Minggu, 28 September 2008

Waluyo, "Membumikan" Agama


KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Waluyo Sastro Sukarno
Sabtu, 27 September 2008 | 03:00 WIB

Ahmad Arif dan M Ardus Sawega

Emperan sebuah rumah di tepian Bengawan Solo, Minggu, 14 September 2008. Terik matahari siang itu terhalang dedaunan pohon mangga. Angin semilir terasa menyejukkan. Bunyi kemanak dan gender diiringi gending Jawa lembut mengalun, berpadu dengan suara rebana dan beduk yang mengentak, membuat tidak ingin beranjak.

Waluyo Sastro Sukarno, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, ikut memainkan musik. Dia kebagian memukul kendang, sedangkan istrinya, Heni (41), dan empat perempuan lain melantunkan tembang-tembang Jawa berseling dengan selawatan, puji-pujian kepada Nabi Muhammad.

Musik itu, yang disebut Santi Suara Laras Madya, menautkan antara budaya Jawa dan Islam. ”Pertautan itu terlihat dari alat musik dan tembangnya,” ujar Waluyo.

Alat musik dari Jawa diwakili kemanak, kendang, dan gender, sedangkan representasi dari budaya Islam adalah rebana dan beduk. ”Tembang dalam Santi Suara Laras Madya biasa menggabungkan tembang-tembang mocopat seperti gambuh, dengan solawatan dan doa-doa dalam Islam,” kata Waluyo menambahkan.

Musik itu pula yang menyatukan dosen, guru, tukang batu, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga di Dusun Kaplingan, Kelurahan Jebres, Kecamatan Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, untuk menembangkan irama yang sama.

Perasaan pun seperti disedot ke masa lampau. Konon, menurut Waluyo, Santi Suara Laras Madya digagas oleh Pakubuwono V (PB V). ”PB V terinspirasi dengan para penyebar awal di tanah Jawa yang mengenalkan agama baru ini melalui budaya dan kesenian,” kata Waluyo.

Pada awal masuknya Islam ke tanah Jawa, para sunan menggunakan musik, lagu, hingga seni pertunjukan wayang untuk menambat hati orang Jawa. Dengan cepat agama baru ini pun menyebar di Jawa. Antropolog dari Amerika Serikat yang banyak meneliti tentang Indonesia, Clifford Gertz, menyebut hal ini dengan Islam yang di-Jawa-kan, daripada Jawa yang di-Islam-kan.

Meski analisa Gertz yang mengotak-ngotakkan tiga kategori Muslim di Jawa sebagai santri, abangan, dan priayi tak sepenuhnya sahih, dia sesungguhnya telah melihat adanya akulturasi praktik-praktik Islam dengan budaya Jawa.

Akulturasi dan asimilasi budaya itu telah membentuk identitas Islam di Jawa yang unik. Identitas yang banyak disemangati oleh nilai toleransi itu telah membuat konfigurasi ”anyar” antara agama yang datang dari Timur Tengah dan agama yang tunduk pada budaya awal di Jawa, tanpa menafikan substansi pesan ”langit” agama itu.

Menyatukan

Dengan semangat toleransi itu pula, Waluyo memunculkan kembali Santi Suara Laras Madya pada tahun 1996 di Dusun Kaplingan.

Sebelum itu, warga jemaah empat masjid di desa itu terkotak-kotak. Mereka fanatik dengan imam masjid masing-masing. Di luar masjid, warga desa di pinggiran Sungai Bengawan Solo itu, anak-anak muda yang berjarak dari masjid, mabuk-mabukan. Tepian Bengawan Solo ini dulunya dikenal sebagai kawasan hitam, tempat mabuk- mabukan dan perjudian.

Waluyo datang ke empat masjid itu. Jemaah dari masjid satu dibawa ke masjid lainnya. Para muda yang sebelumnya berjarak dari jemaah masjid juga diajak bergabung. Mereka membentuk kelompok musik Santi Suara Laras Madya di Kaplingan.

”Saya memulai dengan membentuk kelompok musik anak- anak. Mereka lebih gampang diajari dan mudah guyub (rukun). Kemudian para pemuda, dan baru orang tua,” cerita Waluyo.

Untuk menjembatani komunikasi antar-generasi, Waluyo pun menggubah tembang berjudul Guyub. Tembang yang mengingatkan pentingnya kebersamaan ini dinyanyikan bersahut-sahutan antara anak-anak, pemuda, hingga orang tua, lelaki maupun perempuan. Tembang-tembang Santi Suara Laras Madya lain yang digubah Waluyo juga berisi tentang ajakan untuk senantiasa berbuat kebajikan terhadap sesama.

Santi Suara, yang artinya doa yang baik, pernah sangat populer di Surakarta hingga era tahun 1960-an. Pada waktu itu, radio-radio di kota ini banyak yang mengalunkan musik yang memadukan unsur Islam dan Jawa. Namun, musik ini mulai punah. Kelompok musik Santi Suara Laras Madya yang dibentuk Waluyo menjadi rintisan baru.

Bagi Waluyo, mengembangkan kembali Santi Suara Laras Madya tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menjadi media efektif untuk menyebarkan kebajikan.

”Menyampaikan kebaikan bisa dengan musik dan lagu. Pendekatan budaya ini telah dilakukan sejak lama, dan lebih mengena,” ujarnya. Musik ini juga menjadi medium bagi Waluyo untuk memperpendek jarak antara dunia kampus dan masyarakat sekitar.

”Sebelumnya saya merasa berjarak. Tetapi, dengan membuat kelompok musik bersama masyarakat, saya bisa membaur dengan mudah,” kata Waluyo yang berasal dari Blora ini.

Di mata Waluyo, seni tak hanya berfungsi secara estetis dan wadah mengekspresikan diri, tetapi juga menjadi media komunikasi dengan realitas keseharian dan alat untuk mengajak kepada kebaikan.

Tidak ada komentar: