Kamis, 11 September 2008

Islam Kebelet dan Islam Ngeden

Jakarta, wahidinstitute.org
Direktur the WAHID Institute Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid menyatakan, the WAHID Institute didirikan empat tahun silam guna menyebarkan faham Islam yang toleran dan damai. Agenda ini, antara lain, dilakukan melalui riset, diskusi, dan publikasi baik melalui website, penerbitan maupun kerjasama dengan media massa.

“Kami ingin meluruskan pandangan yang mendominasi dunia bahwa Islam berwajah garang.”


Demikian dinyatakan Yenny Wahid saat memberi sambutan pada Ulang Tahun ke-4 the WAHID Institute di Kantor the WAHID Institute Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, Senin (8/09/2008). Pada ultah bertema Sufisme Islam untuk Perdamaian Dunia ini, tampak hadir juga pendiri the WAHID InstituteKH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua DPP PKB Ali Masykur Musa, ratusan pegiat pluralisme agama dan toleransi dari berbagai lembaga, dan wartawan dari berbagai media massa.

Selain itu, imbuh Yenny, pihaknya juga mulai mendorong masyarakat bawah membentuk lembaga mikro ekonomi dan koperasi. “Ini untuk memastikan bahwa hal mendasar yang harus menjadi hak semua orang, ekonomi yang adil, bisa diterjemahkan dalam bentuk yang kongkrit. Kami juga mulai memberi beasiswa untuk SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. al-Hamdulillah telah banyak peminatnya,” ujarnya. “Ini terobosan atau rintisan kami,” sambungnya.

Dalam menyebarkan agendanya, kata Yenny, masih banyak tantangan yang dihadapi lembaganya. Misalnya, pertama, masih terpusatnya sumber daya ekonomi dan politik pada kekuatan tertentu saja, terutama di daerah. “Ini kendala bagi kami untuk mendorong partisipasi lokal di daerah,” terangnya.

Kedua, makin lemahnya perhatian masyarakat pada keilmuan. Kebanyakan dari mereka inginnya serba instan. Sehingga, mereka kurang perhatian pada riset serius dan pencapaian melalui kerja keras. Ketiga, dimasukkannya agama ke lingkup politik yang mengakibatkan banyak terjadi benturan di akar rumput. “Kalalu pemimpin agama lebih peduli pada ambisi politik mereka, agama lalu direduksi untuk kepentingan sesaat. Ini semua tantangan yang harus kita perjuangkan,” kata Yenny.

Untuk menghadapi berbagai tantangan ini, Yenny berharap bantuan dan kerjasama dari semua pihak dan rekanan/jaringan. “Dengan kerjasama ini, kami yakin bisa mewujudkan masyarakat yang kita citakan, yang cinta damai, toleran dan menghargai kebhinekaan,” ujarnya optimis.

Usai sambutan direktur, acara disambung dengan taushiyah oleh Pemimpin Redaksi Majalah Sufi KH. Lukman Hakim. Dalam uraiannya, terkait tipe-tipe gerakan Islam yang ada saat ini, KH. Lukman mengungkapkan adanya tipologi orang Islam yang kebelet mau ke kamar kecil dan ngeden di kamar kecil. Tipe yang pertama, dengan segala ketidaksabarannya menggedor-gedor pintu kamar kecil karena sudah tidak tahan. “Ini Islam kebelet. Dengan modal sedikit pengetahaun tentang Islam, segalanya harus segera selesai atas nama Islam,” ujarnya.


Sedang tipe kedua, adalah orang Islam yang ketika sampai di dalam kamar kecil lalu ngeden. Mereka memaksakan apapun atas nama Islam, tapi sesungguhnya itu nafsu Islam. Para sufi, katanya, sering menganjurkan supaya dalam melakukan sesuatu kita tidak ngeden alias jangan ingin cepet selesai secara instan, termasuk juga dalam melakukan ritual keagamaan. Misalnya berzikir masal dengan pakaian seragam, lalu Tuhan disuruh bekerja “ini” dan “itu”. “Ini seperti Islam ngeden. Jangan ngeden, nanti bisa ambiyen,” katanya disambut tawa.

Selain keduanya, kata KH. Lukman, ada juga tipe umat Islam yang begitu keluar dari kamar kecil lupa segalanya, terutama pada penjaga kamar kecilnya, yaitu para kiai dan ulama pesantren. “Masalah kebangsaan ini dijaga para kiai dan ulama di pesantren. Ternyata begitu selesai, ya selalu dilupakan dan ditinggalkan. Kalau sudah kebelet dan sangat krisis, mereka kembali lagi ke kamar kecil,” ujarnya.

Terkait perdamaian, KH. Lukman menyatakan, ajaran tasawuf memiliki nilai-nilai yang sangat emanative bagi seluruh proses kehidupan umat manusia tanpa pandang bulu. Ini membuat tasawuf tak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan golongan atau agamanya. Semua sama di mata Tuhan dan semata ketakwaanlah yang membedakan mereka.

Dikatakannya, upaya menciptakan perdamaian dunia membutuhkan tokoh besar yang diibaratkannya manusia lautan. Kapal selam, mutiara, bangkai, dan seluruh limbah di muka bumi mengalir ke lautan. Namun semua itu tak mempengaruhi asinnya air laut. “Kepribadian orang yang mengawal gerakan perdamaian harus seperti lautan. Pluralitas luar biasa tapi tidak mempengaruhi rasa asinnya. Lihat saja Gus Dur sebagai tokoh yang menyelesaikan persoalan konflik tanpa kekerasan dan menggunakan jalan diplomasi,” terangnya mencontohkan.

Yang tak kalah menarik, KH. Lukman Hakim memaparkan sejarah Rasulullah Saw memerangi orang musyrik. Menurutnya, apa yang dilakukan nabi bukan karena mereka non-muslim, melainkan karena mereka telah menciptakan chaos (fitnah) atau suasana tidak patuh pada Konstistusi Madinah yang telah disepakati bersama. “Bukan karena mereka berbeda dengan kita,” jelasnya.

Begitu juga kebijakan Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq memerangi para pengingkar zakat. Konon, Umar bin al-Khattab protes atas kebijakan ini, karena Rasulullah Saw tak pernah memerangi mereka. “Apakah Anda akan memerangi orang yang Rasulullah Saw tidak memeranginya?” protes Umar. “Saya akan perangi mereka, karena mereka menciptakan chaos sosial dan meruntuhkan bangunan sosial yang telah dibangun Rasulullah Saw. Itu fitnah sosial,” jawab Abu Bakar sebagaimana ditirukan KH. Lukman.

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memberi sambutan terakhir tidak banyak menyampaikan nasihat. Gus Dur hanya berdoa, semoga di masa depan the WAHID Institute dapat menjadi teladan bagi kita semua. “Juga bisa mendorong kita untuk menjadi orang yang lebih baik lagi,” harap Gus Dur sembari mengucap “amin”.

Perayaan ultah yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaan ini lantas ditutup doa oleh DR. Abdul Moqsith Ghazali dan dilanjutkan buka bersama.[nhm]

Tidak ada komentar: