Kamis, 11 September 2008

Feminisme Islam Progresif ala Rabi’ah al-‘Adawiyyah

Oleh Farid Muttaqin
Bagi kaum Muslim, Rabi’ah al-‘Adawiyyah bukanlah tokoh asing. Dia dikenal sebagai salah satu sufi garda depan sepanjang sejarah Islam. Ketokohannya diakui tak hanya di kalangan Islam. Mengutip al-Munawi, pengkaji sufisme Islam yang sangat populer, Margaret Smith, menyebut Rabi’ah sebagai “the leader of women disciples and the chief of women ascetics”. Saya ingin mengelaborasi kehidupan sufisme Rabi’ah dalam kerangka diskursus feminisme Islam progresif.

Bukan hal mudah memberikan klaim pada Islam. Apalagi, klaim tersebut dipandang sebagai pemikiran Barat, seperti feminis dan progresif. Bagi banyak Muslim, khususnya penganut traditionalisme, hanya ada satu Islam: Islam murni (pure Islam), tanpa embel-embel, seperti Islam masa as-salaf as-shalih. Karenanya, klaim seperti itu membutuhkan argumen yang meyakinkan bahwa sesungguhnya agama ini penuh warna dan pengaruh sosial-budaya, historikal dan kontekstual. Klaim feminisme progresif terhadap Islam juga lahir dari proses panjang sejarah agama ini. Pada Rabi’ah, kita bisa melihat sisi feminisme progresif dalam sejarah Islam. Bisa disebut kalau nilai feminisme progresif bahkan inheren pada Islam karena sufisme banyak mengandalkan refleksi diri yang bisa jadi murni dari pengaruh eksternal.

Feminisme Islam progresif mengacu pada upaya pendobrakan struktur kekuasaan patriarkhal yang diimani kaum Muslim tradisional berdasarkan pemikiran Islam bias jender. Setiap bidang ilmu Islam memiliki tokoh pemikir anutan masing-masing yang dianggap otoritatif, hingga hanya pemikiran ilmuan tersebutlah yang valid dijadikan landasan keagamaan. Tradisionalisme juga ada di bidang ilmu apapun. Sayangnya, pemikiran yang diacu lebih banyak berkepentingan patriarkhal. Contohnya, pikiran-pikiran Imam al-Ghazali misalnya dalam Ihya ’Ulum ad-Din, yang sangat populer di kalangan Muslim tradisionalis. Menurutnya, seorang perempuan seharusnya mengurus dan menghormati suaminya, baik saat sedang bersama atau berpisah, dan harus selalu berusaha menyenangkannya. Al-Ghazali tak menyebut kalau suami juga perlu melakukan hal sama terhadap istrinya.

Di lapangan sufisme, memang terdapat percikan pemikiran yang mengarah pada rekonstruksi relasi jender ke arah yang lebih adil. Misalnya saja, karena sufisme lebih mementingkan sisi batin dalam pencapain derajat tertinggi spiritualitas, maka jenis kelamin fisikal menjadi sesuatu yang tidak penting. Dalam sufisme, perempuan dan laki-laki akan melebur menjadi satu jiwa (one soul). Namun, di tengah cara pikir ini, masih banyak sisa patriakhisme dan seksisme melingkupi dunia mistik Islam. Beberapa contoh, di antaranya, bisa ditemui pada kebiasaan homoseksualitas pada sufi Muslim laki-laki, termasuk Abu Nawas. Bagi mereka, membangun hubungan intim dengan laki-laki lebih baik bagi seorang sufi demi menghindarkan diri terbawa nafsu seksual tak terkontrol, seperti saat mereka berhubungan dengan perempuan. Perempuan, menurut mereka, tetap adalah sumber nafsu seksual (nafs) yang harus dihindari. Bahkan jika akhirnya muncul sufi perempuan yang sanggup menggapai derajat spiritualitas tertinggi, pada saat itu, dia sebenarnya ”bukan perempuan lagi.” Kata Fariduddin ‘Attar, “When a woman walks in the way of God like a man, she cannot be called a woman”. Itulah sedikit gambaran patriakhisme dalam dunia sufi.

Segala upaya pendobrakan terhadap pemikiran patriarkhal yang begitu kuat dimitoskan kebenarannya oleh mayoritas Muslim merupakan bagian penting feminisme Islam progresif. Dengan demikian, karakter utama feminism Islam progresif tak hanya mengupayakan penyelamatan buat perempuan (women’s salvation), misalnya dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalisme-keagamaan; lebih dari itu melakukan upaya dekonstruksi hegemoni patriarhisme pemikiran Islam tradisionalis itu. Seringkali, penghormatan fanatik terhadap seorang pemikir, semisal al-Ghazali, menutup daya kritis kita terhadap pemikiran-pemikirannya, meski dalam pemikiran itu disadari adanya pandangan tidak adil terhadap perempuan. Di sinilah dibutuhkan feminisme Islam progresif agar kita bisa melakukan kritisi dan kontekstualisasi pemikiran intelektual Islam, menyurutkan fanatisme tokoh, tapi tetap menaruh hormat sebagai pemikir penting di masanya. Sekali lagi, upaya dekonstruktif ala feminisme Islam progresif bukan hanya terinspirasi pemikiran liberal Barat seperti banyak dituduhkan mayoritas Muslim tradisionalis, tetapi ia juga datang dari lingkungan dalam Islam sendiri, seperti tampak jelas pada kehidupan sufistik Rabi’ah.

Rabi’ah al-‘Adawiyyah al-Bashri lahir dari sebuah keluarga papa sekitar tahun 717 M di kota Basrah, Irak. Sewaktu mulai tumbuh dewasa, Rabi’ah menjadi yatim-piatu. Rabi’ah harus mengalami nasib menjadi budak ketika seorang “penjahat” menemukannya di tengah gurun dan menjualnya. Ia harus menyediakan sepenuh waktunya untuk bekerja keras pada sang tuan. Namun, “bakat” Rabi’ah pada mistik Islam justeru banyak lahir dari situasi payah ini. Dan, di sinilah, kita bisa melihat sisi progresifitas feministiknya.

Meski harus bekerja keras sebagai budak, Rabi’ah terus belajar mengarungi tingkat tertinggi menjadi sufi. Suatu malam, sang tuan melihatnya sedang tepekur, mengiba cinta Tuhannya, mengabdikan segala cintanya sendiri buat sang Tuhan. Di tengah doa, muncul secercah cahaya di atas kepala Rabi’ah yang kelamaan membesar hingga menerangi seluruh ruang. Sang tuan takut melihat itu, lalu esoknya membebaskan Rabi’ah dari status sahaya. Inilah tanda pertama progresifitas Rabi’ah. Ia mampu membangun kesadaran spiritualitas sebagai sumber pembebasan; dengan sufisme, alih-alih terpenjara, Rabi’ah mampu mencapai sesuatu yang lebih dari statusnya sebagai budak.

Nilai feminisme Islam progresif paling jelas Rabi’ah terdapat pada pilihannya untuk selibat. Menjadi sufi, tak menutup kemungkinan untuk membangun keluarga. Karenanya, pilihan selibat Rabi’ah akan bisa dinilai tak hanya karena argumentasi sufistiknya demi mencapai derajat spiritualitas yang lebih tinggi, tetapi memiliki dimensi feminisme yang sangat maju. Dalam proses memutuskan selibasinya, Rabi’ah telah menolak ajakan nikah tiga tokoh penting, yang semuanya memberikan jaminan tak akan mengganggu hasrat spiritualitasnya. Mereka yang ditolak adalah Abdul Wahid bin Zaid seorang asketis, teolog, pendakwah yang dikenal sangat alim; Muhammad bin Sulaiman al-Hashimi, seorang ’amir Dinasti Abbasiyah di Basrah; dan Hasan al-Bashri, sufi paling terkenal dalam sejarah Islam. Dengan penolakan ini, dan lalu memilih selibat, Rabi’ah mampu menjadikan sufisme sebagai kuasa penting dalam melakukan tawar-menawar saat berhadapan dengan laki-laki. Rabi’ah bahkan mampu ”meruntuhkan dari dalam” pandangan mainstream sufisme yang seksis, yang mengucilkan perempuan dari jalan utama spiritualitas, yang selalu saja menyangsikan perempuan dari kemampuan mengontrol diri agar tak jadi sumber nafsu seksual. Demikianlah, dari secuil bagian saja kehidupan Rabi’ah, kita bisa menimba nilai penting tentang feminisme Islam progresif.

(Farid Muttaqin , aktifis PUAN Amal Hayati dan mahasiswa Ohio University, Athens, Amerika)


Tidak ada komentar: