Selasa, 30 September 2008

Idul Fitri Liberatif


Senin, 29 September 2008 | 00:36 WIB

Radea Juli A Hambali

Idul Fitri adalah hari istimewa, bukan hanya karena sarat makna spiritual, tetapi juga menjadi locus dari semangat liberatif berdimensi sosial.

Mengapa Idul Fitri dapat menjadi locus bagi semangat liberatif? Pertama, masalah yang tak habis diurai adalah kemiskinan. Sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi, penanganan kemiskinan masih menemukan kendala.

Melalui sejumlah pilkada, pemimpin datang dan pergi. Namun kehadirannya selalu tak mampu mengenali dan memberi jalan keluar bagi rakyat yang terjerat kemiskinan. Sementara itu, negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru tak berdaya. Negara tidak dapat menyediakan kebutuhan pokok rakyat seperti pendidikan, layanan kesehatan, rasa aman, penyediaan bahan pokok (gas dan minyak tanah).

Kedua, korupsi sudah menjadi endemi di republik, menyebar menjadi kegemaran siapa pun. Dan, korupsi telah menyergap lembaga terhormat (DPR/DPRD, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung) yang seharusnya menjadi benteng dan simbol terakhir pemelihara suatu kehendak umum menjadi bangsa yang punya harga diri dan bermartabat.

Ketiga, aura kehidupan sosial republik masih sarat kecurigaan terhadap kehadiran ”yang-lain” (the others). ”Yang-lain”, baik dalam ideologi, etnis, nilai, atau keyakinan, dipersepsi sebagai ancaman. Karena nurani terpasung dan akal tak mampu bekerja proporsional, cara menyelesaikan kehadiran ”yang-lain” sering tampil dalam wajah menakutkan. ”Yang-lain” kerap menjadi pesakitan, korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.

Sebagai bangsa dengan cita-cita besar, tidak seharusnya tiga masalah itu membuahkan sikap pesimis, apatis, dan berdiam diri untuk tidak mengusahakan perubahan. Tiga hal itu seharusnya menjadi pemantik semangat bagi umat Islam untuk mengusahakan tata kehidupan sosial yang adil dan sejahtera sesuai cita-cita republik sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD ’45.

Fitrah

Secara spiritual, Idul Fitri adalah momen yang mengabarkan kembalinya manusia kepada bentuk asli dan primordial: kesucian (fitrah). Menurut Cak Nur (2000), secara kebahasaan, fitrah mengandung pengertian sama dengan khilqah, ”ciptaan” atau ”penciptaan”. Akan tetapi, secara peristilahan, fitrah berarti ”penciptaan yang suci”.

Jika dirunut pada pengertian paling fundamental, Idul Fitri yang dimaknai ”penciptaan yang suci itu” adalah ajaran dasar agama yang menandaskan, manusia segera sebelum dilahirkan ke dunia pernah mengadakan ”perjanjian primordial” (ahd, primordial covenant) dengan Tuhan.

Isi ”perjanjian primordial” ini berupa kesediaan manusia (dalam alam rohani) untuk hanya mengakui dan menerima Allah sebagai satu-satunya sosok yang wajib dipercayai dan disembah.

Idul Fitri akan bermakna jika tidak hanya ditempatkan sebagai peristiwa spiritual, tetapi juga diletakkan sebagai locus bagi munculnya semangat liberatif dalam hal penataan kehidupan sosial yang adil dan beradab.

Implementasi semangat liberatif Idul Fitri adalah kesediaan umat Islam menjadi teladan par excellence dalam hal toleransi dan tenggang rasa terhadap kehadiran ”yang-lain” dan menempatkannya sebagai bagian dari faktisitas kehidupan.

Idul Fitri liberatif

Idul Fitri liberatif adalah spirit agama paling nyata tentang bagaimana membebaskan masyarakat dari jerat kemiskinan, ketidakberdayaan, kesewenangan, dan perilaku zalim yang dapat merusak tatanan masyarakat madani. Masyarakat madani adalah suatu tatanan sosial di mana agama tidak hanya dinyatakan sebagai sekumpulan dogma, tetapi ikut terlibat aktif ”politik emansipatoris” dan ”politik kehidupan” (istilah Anthony Giddens).

Pada aras emansipatoris, agama menjadi kekuatan yang bertujuan menghapus eksploitasi, ketidaksamaan, dan penindasan. Pada aras kehidupan, agama menjadi pionir yang memberi motivasi tentang aktualisasi diri, kepedulian moral, dan eksistensi yang dimarginalkan oleh aneka tindakan tidak adil.

Dengan politik emansipatoris dan politik kehidupan, diharapkan agama menjadi kesadaran yang ”melihat” (to see) secara obyektif, ”mempertimbangkan” (to judge) secara jernih, dan ”bertindak” (to act) secara bijak saat berhadapan dengan gejala dan kenyataan sosial yang dihadapi.

Idul Fitri liberatif adalah visi kerohanian baru yang mendaku agama bukan sebagai hypostase (Hans Kung). Dia tidak ada di langit Plato yang sempurna, dari sana menjadi perantara manusia dan Tuhan, tetapi selalu merupakan agama manusia biasa yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan.

Maka, benar yang dikatakan para teolog modern, ”agama bukan suatu hakikat metafisik, yang tak mengandung gerak dalam dirinya, dan mantap dalam keabadian: pergolakan yang dihadapi manusia selalu menjadi pergolakan agama”.

Radea Juli A Hambali Dosen Teologi dan Filsafat Universitas Islam Negeri SGD Bandung

Tidak ada komentar: