Kamis, 11 September 2008

MENGUAK FUNDAMENTALISME

Oleh : Fadhli Yafas

Walaupun tidak dikenal dalam sejarah Islam, saat ini fundamentalisme menjadi salah terma yang sering dikaitkan dengan Islam. Kondisi ini serupa dengan terma-terma lain seperti demokrasi, sekulerisme, sosialisme dan sebagainya. Walaupun tidak memiliki akar dalam Islam, terma-terma tersebut sering diasosiasikan dengan Islam sehingga munculah kemudian istilah-istilah seperti fundamentalisme Islam, demokrasi Islami, sosialisme Islam dan sebagainya.


Berkenaan dengan fundamentalisme, terma ini bukan sekedar terma akademis atau terma sosiologis yang bebas nilai. Fundamentalisme merupakan sebuah sikap dan pandangan hidup yang dimunculkan pada abad 19 masehi oleh orang-orang Kristen protestan. Sikap dan pandangan hidup ini merupakan reaksi mereka terhadap penerapan sekularisme dan kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa. Penerapan sekularisme dan kemajuan ilmu pengetahuan telah membuat apa yang mereka yakini dalam injil menjadi terkoreksi. Apalagi kemudian dengan potensi masalah teks yang dimilki injil , berkembang kemudian tafsir teks injil yang menggabungkan nilai-nilai sekuler dengan metodologi intepretasi pembacaan teks yang berbasis pada filsafat yunani yaitu hermeneutika. Dengan metodologi tafsir ini keberadaan injil, dan bahkan Tuhan, tidak lagi menjadi sakral, karena dalam konsep ini keberadaan teks injil dianggap sama dengan teks-teks lain, tidak sakral dan tidak dipakai makna literalnya. Dan memang pada faktanya kemudian Injil tidak mampu lagi menyajikan solusi praktis terhadap dinamika kehidupan yang dihasilkan oleh kemajuan ilmu teknologi. Hasil-hasil intepretasi Injil atau Bible menghasilkan kesenjangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

Kondisi ini kemudian mendorong gerakan Protestan untuk mengambil langkah menolak kemajuan materi dan peradaban barat . Kemudian mereka juga membentuk sejumlah organisasi pada 1902 yang dikenal dengan nama The Society of The Holy Scripture. Organisasi ini menerbitkan 12 penerbitan dengan nama Fundamentals . Gerakan ini dirancang oleh kaum protestan untuk melindungi kitab suci mereka dari proses desakralisasi oleh para penafsir liberal. Selain The Society of The Holy Scripture, kemudian didirikan juga Lembaga Kristen Fundamentalis Internasional dan Perhimpunan Fundamentalis Nasional pada tahun 1919 . Inilah akar fundamentalisme, sebuah pandangan hidup yang lahir sebagai reaksi atas kemajuan ilmu pengetahuan dan penafsiran injil yang menafikan makna literal injil.

Dengan melihat sejarah fundamentalisme jelaslah bahwa konsepsi ini merupakan sebuah pandangan hidup orang Protestan kala itu. Dan sebagai sebuah pandangan hidup, jelas terma fundamentalisme bukankah sebuah terma yang netral dan bebas nilai. Konsepsi ini jelas-jelas memiliki muatan nilai-nilai pandangan teologi Kristen.Dan saat ini, bagi orang kebanyakan orang Kristen sendiri menurut John L.Esposito, sebutan fundamentalisme merupakan sebuah hinaan .

Walau nyata-nyata fundamentalisme merupakan sebuah pandangan hidup yang khas dari orang Protestan, belakangan kaum orientalis dan para liberalis yang tinggal di negeri kaum muslimin, teramat sering mengaitkan antara fundamentalisme dengan Islam. Sepertinya mereka mencoba untuk melemparkan hinaan itu kepada kaum muslimin juga. Bagi mereka, terdapat irisan antara konsepsi fundamentalisme dengan keberadaan beberapa kelompok kaum muslimin. Dengan alasan bahwa kaum muslimin tersebut melakukan beberapa hal yang dilakukan oleh orang Protestan dulu yaitu : 1) Mereka menolak metode tafsir hermeneutic sekuler dalam menafsirkan Kitab Suci; 2) Menolak keberadaan paham Liberalis Sekuler.

Kalau kita betul-betul pahami akar permasalahannya, maka tuduhan fundamentalisme terhadap kaum muslimin adalah suatu hal yang keliru dan sembrono. Penyebab utama dari munculnya fundamentalisme adalah ancaman desakralisasi terhadap bible (injil) akibat tafsir hermeneutika-sekuler.

Hermeneutika sendiri bukanlah konsep asli teologi Kristen. Konsep ini merupakan serapan dari filsafat Yunani . Konsep ini misalnya dapat ditemukan dalam karya Plato (429-347) Politikos, Epinomis,Defitione dan Timeus. Dahulu, orang-orang Yunani menggunakannya sebagai sutu metodologi intepretasi teks-teks karya sastra dan mitos-mitos yang bersifat Ketuhanan (divine). Salah satu model hermeneutika yang berkembang adalah intepretasi allegoris yaitu sebuah metode memahami teks dengan mencari makna yang lebih dari sekedar pengertian literal (tekstual). Metode ini dikembangkan oleh Stoicisme (300 SM).

Secara umum hermeneutika kemudian diadopsi kalangan Kristen dan Yahudi. Adapun penyebab diadopsinya metode ini pada awalnya diakibatkan oleh permasalahan yang dimiliki oleh Bible. Minimal ada dua problem pada Bible yang menyebabkan diadopsinya hermeneutika.

a. Problem pada teks Bible
Dalam lingkup teks pada Bible terdapat tiga bahasa yang digunakan. Bahasa Hebrew sebagai bahasa asal kitab perjanjian lama (old testament), bahasa Yunani (Greek) sebagai asal kitab perjanjian baru (new testament) dan bahasa Aramaic, bahasa yang digunakan oleh Yesus. Problem timbul ketika hendak menerjemahkan dan menafsirkan Bible kedalam bahasa lain.

Kitab Perjanjian lama misalnya. Bahasa Hebrew yang digunakan pada kitab ini adalah bahasa kuno yang tidak digunakan lagi dan tidak ditemukan seorangpun native dalam bahasa ini. Maka untuk dapat memahami Hebrew Bible ini, para teolog Kristen dan Yahudi menggunakan bahasa serumpun dengan Hebrew (rumpun semitic) yaitu bahasa Arab . Disinilah kemudian hermeneutika digunakan. Sebagai jembatan yang diharapkan bisa menangkap makna yang dikandung Bible. Namun kalau diperhatikan, sebenarnya tidak lebih dari sekedar akal-akalan dari orang Kristen dan Yahudi. Tidak dikuasainya bahasa Hebrew sudah jelas membuat mereka tidak akan bisa memahami makna literal dari Bible. Penggunaan hermeneutika tidak lebih dari sekedar sebuah upaya menutupi kelemahan Bible dan sebuah upaya agar Bible masih dapat dipakai.

b. Masalah Orisinalitas
Walau merupakan kitab yang sangat tua, Hebrew Bible masih merupakan misteri yang belum terpecahkan, yaitu berkenaan dengan siapa yang menulis kitab ini. Kondisi ini juga diperparah dengan banyaknya kontradiksi dalam Bible ini. Hebrew Bible ini, sebagaimana dikutip Prof. Dr. Wan Mohd Nor, menurut para cendekiawan mereka, tidaklah dibangun sepenuhnya atas dasar ilmiah historis yang menunjukkan keasliannya, tapi berdasrkan pada kepercayaan belaka . Permasalahan orisinilitas ini juga pernah diungkap Al Quran dalam Al Baqarah ayat 79.

Demikian juga dengan New Testament. Kitab yang berbahasa asli Yunani ini memiliki versi manuskrip yang sangat banyak. Bruce M. Metzer menyebutkan terdapat sekitar 5000 manuskrip teks Greek Bible yang berbeda satu dengan yang lainnya. . Hal ini tentu akan menyebabkan banyak ”lubang” ketika kitab-kitab ini di intepretasikan. Disinilah fungsi hermenutika, membuat agar kontradiksi-kontradiksi yang terdapat pada Bible bisa dikompromikan dengan rekayasa makna dan untuk menjaga agar Bible tetap dianggap sebagai kitab keagamaan mereka.

Pada perkembangan berikutnya metode hermeneutika yang diadopsi Kristen berkembang menjadi dua metode utama, metode alegoris (metode simbolik) yang dipengaruhi hermeneutika Plato dan berpusat di Alexandria dan metode literal (yang menekankan pada arti jelas dan harfiah sebuah teks) yang dipengaruhi hermeneutika Aristoteles yang berpusat di Antioch. Hermeneutika alegoris mendominasi pada masa-masa awal masa kristianitas sekitar abad ke-2 M. Adalah Origen (185-254) yang dapat dianggap sebagai pelopor diadopsinya hermeneutika kedalam teologi Kristen. Ia mengembangkan metode alegoris yang disusun oleh Philo (25 SM-50 M) dari Alexandria. Pada masa ini juga merupakan masa-masa awal dominasi teologi Kristen terhadap filsafat. Pada masa ini keruntuhan kekaisaran Romawi terjadi.

Inilah masa-masa yang kemudian dikenal sebagai masa kegelapan Eropa. Pada masa ini pula Gereja Katolik Romawi berkuasa secara politik. Kepausan dengan mantap memperluas kekuasaannya. Sementara itu, Hermenuetika Aristoteles mendapat tempat pada masa-masa skolatisisme yang tampil pada abad XI. Pada masa ini berlanjut masa dimana para pejabat gereja memegang otoritas tertinggi, bukan hanya dalam masalah keagamaan, tetapi juga dalam masalah ilmu pengetahuan. Tokoh yang terkenal dari masa ini adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Ajarannya banyak menekankan pada hermeneutika literal dan menolak intepretasi alegoris ala Plato.

Walaupun telah memakai hermeneutika, ternyata hal ini tidak otomatis menyelesaikan permasalahan Bible dalam teologi Kristen. Berkembang misalnya perbedaan pendapat apakah Bible merupakan kalam Tuhan atau merupakan hasil tulisan dan intepretasi tokoh-tokoh dalam teologi Kristen? Berkembang pula tradisi-tradisi gereja seperti api pencucian, misa dan indulgensi (praktek penjualan pengampunan dosa) oleh paus, yang kemudian dianggap sebagai tradisi Kristen dan merupakan sumber keimanan disamping Bible. Hal ini yang mendorong Marthin Luther (1483-1546) melakukan pemberontakan terhadap gereja Katholik. Gerakan Martin Luther ini dianggap sebagai pendorong terjadinya reformasi Kristen sekaligus sebagai awal berkembangnya sekte Protestan dalam teologi Kristen. Dalam pemikiran teologinya, gerakan Protestan ini menekankan penggunaan metode hermeneutika literal dalam memahami Bible. Namun lagi-lagi gerakan reformasi ini tetap belum sepenuhnya bisa memuaskan orang-orang Kristen. Hermeneutika literal yang diusung gerakan Protestan tetap tidak dapat memecahkan persoalan kesulitan bacaan suatu paragrap Bible. Demikian juga, hermeneutika literal tidak dapat mengelak dari intepretasi yang arbitraryly yang pada masa-masa itu sudah mulai meresahkan.

Walaupun saling bertentangan, pihak gereja Katholik dan Protestan sama-sama tergagap ketika menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan yang mulai terjadi pada abad XV dan XVI. Sikap ini misalnya terlihat ketika mereka sama-sama menolak penemuan ilmiah Johannes Kepler (1571-1630) tentang lintasan planet yang berbentuk elips dan teori Galileo Galilei (1569-1624) yang memperkuat pendapat Copernicus tentang bumi yang mengelilingi matahari (heliocentric). Terjadinya gap antara intepretasi Bible—dengan segala model hermeneutika—dengan penemuan-penemuan ilmiah membawa kepada konsekwensi runtuhnya kepercayaan terhadap Bible dan pola-pola intepretasi model lama, hermeneutika tradisional—baik model Plato maupun cara Aristoteles—dianggap tidak memadai lagi untuk dipakai. Disinilah kemudian era hermenutika liberal mulai dikembangkan. Spirit utama dari era ini adalah pembebasan diri dari hegemoni intepretasi pihak gereja dan dari tradisi-tradisi Kristen yang irrasional. Fokus utama dari metode ini adalah bagaimana menerjemahkan dan menangkap realitas yang ada pada teks kuno Bible ke dalam bahasa yang difahami oleh manusia modern.
Salah satu tokoh utama dari proyek hermeneutika modern ini adalah Schleiermacher (1768-1834). Pemahaman hermeneutikanya membahas dua lingkup, yaitu pemahaman ketatabahasaan (gramatikal) dan kedua pemahaman terhadap kondisi psikologis pengarang. Dalam kondisi pemahaman terhadap pengarang ini Schleiermacher menyebutkan bahwa seorang interpreter yang baik adalah yang berhasil memahami kondisi pengarang sebaik dan—bahkan melebihi—pengarang tersebut memahami dirinya, karena interpreter dapat merekonstruksi segala motivasi dan asumsi yang tersebunyi dari pengarang sehingga membuka selubung segala motivasi dan strategi yang tersembunyi dari si pengarang. Konsekwensi dari teori ini adalah seorang intepreter dapat mereproduksi ulang sebuah isi kitab lebih baik dari pengarang terdahulu karena ia telah memahami segala motivasi dan situasi strategis yang melingkupi pengarang terdahulu. Selain itu terbuka juga peluang desakralisasi terhadap teks yang bersifat divine (yang berasal dari Tuhan), karena metode ini menyamaratakan semua teks, semua teks adalah produksi dari pengarangnya dan dapat diberi perlakukan yang sama.

Disinilah mulai terlihat semangat liberalisasi intepretasi Bible. Jika dahulu intepretasi Biblelah yang mengatur kebebasan berfikir, tapi pada zaman ini kebebasan berfikirlah yang menentukan bagaimana intepretasi dari Bible. Hal ini seperti yang disebutkan Spinoza (1632-1677) dalam Tractus Theologica Politicus, dia menyebutkan bahwa standar exegesis (intepretasi) untuk Bible hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua.

Gerakan liberalisasi Bible inilah yang ditentang Protestan ortodok. Mereka menetapkan prinsip-prinsip fundamentalisme pada konferensi Bible di Niagara 1878 dan konferensi Presbyterian pada tahun 1910. Mereka juga mengaku mendapatkan ajaran langsung dari Tuhan dan mengarah pada pola hidup eksklusif dan menjauhi interaksi dengan kehidupan sosial yang ada, menolak interaksi dengan kenyataan hidup, memusuhi akal, fikiran ilmiah dan penemuan-penenemuan ilmiah. Dengan sikap seperti itu tidak heran sebagaimana yang disampaikan Esposito bahwa bagi masyarakat barat sebutan fundamentalisme pada saat ini adalah sebuah hinaan.

Jadi dimanakah adanya irisan antara sejarah fundamentalisme ini dengan Islam? Sama sekali tidak ada. Kalau dikatakan disebabkan penolakan terhadap hermeneutika sebagai alasan untuk melabelkan fundamentalisme kepada beberapa kelompok kaum muslimin, sudah barang tentu ini adalah tuduhan yang serampangan. Islam tidak memerlukan hermeneutika sebagaimana orang-orang Kristen ketika berinteraksi dengan kitab sucinya. Kitab suci kaum muslimin—yaitu Al Quran—sama sekali tidak memiliki problem teks sebagaimana bible. Al Quran sejak zaman diturunkan kepada Muhammad SAW hingga sekarang tidak memiliki permasalahan dalam hal orisinalitas Kemudian dalam intepretasi, Islam memiliki metodologi tersendiri, sehingga sama sekali tidak membutuhkan hermeneutika. Lagi pula karakteristik hermenutika yang bersumber dari dongeng-dongeng Yunani ( bukankah mitologi dapat disamakan dengan dongeng?, bahkan hermeneutika sendiri berasal dari nama tokoh dongeng Yunani, Hermes) tentu sama sekali tidak layak disentuhkan dengan Al Quran yang berasal dari Allah SWT. Dan metodologi intepretasi atau tafsir ini telah diterapkan sejak zaman Islam berkuasa dulu, dan sama sekali tidak ada satupun catatan sejarah yang bercerita mengenai adanya pertentangan antara hasil intepretasi Ulama terdahulu dengan kemajuan yang dicapai kaum muslimin. Pada masa itu juga ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat baik. Bahkan yang terjadi adalah justru Islam yang mengubah kehidupan para pengembara dan pedagang padang pasir menjadi penguasa dunia. Ditangan mereka kemudian muncul banyak penemuan-penemuan ilmiah. Disnilah perbedaan Al Qur`an dan Bible. Penerapan Bible malah mengakibatkan kemunduran berfikir, sebaliknya Al Qur`an menghasilkan peradaban yang gilang gemilang, Disinilah Al Qura`an berfungsi secara sempurna yaitu menjadi pegangan yang mencerahkan, Allah berfirman:

Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) sebagai penjelas segala sesuatu (QS An-Nahl :89)

Dan semuanya tanpa ada pertentangan dengan tafsir Al Quran sama sekali. Dan harus diingat kondisi ini berjarak cukup jauh dengan zaman pertama kali Al Quran turun, sampai ribuan tahun. Maka untuk permasalahan intepretasi teks ini bisa disimpulkan; 1)Islam sama sekali tidak membutuhkan metodologi hermeneutika dalam hal intepretasi, karena Islam memiliki metodologi intepretasi sendiri. Dipakainya hermeneutika sebagai metodologi tidak lebih disebabkan oleh kebingungan orang-orang Kristen dalam menyikapi kondisi teks Bible yang bermasalah dalam teksnya. Tidak heran mereka kemudian berpaling kepada hermeneutika—sebuah cara intepretasi yang berasal dari Yunani—karena Bible telah dipenuhi oleh sentuhan pemikiran dan filsafat Yunani, termasuk bahasa dalam Bible itu sendiri; 2) Metodologi intepretasi kitab suci versi ulama Islam terbukti bisa menyeiring dengan kemajuan teknologi dan Ilmu pengetahuan.
Sementara berkenaan dengan penolakan sekulerisme dan liberalisme, sudah barang tentu penolakan itu akan terjadi. Konsep sekulerisme yang hanya mengakui agama untuk private domain dan tidak untuk public domain bertentangan secara diametral dengan konsep Islam yang telah diterapkan selama ribuan tahun. Semua konteks kehidupan baik pribadi maupun kemasyarakatan (public) diatur dalam Islam. Bahkan Islam memiliki system kenegaraan sendiri yang disebut dengan Khilafah, sebagaimana sekulerisme memiliki Demokrasi. Wajar sajalah jika sekulerisme—yang menghendaki pemisahan antara islam dengan pengaturan kenegaraan—tertolak dalam Islam, sebagaimana tertolaknya juga Liberalisme. Sikap hidup yang mendewakan keinginan dan nafsu manusia ini sama sekali tidak ada tempat dalam Islam. Dalam islam segala keinginan dan nafsu harus tunduk dengan syariat islam, karena Islam hendak membedakan antara manusia dengan binatang.
Penolakan terhadap sekulerisme dan liberalisme oleh Islam bukan karena latah terhadap orang-orang protestan. Jauh sebelum orang protestan melakukannya islam telah memiliki konsep yang bertentangan dengan sekulerisme, bahkan konsep Islam tersebut ada jauh sebelum Sekulerisme dan Liberalisme muncul di Eropa.

Dengan ini maka pelabelan fundamentalisme terhadap kaum muslimin yang menolak tafsir hermeneutika dan sekulerisme-liberalisme adalah hal yang tidak beralasan bahkan konyol. Jika mereka—orang-orang kafir dan kaum liberal yang tinggal dinegeri islam—tetap memaksakan melabelkan fundamentalisme kepada kaum muslimin, maka ada kemungkinan mereka adalah orang-orang yang memiliki cara berfikir yang disebut sebagai fallacy of dramatic instance. Dalam pola berfikir ini, jika mereka menemukan hal yang sama dalam dua hal yang berbeda maka mereka langsung menganggap dua hal tersebut ada kesamaan. Bisa juga hal tersebut merupakan sebuah kesengajaan yang memiliki target, munculnya kesan bahwa penentang sekulerisme-liberalisme adalah orang-orang yang memiliki citra jelek, anti kemajuan dan Ilmu pengetahuan.

Tidak ada komentar: