesatuan kehidupan.

Sudah ratusan, bahkan ribuan tahun umat Islam menjalankan ibadah puasa, tetapi mengapa, dalam kenyataan, perilaku antiperadaban justru kian meluas, seperti terjadinya konflik kekerasan dalam menghadapi perbedaan pemikiran dan keyakinan, makin merajalelanya korupsi yang jelas merugikan kehidupan rakyat, serta pemujaan atas kekuasaan yang mendegradasikan etika sosial keagamaan.

Tafsir agama yang antiperadaban

Semula, agama diturunkan sebagai jawaban untuk menyelamatkan dan memperbaiki realitas kehidupan manusia yang antiperadaban, yang menghancurkan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, dan keindahan demi kekuasaan duniawi, konflik kekerasan yang mencabik-cabik persaudaraan dan kemanusiaan yang universal demi perebutan kekuasaan kelompok dan golongan. Agama sebenarnya untuk manusia, bukan manusia untuk agama. Karena itu, agama untuk rahmatan lil’alamin, untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh kehidupan di muka bumi.

Agama sebenarnya datang untuk menyelamatkan kemanusiaan dengan mengajarkan perlunya manusia membangun rasa kebersamaan dan kesatu-nasiban masa depan. Agama menegaskan agar manusia satu sama lain saling menghargai, saling belajar atas kekurangan dan kelebihan untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih sejahtera dan beradab. Karena itu, manusia dilarang mempertuhankan karya ciptanya, kekuasaannya, dan ideologi politiknya, yang menjadi awal konflik kekerasan di mana satu sama lain berusaha saling memusnahkan.

Namun, dalam realitas sosial, ternyata ada paradoks fundamental di mana pengajaran agama justru menghancurkan peradaban. Agama umumnya mengajarkan, orang lain yang berbeda agama dipandang sebagai obyek, bukan subyek. Dalam istilah keagamaan, orang lain yang berbeda agama menjadi obyek atau sasaran dakwah, yang harus diluruskan agamanya, dan diusahakan beragama sama dengannya.

Tarik-menarik kepentingan tafsir agama yang dibumbui pemutlakan kebenaran atas tafsir agama masing-masing, lalu bersentuhan dengan kepentingan bisnis dan politik kekuasaan aliran dan golongan. Maka, terpicu konflik kekerasan berkepanjangan dengan memanipulasikan kemutlakan tafsir agama itu untuk kebenarannya sendiri. Peradaban yang semula hendak dibangun oleh agama justru kemudian jatuh dan dihancurkan oleh pemutlakan tafsir agama itu sendiri.

Memajukan peradaban

Kini, umat Islam ada dalam suasana Idul Fitri karena setelah melakukan olah jiwa massal selama sebulan, mereka kembali pada fitrahnya yang suci, seperti bayi yang dilahirkan kembali, bersih tanpa dosa. Sebagai bayi, kesucian yang dicapai melalui olah jiwa massal tidak akan berarti jika mereka kemudian kembali terjebak dalam kehidupan lama yang antiperadaban, sebagaimana perkembangan seseorang dari bayi hingga dewasa akan dipengaruhi pendidikan, pengajaran, dan lingkungan sosialnya.

Proses pengulangan kehidupan yang antiperadaban terus akan berulang setiap tahun dan kita tidak mampu lagi keluar dari jebakan kehidupan antiperadaban yang berlangsung lebih lama—selama 11 bulan—daripada olah jiwa massal yang hanya sebulan. Jika jebakan realitas kehidupan sosial yang antiperadaban itu tidak dirombak, olah jiwa massal akan menjadi sia-sia karena kita tidak akan pernah mampu membangun suatu peradaban baru yang lebih maju lagi.

Karena itu, diperlukan upaya dekonstruksi sosial peradaban, dengan melakukan reaktualisasi, rekonstruksi, dan restrukturisasi sosial lama yang antiperadaban, dengan struktur sosial baru yang dapat memajukan peradaban. Perbaikan struktur sosial yang baru harus terus didasarkan reaktualisasi terhadap pemahaman keagamaan agar pendidikan dan pengajaran agama tidak antiperadaban, tidak antirealitas, dengan membuka cakrawala pemikiran keagamaan yang dapat menerima kebenaran dari mana pun datangnya untuk bersama-sama mewujudkan kehidupan saling menghormati atas adanya perbedaan.

Dunia pendidikan dan pengajaran agama dalam kehidupan kita, yang selama ini antiperadaban, harus dikembalikan kepada pendidikan dan pengajaran agama untuk memajukan peradaban. Jika tahun depan alokasi pendidikan pada APBN 2009 mencapai 20 persen, pendidikan peradaban ini penting diperhatikan agar pendidikan nasional dapat memajukan peradaban bangsa, agar peradaban kita sejajar dengan bangsa lain.

Pada hakikatnya, pendidikan nasional adalah bagian dari peradaban bangsa, yang bertugas mengembangkan intelektualisme, menghargai pluralitas, meninggikan rasionalitas dan kebersatuan. Karena itu, pendidikan nasional sebenarnya tidak boleh mendegradasi peradaban bangsa itu sendiri, seperti terlihat gejalanya sekarang, di mana konflik kekerasan justru terjadi di dunia pendidikan, seperti tawuran dan perusakan pilar-pilar akademik yang menjunjung tinggi rasionalitas, justru terjadi di perguruan tinggi kita yang seharusnya dijauhkan dari sikap-sikap antiperadaban. Perguruan tinggi adalah pusat peradaban, bukan pusat kebiadaban.

Idul Fitri adalah momen kemanusiaan yang tidak boleh berlalu begitu saja karena semangat untuk kembali pada kesucian dasar manusia, pada hakikatnya, merupakan tonggak pencapaian spiritualitas baru untuk menghadapi tekanan kekuasaan duniawi yang kian vulgar. Tanpa kembali pada kesucian dasar manusia, tidak ada jalan keluar untuk membangun peradaban baru yang lebih manusiawi.

Musa Asy’arie Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: