Sabtu, 27 September 2008

Studi Kritis Terhadap Orientalisme


M Hilaly Basya
Mahasiswa Islamic Studies di Universitas Leiden, Belanda


Pada dasarnya orientalisme adalah sebuah disiplin kajian yang serius. Orientalisme dikembangkan agar Barat dapat mempelajari kemajuan peradaban Timur.

Sebagaimana dijelaskan dalam pidato 'The Meridian House' yang disampaikan oleh Edward Djerejian, asisten Menteri Luar Negeri untuk urusan Timur Dekat pada masa Pemerintahan Bill Clinton, bahwa melalui tangan kreatif ilmuwan-ilmuwan Muslimlah Barat mampu bangkit dan membangun kembali peradabannya (1992). Dengan demikian sebelum mencapai kemajuannya seperti yang kita saksikan sekarang ini, Barat banyak menimba pengetahuan dari dunia Islam.

Hasilnya, teologi-mitologi digeser oleh ilmu pengetahuan. Pada masa itu terjadi pergumulan antara ilmu pengetahuan dan doktrin gereja. Dengan demikian renaissance dan era modern Barat merupakan produk dari studi ilmuwan Barat terhadap Timur (Islam). Artinya, studi terhadap Timur tidak selalu mengandung kepentingan politis. Dalam banyak hal justru menggambarkan bahwa Barat ingin mempelajari ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban lain.

Namun, ada sisi lemah yang memang bisa kita ungkapkan dalam kajian orientalisme. Edward Said dalam bukunya Orientalism (1978) memberikan kritik tajam terhadap epistemologi orientalisme. Bagi Said, tidak ada orientalisme tanpa bias politik dan budaya. Ketika Timur ditekstualisasikan oleh Barat, saat itu ada kepentingan peradaban untuk menghadirkan inferioritas Timur (Islam).

Meminjam perspektif teori analisis diskursus dari Michel Foucault, sebuah institusi, praktik, dan konsep terkait dengan empat hal, yaitu keinginan, kekuasaan, disiplin, dan pemerintahan. Keempat hal ini disebut formasi diskursif, yakni bangunan yang mendasari sebuah diskursus (1972: 41). Pengetahuan, menurut Foucault, dikontrol oleh kekuatan-kekuatan dominan.

Terkait dengan itu, peradaban Islam dan Barat yang kita pahami tidak terlepas dari kontestasi pemaknaan. Sungguhpun keduanya merupakan realitas objektif yang tak terbantahkan, makna yang dikandungnya mengalami pergumulan. Ini karena makna dibangun dan dikontrol oleh kekuatan-kekuatan tertentu.

Kekuatan-kekuatan tersebut berkontestasi mendaulat dirinya menjadi pemilik otoritas untuk menafsirkan, memaknai, dan mendefinisikan. Dengan demikian makna Barat dan Islam terkait dengan kepentingan yang beroperasi di baliknya. Karenanya Said menyimpulkan bahwa orientalisme tidak lebih merupakan ajang pertukaran berbagai jenis kekuasaan (1978).

Said membedakan empat jenis kekuasaan yang berkontestasi di seputarnya, yakni kekuasaan politis, intelektual, budaya, dan moral. Kekuasaan politis dimaksudkan sebagai pembentukan kolonialisme dan imperialisme, sedangkan kekuasaan intelektual bermakna bahwa Barat hendak mendidik Timur sebab Timur dinilai bodoh, tidak menguasai ilmu pengetahuan, menyukai kekerasan, irasional, mistis, dan seterusnya.

Kekuasaan budaya mengandung tujuan tidak jauh berbeda dengan yang kedua, sementara kekuasaan moral menentukan dan mengontrol Timur tentang yang baik dan yang buruk. Kesimpulannya, keempat jenis kekuasaan yang beroperasi di balik orientalisme bermuara pada legitimasi superioritas Barat terhadap Timur. Timur ibarat panggung yang mementaskan drama dan kejadian, sementara Barat penontonnya yang melihat dan menilai Timur dengan ukuran-ukuran peradaban Barat.

Karya Said memberikan kontribusi signifikan dalam perkembangan kajian tentang orientalisme. Selain itu juga memberikan legitimasi ilmiah bagi ketidakrelaan Timur dihadirkan oleh Barat. Bagi Said, epistemologi orientalisme menggambarkan bahwa Barat, sang aku, yang berpikir adalah eksisetnsi mutlak. Dengan kata lain, Barat yang menggunakan standar berpikir ilmiah menyatakan diri sebagai pemegang otoritas dalam menilai dan mendefinisikan kebudayaan lain.

Sejauh ini orientalisme memperlihatkan sang aku secara produktif mendefinisikan the other. Bahkan, the other mengenal dirinya melalui sang aku. Dengan demikian sang aku atau Barat menjadi pengontrol dan peramal masa depan Timur.

Kita tidak bisa secara ekstrem beranggapan bahwa semua hasil studi orientalisme berniat jelek untuk menghancurkan umat Islam. Namun, kita juga tidak boleh menerima produk orientalis itu secara tidak kritis.

Sisi lemah yang mendasari orientalisme adalah pada epistemologinya. Tampaknya hal inilah yang membuat banyak umat Islam senantiasa mencurigai orientalisme. Alangkah baiknya jika para cendekiawan Muslim produktif mengonsepsi sejarah dan masa depannya. Ini karena orientalisme hanya bisa dilawan dengan merebut otoritas yang selama ini didominasi oleh the other.

Tidak ada komentar: