Rabu, 02 Juli 2008

RIDHA ILAHI

KH. Jalaluddin Rakhmat

Pada suatu hari, Nabi Musa as bermaksud menemui Tuhan di Bukit Sinai. Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh mendatanginya, “Wahai Kalimullah, selama hidup saya telah berusaha untuk menjadi orang baik. Saya melakukan salat, puasa, haji, dan kewajiban agama lainnya. Untuk itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak apa, saya hanya ingin tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti. Tolong tanyakan kepada-Nya!”

“Baik,” kata Musa seraya melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. “Mau ke mana? Tolong tanyakan pada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku tidak pernah salat, puasa, atau amal saleh lainnya. Tanyakan kepada Tuhan apa yang dipersiapkan-Nya untukku.” Musa menyanggupi untuk menyampaikan pesan dia kepada Tuhan.
Ketika kembali dari Sinai, ia menyampai-kan jawaban Tuhan kepada orang saleh, “Bagimu pahala besar, yang indah-indah.” Orang saleh itu berkata, “Saya memang sudah menduganya.” Kepada si pemabuk, Musa berkata, “Tuhan telah mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk.” Mendengar itu, si pemabuk bangkit, dengan riang menari-nari. Musa heran mengapa ia bergembira dijanjikan tempat yang paling jelek.

“Alhamdulillah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun yang mengenalku,” ucap pemabuk itu dengan kebahagiaan yang tulus. Akhirnya, nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah. Mereka bertukar tempat. Orang saleh di neraka dan orang durhaka di surga.

Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan. Jawaban Tuhan begini: “Orang yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak memperoleh anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan amal saleh. Orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada apa pun yang Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku menye-babkan aku senang kepadanya.”

Sandungan pertama dalam perjalanan menuju kesucian adalah ridha dengan diri sendiri. Kita merasa sudah banyak beramal, dan karena itu berhak untuk memperoleh segala anugerah Tuhan. Ketika kita mengalami kesulitan, kita berusaha keras untuk menguasainya —lahir dan batin, lalu kita mohon pertolongan Allah. Dengan segala usaha itu, kita merasa berhak untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Tuhan berke-wajiban untuk melayani kita. Ketika yang kita tunggu tidak juga datang, kita marah kepada-Nya, sambil berargumentasi, “Apalagi yang harus aku lakukan? Apa tidak cukup semua pengorbanan yang telah kuberikan?”

“Janganlah kamu memberi dan meng-anggap pemberianmu sudah banyak,” firman Tuhan (QS. Al-Mudatsir: 6). Janganlah kamu berkata sudah semua kamu kerjakan. Setiap kali kamu bertanya seperti itu, ingatlah, belum banyak yang kamu kerjakan. Secara lahiriah, merasa telah banyak berbuat membuat orang putus asa. Karena putus asa, ia tidak mau berbuat lagi. Seluruh geraknya terhenti. Secara batiniah, merasa telah berbuat banyak menjatuhkan tirai gelap yang menutup karunia Tuhan. Ia mengandalkan amalnya dan meremehkan pemberian Tuhan. Pada hakikatnya, ia masih berkutat dengan dirinya. Ia tidak berjalan menuju Tuhan. Ia berputar-putar di sekitar egonya. Ia tidak mencari ridha Tuhan. Ia mengejar ridha dirinya.

Kepuasan akan diri telah banyak membinasakan para salik sepanjang sejarah. Hal yang sama telah melemahkan semangat para pejuang kebenaran. Mereka merasa telah berkorban habis-habisan, tetapi hasilnya tidak ada. Anda dapat menemukan perasaan ini pada orang-orang saleh di sudut mesjid dan juga pada para demonstran reformis di simpang jalan. Yang pertama menghapuskan ibadatnya, yang kedua menyia-nyiakan pengorbanan kawan-kawannya.

Kepada siapa saja di antara Anda yang taat beribadat, bacalah doa ini setelah salat Anda: “Tuhanku, ampunan-Mu lebih diharapkan dari amalku. Kasih-Mu lebih luas dari dosaku. Jika dosaku besar di sisi-Mu, ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasih-Mu, kasih-Mu pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, karena kasih sayang-Mu meliputi segala sesuatu. Dengan rahmat-Mu, wahai Yang Paling Pengasih dari segala Yang Mengasihi.”

Kepada siapa saja di antara Anda yang sedang berjuang menegakkan kebenaran, tetapi Anda sudah letih dan merasa tidak berdaya, bacalah doa Nabi Muhammad saw ketika ia berlindung di kebun Utbah dengan kaki berlumuran darah, “Ya Allah, kepada-Mu aku adukan kelemahan diriku, ketidak-berdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai yang Mahakasih dan Mahasayang, wahai Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada tangan siapa akan Kau serahkan daku? Kepada orang jauh yang memperlakukanku dengan buruk? Atau kepada musuh yang Kau berikan kepadanya kekuasaan untuk melawanku? Semuanya aku tidak peduli, asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Anugerah-Mu bagiku lebih agung dan lebih luas. aku berlindung pada cahaya ridha-Mu, yang menyinari kegelapan. Janganlah murka-Mu turun kepadaku. Janganlah marah-Mu menimpaku. Kecamlah daku sampai Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan, kecuali melalui-Mu.” []

Dalam kedamaian hati, lelaki bertubuh tegap itu sejenak terdiam. Ia sudah hampir sampai di dekat Ka’bah. Ia pandang dari kejauhan para penziarah Ka’bah datang dengan senyum kebahagiaan; kebahagiaan hendak berjumpa dengan rumah Tuhan. Ia menatap lempang bangunan Ka’bah dengan kerinduan yang tulus. Sering ia berkunjung ke Ka’bah, tetapi kunjungannya hari itu terasa lain bagi dirinya. Ia merasakan kehadirannya saat itu begitu sangat membahagiakannya. Wajahnya tengadah ke langit; mulutnya bergetar menahan haru karena rasa syukur dapat berjumpa dengan bulan yang sangat dicintai Allah, yaitu bulan haji.

Kini, ia telah tiba di tempat miqat, matanya terpaku memandang hening. Bulir air mata jatuh di pipinya karena menahan rasa haru; rasa bahagia menjadi tamu Allah. Inilah ziarah yang selalu dinantikannya, ziarah dengan bekal menggapai keridhaan-Nya. Ia rebahkan dirinya untuk bersujud; sujud syukur seorang hamba. Pada hatinya yang lembut, ia tetapkan niat untuk menanggalkan pakaian takabur, riya’, nifak, syubhat, dan segala bentuk kehinaan di sisi Allah dengan baju taat berbalut keikhlasan. Ketetapan niatnya untuk membersihkan diri dengan cahaya taubat yang tulus kepada-Nya mengiringi lubuk hatinya; saat ia memulai mandi dan berihram untuk melaksanakan pekerjaan pertama pada hajinya. Ia pun tak lupa saat niat berihram untuk meneguhkan dirinya dengan membebaskan dalam benaknya segala yang diharamkan oleh Kekasihnya.

Dalam udara yang panas dan terik matahari yang menyapu bumi, sosok tubuh yang tegap itu gelisah dan cemas. Baru saja ia hendak melantunkan kalimat talbiyah, bibirnya yang kering tampak bergetar, lidahnya terbata kelu, dan wajahnya pucat pasi. Hampir saja ia jatuh pingsan karena tak sanggup mengucapkan; Labbaik Allâhumma Labbaik. Yang teringat dalam pikirannya adalah bagaimana nasibnya jika Kekasihnya itu menyongsong seruannya dengan jawaban Lâ labbaik. Ia cemaskan dirinya, jika Tuhan menolak kehadirannya karena ia masih saja belum memurnikan jiwanya untuk menghadap kepada Sang Pemilik Rumah Allah.

Salat ihram yang ia kerjakan adalah awal yang berat yang dihadapinya pada pekerjaan hajinya. Seperti dalam salat-salatnya yang lain, kepucatan dan kegelisahan jiwanya ketika salat selalu menyertai dan hampir membuatnya kaku dan pingsan. Rasa takut dan cemas datang juga ketika ia hendak memulai salat sunat ihramnya. Pertemuannya dengan Tuhan menghempaskan dia pada pengakuan betapa rindunya ia pada kedekatan Tuhannya. Usai shalat tiada henti-hentinya ia bermunajat dan menangis. Berulang kali ia berdoa memastikan kecintaan dan tujuan hidupnya hanya untuk Allah semata. Perlahan ia beranjak dari sujudnya untuk mulai berangkat menuju Ka’bah.

Ka’bah berada tidak jauh dari hadapan-nya. Ia pandang keagungan rumah Tuhan dengan ketakjuban yang dalam. Ia diam terpaku. Pikiran-nya menerawang ke masa silam.Ia teringat pada datuknya, Muhammad saw. Tetes air mata tak henti-hentinya jatuh dari kelopak matanya yang sayu. Bibirnya terbata-bata mengatakan, “Duhai kakekku, betapa beratnya perjuanganmu untuk merebut dan membangun kembali rumah Tuhan ini. Deritamu adalah deritaku, lelahmu adalah lelahku. Salam bagimu, duhai kekasih Allah.”

Dalam putaran thawafnya, ia pastikan dalam hatinya bahwa ia sedang berjalan dan berlari menuju keridhaan Tuhannya yang Mahatahu dan Mahagaib. Hatinya yang bersih menyaksikan bahwa di atas langit Tuhan sana ada sekumpulan malaikat ikut serta berthawaf dengannya sambil melantunkan talbiyah mengelilingi Baitul Ma’mur.

Saat bergerak mendekati Hajar Aswad, kecemasan hatinya makin memuncak. Ia merasakan tangannya berat untuk menyentuh batu hitam itu. Aliran darah dalam tangannya mengalir deras menegangkan telapak tangannya yang putih; tangannya seakan-akan berjabatan langsung dengan tangan Tuhan.

Lalu, ia berhenti dan berdiri di dekat makam Nabi Ibrahim, terbayang olehnya perjuangan Ibrahim dalam menjalankan pesan Tuhan yang penuh dengan derita; dari terpisahnya dengan ibu-bapaknya sampai harus dibakar hidup oleh musuhnya. Ibrahim tetap sabar dan berpegang pada tali Tuhannya. Sejenak ia ucapkan salam pada Ibrahim dan segera ia mengerjakan salat dua rakaat. Kekokohannya berdiri di makam Ibrahim, ia tetapkan sebagai pengukuhan niat taatnya kepada Allah dan pelepasannya dari pakaian kemaksiatan. Salatnya adalah pancaran hati yang tunduk patuh mengikuti jejak Nabi Ibrahim dan pengakuan penentangannya kepada segala bisikan setan.

Perjalanan hajinya terhenti ketika ia melihat dari ujung Masjid Al-Haram para jamaah merapat menuju sumur Zam-zam; sumur cermin-an derita Ismail yang menantikan perjuangan ayah ibunya dalam mencari air untuk mengusap dahaganya. Sumur sejuk pancaran kasih sayang Tuhan kepada kekasihnya. Bayangan ini meng-antarkan Imam Ali Zainal Abidin pada keterpu-kauan akan kasih sayang Allah yang luas. Ketika ia mendekati tempat itu, ia tunjukkan pada dirinya pandangan mata yang teduh pada sumur Zam-zam; pandangan yang menggambarkan bentuk kepatuhannya kepada Allah dan pembebasan matanya pada segala tatapan maksiat.

Kini, Sa’i mengantarkan pada ingatannya sebagai bentuk pengorbanan dan kecintaan Ibarahim dan Hajar kepada anaknya serta kekhawatiran akan tidak tercapai maksud mereka. Karena itulah sambil berlari-lari kecil, ia lakukan Sa’i dengan tiada henti-hentinya berdoa mengharapkan rahmat Allah dan pengakuan takut akan azab Allah.

Perjalanan haji berikutnya mengantarkan ia pada suatu tempat yang disebut Mina. Di kota itu ia teguhkan hatinya untuk menjaga dengan sungguh-sungguh hati dan tangannya agar tetap membuat orang lain merasa aman dari segala perbuatannya.

Ketika wukuf di Arafah, ia benamkan dirinya dalam makrifat kepada Allah dengan untaian doa dan permohonan ampunan kepada Kekasihnya. Di tempat ini pun ia tak henti-hentinya menangis; mengakui dosa pada Kekasihnya. Bayangan terberatnya adalah akankah rasa panas di Arafah ini, ia alami kelak di Padang Mahsyar pada hadapan Tuhannya karena kehinaan ruhaninya. Persaksian rasa malu akan cinta kasih Tuhan pada dirinya menyeretkan dia pada sujud yang panjang di tanah putih itu.

Jabal Rahmah yang tinggi dan terjal, ia daki dengan ketulusan dan sabar. Pada ujung pendakiannya, tiada henti ia mengungkapkan dambaan akan rahmat Allah dan bimbingan-Nya bagi kaum muslim. Baginya tempat mulia itu adalah tempat yang menjadi saksi atas segala bentuk kepatuhan hamba kepada Tuhannya.

Di Wadi Namira, ketetapan hatinya mengatakan bahwa ia tidak akan memerintahkan berbuat baik dan mencegah kejelekan kepada orang lain, sebelum dirinya mampu berbuat baik dan mencegah diri dari kemungkaran.

Usai melewati ‘Alamain, hati dan seluruh tubuhnya pun bersaksi dan sekaligus meneguhkan diri tidak akan bergeser selain dari agama Islam.

Ketika menuju Muzdalifah dan memungut batu di sana, ia masih saja menggoreskan dalam hatinya perasaan membuang jauh segala bentuk maksiat dan kejahilan terhadap Allah serta diiringi penegasan hati untuk mengejar ilmu dan amal yang diridhai oleh-Nya.

Dan ketika melewati Mas’arul Haram, ia isyaratkan dalam hatinya agar dirinya bersyi’ar seperti orang-orang yang penuh dengan ketakwaan dan ketakutan pada Allah.

Pengakuan yang tulus akan kasih sayang Allah yang telah memenuhi hajat dan memudah-kan perjalanannya, ia lantunkan ketika menuju Mina untuk melempar Jumrah.

Pada lemparan Jumrahnya, dengan perasaan yakin, ia lempar Iblis dan berusaha sekuat tenaga untuk memusuhi iblis dalam seluruh hidupnya.

Usai mencukur rambut, ia lanjutkan perjalanan menuju Masjid Khaif. Tidak henti-hentinya ia mencemaskan dirinya karena takut akan dosa dan ketakutannya hanya kepada Allah semata.

Saat memotong hewan kurban, ia sandarkan niat untuk memotong urat ketamakan dan memegang sikap wara’ yang sesungguhnya pada dirinya. Ia pun teringat pada Ismail yang dengan tulus menjalankan perintah Tuhan, dan kesabaran Ibrahim dalam mengemban titah Tuhan sebagai peristiwa yang harus diteladani. Air matanya mengalir deras membayangkan peristiwa suci itu semua.

Pada saat di Mekah, ketika Haji Ifadah, ia tetapkan niat berifadah dari pusat rahmat Allah serta senantiasa kembali kepada kepatuhan, kecintaan, dan mendekati diri kepada-Nya. Di akhir hajinya, ia lanjutkan perjalanan suci itu menuju Madinah. Ketika merapat mendekati kota Madinah, Ia pandang bangunan kota Madinah dengan ingatan bahwa di sinilah kota tempat kakeknya tinggal. Di sinilah tempat tepian hijrah Muhammad dalam menyebarkan titah kekasih-Nya. Di sinilah pula tempat rebahnya jasad suci yang damai terbaring panjang di pelukan cinta Tuhan.

Ia bergumam: Ya Allah,inilah tempat suci tempat kediaman Rasul-Mu.Maka jadikanlah ia bagiku sebagai penangkal dari api neraka serta penyelamat dari azab dan hisab yang buruk.

Dalam perjalanannya menuju Masjid Nabawi, ia saksikan bahwa inilah jalan tempat datuknya melangkah dan di sinilah kekhusyuan cinta hamba mengumandang di malam-malamnya; di sinilah keringat lelah jatuh menebar harum menyejukkan bumi Madinah.

Sebentar lagi ia hampir tiba di pusara kakeknya, Muhammad saw. Kerinduan memuncak dalam dadanya. Matanya berkaca-kaca karena ia akan berjumpa dengan pusara kekasih Tuhan.

Begitu ia sampai di depan pusara Muhammad saw, air mata jatuh membasahi janggutnya. Ia tatap pusara datuknya sambil tak henti-hentinya bershalawat kepadanya. Dalam keguncangan hati, terbayang dalam pikirannya bahwa sudah begitu jauh dirinya meninggalkan sunnah datuknya. Rasa malu mengoyak hatinya. Harapannya adalah akankah Rasul Allah menjenguk dan menyapa dia di hadapan Tuhan nanti, ataukah ia berpaling dan menjauhi dirinya tanpa sapa dan salam. Celakalah sudah dirinya. Dalam kesedihan dan kerinduannya yang panjang, ia berucap:

“Salam bagimu, duhai kekasih Allah. Salam bagimu, duhai nabi Allah. Salam bagimu duhai pilihan Allah.. Salam untukmu, wahai yang paling utama di antara makhluk Allah.. Salam untukmu, wahai kecintaan Allah. Salam bagimu, wahai penghulu para utusan Allah. Salam untukmu, wahai utusan Tuhan semesta alam. Salam bagimu, duhai pemimpin para pembela kebenaran. Salam untukmu dan anggota keluargamu yang Allah telah menghapus dosa mereka dan menyucikan mereka sesuci-sucinya. Salam untukmu dan untuk para sahabatmu yang baik-baik, serta istri-istrimu wanita-wanita suci dan ibu-ibu bagi kaum mukmin.

“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa engkau adalah hamba serta utusan-Nya; dan orang kepercayaan-Nya dan pilihan-Nya di antara makhluk-Nya. Dan aku bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah,dan senantiasa tulus ikhlas kepada ummah. Dan bahwa engkau telah berjihad di jalan Allah, dengan sebaik-baik jihad.

“Maka atas semuanya itu, semoga Allah bershalawat dan melimpahkan rahmat, kedamaian, kemuliaan, serta keagungan atas dirimu dan seluruh anggota keluargamu yang baik, untuk selama-lamanya....”
(Sumber: Percakapan Imam Ali Zainal Abidin as dengan Al-Syibli dalam Kitab Al-Hajj: Ibâdah wa Tarbiyah.) []

Banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka telah tertipu oleh sangkaan sendiri. Betapa sering kita menyangka bahwa kita adalah orang yang terbaik di antara kawan-kawan kita atau di antara lingkungan keluarga kita dalam hal amal ibadah atau dalam hal lainnya. Padahal sangkaan kita itu sering menipu dan menjatuhkan kita ke derajat yang terendah. Al-Quran meng-gambarkan sangkaan ini seperti orang yang melihat fatamorgana di tengah padang pasir. Kita melihat fatamorgana yang kita sangka sebuah oase. Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al-Kahfi: 103-104)

Orang Yang Menyangka Dirinya Alim
Salah satu dari mereka yang tertipu oleh sangkaan sendiri adalah orang yang menyangka atau merasa dirinya alim (pandai), padahal sesungguhnya dia adalah orang yang paling bodoh dan jahil. Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa yang berkata: Aku ini alim, maka sebenarnya dia itu bodoh.” (Bihârul Anwâr 2: 110)

Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi Musa as pernah diperintahkan Allah swt untuk belajar kepada Nabi Khidir as. Suatu saat, Musa as pernah berpidato di hadapan Bani Israil. Seseorang bertanya kepada beliau, ”Ayyun nâsi a’lamu? Siapakah orang yang paling pandai? Musa menjawab, ”Ana a’lamu. Akulah yang paling pandai.” Karena jawabannya itu, Allah swt menegur Nabi Musa as, ”Ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang lebih berilmu daripadamu. Sekarang dia berada di antara pertemuan dua laut.” Lalu terjadilah kisah Nabi Musa berguru kepada Khidir seperti yang diabadikan dalam Al-Quran. (Shahîh Muslim: Kisah Beberapa Rasul)

Seorang sufi besar dari Mesir, Ibnu ‘Athaillah, mengatakan dalam kitabnya Al-Hikam, ”Seorang mukmin jika dipuji, maka ia malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ada pada dirinya.” (Al-Hikam, hikmah ke-143/154).

Sangkaan-sangkaan yang baik tentang diri kita seringkali menipu dan menjerumuskan kita kepada kecongkakkan yang tiada kita sadari. Betapa seringnya kita menyangka bahwa kita telah banyak bersedekah, salat tahajud, atau kita menyangka bahwa kita telah tawadhu atau termasuk orang-orang yang rendah hati. Banyak lagi sangkaan-sangkaan baik menipu diri kita sendiri, padahal tanpa kita sadari kita sudah menjadi orang yang tercela. Na’udzubillâh.

Hal ini semua disebabkan kita tidak mengembalikan segala kebaikan yang kita peroleh itu kepada Sang Pemberi karunia; yaitu Allah swt.

Al-Quran berkisah tentang Qarun, seorang hartawan yang sukses pada masa Nabi Musa as. Qarun berkata, ”Sesungguhnya aku hanya diberi harta karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78). Tidak lama setelah itu sangkaan dan kesombongan Qarun menyebab-kan dia terbenam dan terhimpit bumi selama-lamanya. Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. (QS. Al-Qashash: 81)

Sebaliknya Al-Quran juga menceritakan Nabi Sulaiman as, yang tak ada seorang pun yang bisa menyamai kekayaannya. Al-Quran menyebutkan: Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana (Ratu Bilqis) itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Hâdza min fadhli rabbi. Ini termasuk karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkarinya “ (QS. Al-Naml: 40)

Orang Yang Menyangka Dirinya Tawadhu
Orang seringkali tertipu dengan amal-amal ibadahnya sendiri; karena sangkaannya sendiri. Seperti orang yang menyangka (baca: merasa) dirinya sudah bersikap tawadhu kepada manusia lainnya. Padahal perasaan dan sangka-annya itu telah berubah menjadi ‘ujub yang sangat samar. Dalam hal ini pun Ibnu ‘Athaillah berkata, ”Barangsiapa yang merasa rendah hati (tawadhu), berarti ia benar-benar sombong. Sebab tidak mungkin seseorang itu merasa tawadhu kecuali ia merasa besar atau tinggi. Karena itu jika kalian menetapkan bahwa dirimu itu benar, maka kalian benar-benar sombong. Apabila kalian menetapkan diri bertawadhu padahal dirimu seorang besar dan tinggi, maka itu berarti dirimu benar-benar telah menjadi orang yang mutakabbir. Orang yang tawadhu bukanlah orang yang ketika bertawadhu merasa bahwa dirinya telah merendahkan diri. Tetapi seorang yang tawadhu adalah orang yang bila berbuat sesuatu merasa dirinya belum layak mendapatkan kedudukan itu.” (Al-Hikam, hikmah 238-239)

Dikisahkan dalam kitab Durud-i-Qasimi, Imam Ali kw menerima seorang berandal yang telah bertaubat untuk menjadi muridnya. Belum lama murid itu belajar, Imam Ali berkata kepada murid-muridnya yang lain, ”Orang ini akan menjadi manusia suci sesudah ia meninggalkan tempat ini, dan kekuatannya tidak akan ada yang menandingi.” Imam Ali lalu meletakkan tangan kanannya di atas kepala murid barunya itu. Murid-murid yang lain saling bertanya di antara mereka sendiri; mengapa mereka tidak mendapat restu seperti murid baru itu sehingga dalam sesaat mereka juga dapat memperoleh barakah dari sang Imam.

Imam Ali mengetahui kegelisahan murid-muridnya. Beliau berkata, ”Orang ini memiliki kerendahan hati dan karenanya aku dapat mengalirkan barakah ke dalam dirinya. Kegagalan kalian untuk berendah hati telah mempersulit kalian untuk menerima barakah, karena kalian menutup diri kalian. Jika kalian menghendaki bukti akan keangkuhan kalian, dengarkanlah apa yang akan kusampaikan ini: Orang yang rendah hati ini menganggap dirinya tidak dapat belajar tanpa jerih payah yang berat dan waktu yang lama. Akibatnya ia dapat dengan mudah dan cepat belajar. Orang yang angkuh menganggap dirinya sudah layak menerima barakah, padahal dirinya mungkin belum pantas untuk menerimanya. Memang menyedihkan menjadi manusia yang belum layak menerima barakah. Namun yang lebih menyedihkan lagi adalah manusia yang merasa bahwa ia adalah manusia yang rendah hati dan tulus, padahal kenyataannya tidak demikian. Tetapi yang paling menyedihkan dari semua itu adalah manusia yang tidak memikirkan sesuatu hal pun sampai-sampai apabila ia melihat orang lain, ia merasa dirinya jauh lebih unggul sehingga perbuatannya tidak terkendalikan lagi.” (Idries Shah, The Thinkers of The East).

AGAMA: RAHMAT ATAUKAH LAKNAT?

Pertanyaan di atas kadang-kadang terbetik dalam pikiran ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa semua agama besar tidak bebas dari kehadiran sebagian pemeluknya yang terlibat dengan tindak kekerasan, kekejaman dan pertumpahan darah yang memalukan dan memilukan, yang dilakukan atas nama agama. Tragedi ini terjadi tidak hanya di masa lalu akan tetapi juga berlangsung saat ini. Agama-agama yang oleh para penganjurnya dikhotbahkan sebagai pembawa kasih dan rahmat ternyata dalam kenyataan kita menyaksikan berbagai peristiwa yang bertolak belakang dari apa yang dikhotbahkan. Kita menyaksikan pemaksaan kehendak, sikap tidak toleran, mau menang sendiri bahkan sikap tidak mau berbagi tempat di bumi ini seolah-olah bumi ini milik mereka sendiri. Adalah sangat ironis ketika fenomena yang didengung-dengungkan sebagai kebangkitan agama-agama alih-alih memberikan harapan yang menjanjikan tapi justru menimbulkan ketakutan yang mencekam. Dalam konteks masyarakat kita berbagai peristiwa keagamaan yang terjadi akhir-akhir ini memperkuat konstatasi di atas. Timbul pertanyaan dalam pikiran kita bagaimana agama bisa meyakinkan kita akan kehidupan damai kelak dalam kehidupan setelah mati kalau agama justru menyulut kebencian dan kekerasan kini dan di sini?

Kalau kita mencoba menganalisa fenomena di atas boleh jadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hal-hal tersebut bisa terjadi karena memang terdapat potensi yang melekat dalam sifat hakiki dari agama itu sendiri. Agama diterima dan dipahami sebagai sesuatu yang bersifat “ultimate” yang berkaitan dengan keselamatan manusia, tidak saja dalam kehidupan sekarang ini tapi dan terutama dalam kehidupan nanti. Terdapat keinginan luhur dalam setiap penganut agama untuk berbagi keselamatan dengan orang lain, keluarganya, teman-temannya dan sesamanya. Masalah muncul ketika para penganut agama menerima agama juga sebagai “kebenaran mutlak” lebih-lebih ketika mereka berusaha memaksa orang lain juga menerimanya. Lebih parah lagi ketika mereka “memutlakkan” pemahamannya sendiri sebagai kebenaran. Karena itu tidak mengherankan apabilapara penganut agama merasa terpanggil untuk melakukan apa saja demi dan untuk agama mereka masing-masing.

Ungkapan yang sering kita dengar yang diucapkan oleh penganut suatu agama “siap mati demi dan untuk agama” bisa dibaca sebagai demi dan untuk kemurnian atau kemuliaan agama sehingga muncul istilah penyimpangan atau penghinaan terhadap agama. Agama yang mestinya berfungsi sebagai jalan oleh sebagian penganutnya telah dijadikan sebagai tujuan. Agama diperlakukan sebagai tuhan. Maka yang terjadi adalah bukan agama untuk manusia tapi sebaliknya manusia untuk agama. Ketika agama sudah dipertuhan maka agama bukan lagi menjadi rahmat.

MEMAHAMI JILBAB DALAM ISLAM (4)

Siti Musdah Mulia

Halaman sebelumnyaIslam adalah agama yang sangat menekankan pentingnya penghormatan kepada manusia dan itu terlihat dari ajarannya yang sangat akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Yang membedakan hanyalah prestasi dan kualitas takwanya. Dan bicara soal takwa, hanya Tuhan semata yang berhak melakukan penilaian. Tugas manusia hanyalah berkompetisi melakukan amal baik sebanyak-banyaknya (fastabiqul khairat). Namun, tidak sedikit manusia memposisikan dirinya seperti Tuhan sehingga berani menilai manusia sebagai sesat, kafir, berdosa dan sebagainya.

Perempuan dan laki-laki dalam Islam sama-sama harus berbusana yang sopan dan sederhana, tidak pamer dan tidak mengundang birahi. Dengan mempelajari asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab dapat disimpulkan bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang ditetapkan untuk perlindungan, atau lebih jauh lagi, untuk meningkatkan prestise kaum perempuan beriman, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.

Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al-Quran bagi para istri dan anak-anak perempuan Nabi, dan semua perempuan beriman di masa itu untuk menutup tubuh mereka atau bagian dari tubuh mereka sedemikian rupa sehingga tidak mengundang kaum munafik untuk menghina mereka. Jadi illat hukumnya adalah perlindungan terhadap perempuan. Jika perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi karena sistem keamanan yang sudah demikian maju dan terjamin, tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih mau menggunakan jilbab atau tidak.

Apapun pilihan perempuan, harus dihargai dan dihormati sehingga terbangun kedamaian di masyarakat. Dalam realitas sosiologis di masyarakat jilbab tidak menyimbolkan apa-apa; tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan salehah, sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.

Sesungguhnya perbedaan para pakar hukum dalam memahami hukum jilbab adalah sangat manusiawi. Perbedaan pendapat muncul karena perbedaan dalam memahami makna ayat dan pertimbangan-pertimbangan nalar mereka. Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah jilbab dan batas aurat perempuan merupakan masalah khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan.

Berkaitan dengan ini, perlu diketengahkan kesimpulan dari Forum Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah tahun 1988 sebagi berikut: "Hukum Islam tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup, tetapi menyerahkan hal itu kepada masing-masing orang sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan." Kalau begitu, jelas bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap kehati-hatian dalam melaksanakan tuntunan Islam.

Akhirnya, perlu membangun sikap apresiasi terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebaliknya juga menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya melepas atau membuka kembali jilbabnya. Bahkan, juga mengapresiasi mereka yang sama sekali tidak tertarik memakai jilbab. Itulah pesan psikologis dari buku ini. Walahu a’lam bi as-shawab.

MEMAHAMI JILBAB DALAM ISLAM (3)

Siti Musdah Mulia

Halaman sebelumnyaSelain ayat tersebut, ayat-ayat lain yang menyinggung soal jilbab, adalah al-Ahzab, 32, 33 dan 53; serta an-Nur ayat-ayat: 30, 31 dan 60. Adapun hadis yang banyak dijadikan rujukan adalah hadis riwayat Aisyah dan hadis riwayat Abu Daud. Keduanya hadis ahad, bukan hadis mutawatir. Para pakar hukum umumnya sepakat menilai hadis ahad tidak kuat menjadi landasan hukum.

Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca dalam konteks sekarang terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi memakai jilbab hanya sekedar agar mereka dikenali; atau agar mereka dibedakan dari perempuan yang bersatus budak; atau agar mereka tidak diganggu laki-laki jahat. Di masa sekarang tidak ada lagi perbudakan, juga busana bukan ukuran untuk menetapkan identitas seseorang. Dewasa ini banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat perempuan terhormat dan disegani, misalnya dengan meningkatkan kualitas pendidikan, memberdayakan mereka dengan mengajarkan berbagai skill dan keterampilan, memenuhi hak-hak asasi mereka, khususnya hak-hak reproduksi mereka.

Jika ayat-ayat jilbab mengandung pesan moral untuk meninggikan martabat kaum perempuan, maka kaum perempuan modern ditantang oleh Islam untuk menunjukkan martabat tersebut yang perlindungannya ditetapkan oleh agama, tetapi dengan suatu cara atau berbagai cara yang selaras dengan lingkungan mereka yang modern. Artinya, ajaran Islam menghendaki para perempuan tetap terjaga moralitasnya, meskipun tidak menggunakan simbol-simbol seperti jilbab dan sebagainya.

Pembacaan yang seksama terhadap semua ayat dan hadis Nabi tentang jilbab, pada akhirnya membawa kepada suatu kesimpulan berikut. Jilbab pada hakikatnya adalah mengendalikan diri dari dorongan syahwat, dan membentengi diri dari semua perilaku dosa dan maksiat. Jilbab dengan demikian tidaklah terkait dengan busana tertentu, melainkan lebih berkaitan dengan takwa di dalam hati. Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga menimbulkan perhatian publik, dan yang pasti juga tidak untuk pamer (riya’).

Pemahaman tentang jilbab hendaknya dimulai dengan memahami tauhid, inti ajaran Islam. Tauhid, inti ajaran Islam mengajarkan bagaimana berketuhanan yang benar, dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Ajaran tauhid membawa kepada pengakuan akan persamaaan manusia di hadapan Tuhan dan keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, gender, ras, suku bangsa, dan bahkan agama. Pemahaman tauhid berimplikasi pada dua aspek ajaran: ajaran tentang ketuhanan (dimensi vertikal) dan kemanusiaan (dimensi horisontal). Yang pertama berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan (hablun minallah), sementara yang terakhir berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (hablun minannas). Sayangnya, dalam praktek beragama di masyarakat, dimensi horisontal ini tidak terwujud dengan baik dalam kehidupan penganutnya. Penganut agama lebih mengutamakan hubungan dengan Tuhan ketimbang dengan sesamanya manusia. Akibatnya, agama sering tampil dalam wajah yang tidak bersahabat, terutama terhadap perempuan.

MEMAHAMI JILBAB DALAM ISLAM (2)

Siti Musdah Mulia

Halaman sebelumnyaAda kaidah dalam hukum Islam, bahwa tidak satupun ulama atau komutas agama yang dapat mengklaim pandangannya sebagai suatu yang mutlak dan absolut. Sebab, pada tataran ijtihad semua pandangan adalah relatif dan nisbi, serta dapat diubah. Artinya, setiap ulama dan komunitas agama bisa saja mengklaim pendapatnya benar, tetapi yang lain pun dapat melakukan hal yang sama. Dalam konteks ini yang diharapkan adalah agar setiap penganut agama bisa menghargai pendapat orang lain, sepanjang orang itu tidak memaksakan pendapatnya atau tidak menyalahkan pendapat orang lain. Dengan demikian, yang diperlukan dalam beragama sesungguhnya adalah sikap menghargai dan menghormati orang lain apapun pilihan pendapatnya, dan perlunya kearifan dalam merespon perbedaan pendapat.

Lalu, apa yang dimaksud dengan jilbab? Kata jilbab adalah bahasa Arab, berasal dari kata kerja ‘jalaba’ bermakna “menutup sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat.” Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan jilbab. Sebagian pendapat mengatakan jilbab itu mirip rida’ (sorban), sebagian lagi mendefinisikannya dengan kerudung yang lebih besar dari khimar. Sebagian lagi mengartikannya dengan qina’, yaitu penutup muka atau kerudung lebar. Muhammad Said Al-Asymawi, mantan hakim agung Mesir menyimpulkan bahwa jilbab adalah gaun longgar yang menutupi sekujur tubuh perempuan. Jilbab dalam Islam sangat erat kaitannya dengan masalah aurat dan soal hijab.

Satu-satunya ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit menggunakan istilah jilbab adalah ayat 59 surah al-Ahzab: “Wahai Nabi, katakanlan kepada para isterimu dan anak-anak perempuanmu, serta para perempuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Sebab, yang demikian itu akan membuat mereka lebih mudah dikenali sehingga terhindar dari perlakuan tidak sopan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

Para ulama sepakat bahwa ayat tersebut merespon tradisi perempuan Arab ketika itu yang terbiasa bersenang ria. Mereka membiarkan muka mereka terbuka seperti layaknya budak perempuan, mereka juga membuang hajat di padang pasir terbuka karena belum ada toilet. Para perempuan beriman juga ikut-ikutan seperti umumnya perempuan Arab tersebut. Kemudian mereka diganggu oleh kelompok laki-laki jahat yang mengira mereka adalah perempuan dari kalangan bawah. Mereka lalu datang kepada Nabi mengadukan hal tersebut. Lalu turunlah ayat ini menyuruh para isteri Nabi, anak perempuannya dan perempuan beriman agar memanjangkan gaun mereka menutupi sekujur tubuh.

Muhammad Said Al-Asymawi berkata: 'illat hukum pada ayat-ayat jilbab, atau tujuan dari penguluran jilbab adalah agar perempuan-perempuan merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan perempuan-perempuan yang berstatus hamba sahaya dan perempuan-perempuan yang tidak terhormat. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi kerancuan menyangkut mereka dan agar masing-masing dikenal sehingga perempuan-perempuan merdeka tidak mengalami gangguan dan dengan demikian terpangkas segala kehendak buruk terhadap mereka. Bukti tentang kebenaran hal ini adalah 'Umar Ibn Khaththab ra. bila melihat seorang perempuan budak menggunakan penutup muka atau mengulurkan jilbabnya, beliau mencambuk perempuan itu. Ini guna membedakan mereka dengan perempuan-perempuan merdeka.

MEMAHAMI JILBAB DALAM ISLAM (1)

MEMAHAMI JILBAB DALAM ISLAM
Siti Musdah Mulia

Memahami agama dari perspektif yang luas akan menuntun seseorang menjadi lebih arif dan lebih bijaksana dalam merespon berbagai bentuk sikap dan perilaku keagamaan dari para pemeluk agama. Perlu dicatat bahwa agama bukanlah hanya terdiri dari setumpukan teks-teks suci, melainkan juga mengandung pesan-pesan moral yang dapat diketahui melalui perenungan dan pembahasan secara mendalam dari berbagai perspektif, tak terkecuali dari perspektif psikologis. Itulah salah satu alasan mengapa buku ini menjadi penting dibaca oleh siapapun yang ingin mendalami soal jilbab.

Jumlah perempuan berjilbab di Indonesia semakin meningkat akhir-akhir ini, apakah itu lalu berarti tingkat keagamaan masyarakat pun mengalami peningkatan?? Yang pasti ada banyak alasan mengapa perempuan berjilbab. Sebagian memutuskan berjilbab setelah melalui perjuangan panjang dan akhirnya meyakini bahwa itulah pakaian yang diwajibakan Islam. Jadi, alasannya sangat teologis. Sebagian memakai jilbab karena dipaksakan oleh aturan, terutama karena banyaknya Peraturan Daerah tentang keharusan berjilbab. Sebagian lagi karena alasan psikologis, tidak merasa nyaman karena semua orang di lingkungannya memakai jilbab. Ada lagi karena alasan modis, agar tampak lebih cantik dan trendi, sebagai respon terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab dengan perempuan. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya toko-toko busana muslim dan butik yang memamerkan jilbab dengan model mutakhir dan tentu saja dengan harga mahal. Bahkan, ada juga berjilbab karena alasan politis, yaitu memenuhi tuntutan kelompok Islam tertentu yang cenderung mengedepankan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik.

Berbicara soal busana perempuan dalam Islam, data-data historis sepanjang sejarah Islam mengungkapkan bahwa pandangan para ulama tidak tunggal, melainkan sangat beragam. Setidaknya, pandangan ulama dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola. Pertama, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan tangan, bahkan juga bagian mata. Kedua, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya kecuali bagian muka dan tangan. Ketiga, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi tubuhnya, selain muka dan tangan hanya ketika melaksanakan ibadah salat dan thawaf. Di luar itu, perempuan boleh memilih pakaian yang disukainya, sesuai adab kesopanan yang umum berlaku dalam masyarakat. Rambut kepala bagi kelompok ini bukanlah aurat sehingga tidak perlu ditutupi.

Menarik digarisbawahi bahwa ketiga pola pandangan yang berbeda itu sama-sama merujuk kepada teks-teks suci agama dan sama-sama mengklaim diri sebagai pandangan Islam yang benar. Perbedaan pandangan para ulama soal busana perempuan ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan pandangan tentang batas-batas aurat bagi perempuan. Yang pasti bahwa semua pandangan tadi merupakan hasil ijtihad para ulama. Sebagai hasil ijtihad, pandangan itu bisa salah, tetapi juga bisa benar.