Selasa, 30 September 2008

Potensi Zakat Triliunan Rupiah


Manajemen Perlu Diatur Lebih Baik

Selasa, 30 September 2008 | 00:18 WIB

Jakarta, Kompas - Potensi zakat, yang pelaksanaannya merupakan salah satu dari lima Rukun Islam, bisa mencapai triliunan rupiah. Namun, sejauh ini pengorganisasian zakat tersebut belum optimal sehingga manfaatnya belum dapat dirasakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat di Indonesia.

Berdasarkan hitungan Kompas, potensi minimal zakat di Indonesia sebesar Rp 4,8 triliun. Asumsinya, penduduk Muslim 88,2 persen dari total penduduk Indonesia. Mengacu pada Survei Sosial Ekonomi Nasional 2007, dari 56,7 juta keluarga di seluruh Indonesia, 13 persen di antaranya memiliki pengeluaran lebih dari Rp 2 juta per bulan. Dengan asumsi bahwa penghasilan setiap keluarga itu lebih besar daripada pengeluaran, minimal keluarga itu mampu membayar zakat 2,5 persen dari pengeluarannya. Dengan demikian, nilai totalnya menjadi Rp 4,8 triliun.

Survei Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) tahun 2007 menyebutkan, potensi zakat di Indonesia lebih besar lagi, yaitu Rp 9,09 triliun. Survei ini menggunakan 2.000 responden di 11 kota besar.

Pakar ekonomi syariah, Syafii Antonio, bahkan menyebut potensi zakat Indonesia mencapai Rp 17 triliun. Namun, hasil riset terbaru dari Ivan Syaftian, peneliti dari Universitas Indonesia, tahun 2008, dengan menggunakan qiyas zakat emas, perak, dan perdagangan, didapat data potensi zakat profesi sebesar Rp 4,825 triliun per tahun. Penghitungan ini menggunakan variabel persentase penduduk Muslim yang bekerja dengan rata-rata pendapatan di atas nisab.

Sementara itu, jumlah dana zakat yang bisa dihimpun Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) tahun 2007 sebesar Rp 14 miliar. Apabila digabung dengan penerimaan zakat seluruh lembaga amil zakat (LAZ) tahun 2007, dicapai Rp 600 miliar. Nilai ini hanya 12,5 persen dari potensi minimal yang ada jika asumsi potensi Rp 4,8 triliun.

Manajemen zakat

Direktur Eksekutif Baznas Emmy Hamidiyah berpendapat bahwa manajemen zakat perlu diatur lebih baik karena belum maksimal. ”Selama ini belum ada lembaga yang mengatur semua pengelola dan penyalur zakat. Sebaiknya ada kontrol sehingga penggunaan zakat dapat dirasakan umat,” kata Emmy.

Selama ini, pengelolaan zakat dilakukan Baznas, Badan Amil Zakat Daerah, dan LAZ yang tersertifikasi maupun yang tidak. Pengelola masing-masing mempunyai aturan main sendiri dalam operasionalnya.

Amin Abdullah, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, menuturkan, persoalan zakat melibatkan tiga aspek penting yang saling mengait, yaitu muzaki atau pemberi zakat, pengelola zakat, dan pengawas. Namun, hingga kini ketiga aspek itu masih jalan sendiri-sendiri. Akibatnya, optimalisasi potensi zakat dan pemanfaatannya belum bisa dilakukan. ”Selama tiga faktor ini tidak berjalan, potensi sebesar apa pun hilang,” ujarnya, Senin (29/9).

Syafii Antonio juga menyayangkan sebagian besar umat Muslim yang hanya memaknai zakat sebagai ibadah ritual. ”Zakat ibarat potensi besar yang mati sehingga belum bisa jadi tumpuan pengentasan kemiskinan,” paparnya.

Tragedi pembagian zakat di Kabupaten Pasuruan, 15 September, yang menewaskan 21 orang, merupakan pelajaran berharga.

Peneliti PIRAC, Hamid Abidin, menilai, pendayagunaan zakat kurang karena hanya menggunakan pendekatan santunan. Zakat masih lebih fokus pada delapan kelompok yang berhak menerima. Padahal, zakat berfungsi stra- tegis dalam pemerataan kekayaan, pemberdayaan ekonomi umat, aspek advokasi, dan pendidikan. (NDY/ACI/RWN/GIANIE)

Tidak ada komentar: