Rabu, 03 September 2008

Alquran Membebaskan Perempuan


Alquran adalah sumber ilmu dan pedoman perilaku umat Islam. Kandungannya dikaji dan diamalkan oleh umat Islam. Dalam konteks perempuan, Alquran mempunyai spirit transformasi yang dahsyat. Ini dapat kita lihat dari bukti sejarah.  

Sebelum Alquran turun, tradisi masyarakat Arab Jahiliyyah adalah membunuh bayi perempuan yang lahir. Bayi perempuan adalah lambang kelemahan, kekalahan, dan kehinaan. 

Bayi laki-laki adalah lambang keperkasaan, kemenangan, dan kehormatan. 
Alquran turun mereformasi tradisi ini. Alquran mengharamkan pembunuhan bayi perempuan dan menggolongkannya sebagai tindak kejahatan. Bayi perempuan tidak beda dengan bayi laki-laki. 

Mereka sama-sama punya hak untuk hidup, berkembang, dan berkarier sebagaimana laki-laki. Pada waktu perempuan sedang mengalami menstruasi, orang-orang Yahudi dan Nasrani mengungsikannya ke lereng-lereng bukit dan gunung-gunung, karena dikatakan makluk najis dan kotor. 

Alquran datang untuk mengubah tradisi negatif ini dengan pemberian izin bagi perempuan menstruasi yang berkumpul bersama keluarga, bahkan bersenang-senang dengan suami selama tidak dalam konteks hubungan seks. 

Ketika perempuan tidak menerima warisan apa pun, Alquran datang memberikan waris lima puluh persen dari laki-laki. Kalau zaman dulu, perempuan hanya sebagai pemuas nafsu biologis dan tidak ada ada pembatasan dalam poligami. Alquran datang merombak total tradisi brutal ini. 

Alquran mewajibkan menikah sebagai lambang ikatan suci dengan tugas dan tanggung jawab yang besar, khususnya kepada pihak suami yang harus memberikan nafkah lahir-batin kepada istri dan anak-anak-nya. 

Alquran juga membatasi poligami maksimal empat dengan syarat adil dalam semua hal; perlakuan, nafkah, pendidikan, fasilitas, dan lain-lain. Kalau tidak mampu berbuat adil, maka sebaiknya satu saja. 

Alquran dengan jelas mengatakan, berbuat adil dengan beberapa istri itu hampir mustahil diwujudkan karena menyangkut perasaan dan dorongan pribadi. Oleh sebab itu, kalau tidak mampu berbuat adil, maka jangan sampai ditampakkan sehingga bisa melukai perasaan dan batin istri yang lain. 

Jika tidak mampu menyimpan, maka harus monogami. Ini demi menggapai tujuan mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang) dalam berkeluarga sebagaimana dianjurkan Alquran. Dari aspek yang lain, ruang aktualisasi perempuan yang domestik dikembangkan oleh Nabi Muhammad atas bimbingan Alquran. 

Perempuan ditempatkan dalam pos pendidikan, peperangan, dan kemasyarakatan. Dalam hal pendidikan, Alquran mendorong laki-laki dan perempuan secara sama untuk terus mengembangkan ilmu sebagai kunci dan bekal menggapai masa depan. Seorang suami harus mengembangkan potensi intelektualitas istrinya. Kalau tidak, nanti akan menerima balasan setimpal ketika bertemu Allah. 

Dalam peperangan, Nabi menyertakan perempuan-perempuan untuk membantu secara aktif bidang logistik dan kesehatan para prajurit. Dalam hal kemasyarakatan, Alquran mendorong perempuan untuk bersama laki-laki aktif melakukan gerakan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran). 

Visi Emansipasi 

Allah berfirman, ”Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang bagus, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Taubah 71).” Visi emansipasi perempuan yang digelorakan Alquran ini tentu sangat revolusioner dan sangat bertentangan dengan tradisi kala itu dan sebelumnya. 

Bangsa Yunani dan Romawi pada zaman dahulu, menganggap kaum perempuan sebagai budak yang tidak memiliki hak apa pun atas dirinya. Filsuf sekaliber Aristoteles pun mengatakan, posisi perempuan di hadapan laki-laki menyerupai posisi hamba di hadapan tuan, pekerja dihadapan ilmuwan dan derajat laki-laki jauh lebih unggul atas perempuan (Very Verdiansyah, 2004:142). Dari Ăˆlan transformasi ini muncullah ilmuwan dan tokoh perempuan. 

Aisyah ummul mu’minin adalah istri Nabi yang sangat terkenal karena pengetahuannya yang luas mengenai hadits, fiqih, sejarah, syair, pengobatan, dan ilmu astronomi, dan bahkan telah ikut serta dalam persoalan-persoalan politik dan memimpin kaum muslimin dalam perang Jamal (yaum al-Jamal). 

Begitu dalamnya pengetahuan Aisyah tentang agama hingga Rasul bersabda: ”Ambillah dari Aisyah setengah dari pengetahuan tentang agama ini. (Sunan Tirmidzi, 354).” Selain itu, sejarah merekam banyak wanita yang terkemuka dan terpandang karena kedalaman ilmu dan kezahidannya. 

Amrah binti Abd Al-Rahman, misalnya, dipandang sebagai seorang seorang faqihah yang sangat alim, tergolong sebagai ulama besar yang memberikan fatwa di Madinah setelah sahabat-sahabat Nabi. 

Hafsah binti Sirin adalah ahli hadits dari Basrah yang terkenal karena ketakwaan dan kezahidannya. Dia mulai menghapal al-Qur’an dalam usia 12 tahun dan banyak meriwayatkan hadits. 

Haditsnya dijumpai dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Aisyah binti Thalhah adalah seorang ahli hadits yang terkenal dan terpercaya. Pada masa Muawiyah juga muncul tokoh-tokoh perempuan, seperti Ummu Banin, permaisuri Khalifah Al-Walid bin Abd Al-Malik yang sangat terkenal karena pengetahuan dan wawasannya yang luas dan visinya yang jauh ke depan. 

Dia sering kali menjadi tempat untuk meminta saran dan pendapat oleh khalifah. Al-Sayyidah Sakinah binti Al-Husain merupakan salah seorang tokoh perempuan yang menjadi idola perempuan-perempuan pada masanya (Musda Mulia, 2005).

 Diversifikasi 

Ke depan, elan transformasi yang telah ditelorkan Alquran harus dikembangkan secara progresif untuk merespons problem keumatan dan kebangsaan. Perempuan harus terus meningkatkan kapasitas intelektualnya, manajemen, dan aksi sosialnya agar mampu bersama-sama komponen bangsa yang lain mengentaskan kemiskinan, meng-hilangkan kebodohan, dan membangun peradaban baru yang bersendikan Islam di tengah peradaban dunia yang serba hedonis, kapitalis, sekularis, dan materialis. 

Perempuan harus berperan dalam segala sektor kehidupan secara luas, politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan lain-lain dengan tetap mengedepankan ketinggian intelektualitas dan keagungan moralitas. Di sinilah kunci kebangkitan perempuan sebagaimana dianjurkan Alquran.

(Jamal Ma’mur Asmani, pengurus harian Rabithotul Ma’ahid Islamiyah Cabang Pati - 80)

Tidak ada komentar: