Jumat, 19 September 2008

Insiden Zakat dan Kemiskinan yang Membelenggu


Jumat, 19 September 2008 | 00:18 WIB

Oleh Ahmad Fuad Fanani

Pada bulan suci Ramadhan ini kita dikejutkan oleh meninggalnya 21 orang di Pasuruan saat mengantre untuk mendapatkan zakat.

Zakat uang tunai itu dibagikan oleh keluarga Haji Saikhon kepada ribuan orang. Akibatnya, mereka saling berdesakan, para janda dan wanita tua tergencet, 21 orang hidupnya berakhir sia-sia.

Kejadian di Pasuruan bukan peristiwa pertama. Sejak tahun 2001 hingga 2007, hampir setiap bulan puasa terulang kembali kejadian serupa. Ironisnya, tempat kejadian dan peristiwa yang menyebabkan umumnya mirip, yaitu pembagian zakat dari si kaya kepada orang miskin (Kompas, 16/9/2008).

Sebetulnya, pemerintah dan banyak ulama mengkritik pembagian zakat model ini. Dalam ajaran Islam, pembagian zakat seyogianya diberikan secara langsung dengan mendatangi orang yang berhak menerima. Pembagian dengan mengumpulkan ratusan atau ribuan orang kurang etis karena mencerminkan sikap riya (mempertontonkan kedermawanan). Selain itu, kita sudah memiliki institusi penyalur zakat yang kredibel, seperti Baznas dan Lazis.

Cermin kemiskinan

Tragedi itu juga menunjukkan, kemiskinan ada di hadapan kita. Kemiskinan bukan sesuatu yang berhenti pada angka statistik yang naik dan turun sesuai survei. Kemiskinan adalah sebuah realitas sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang serius diderita dan dirasakan sebagian masyarakat. Tidak mengherankan jika ada orang membagi-bagikan uang Rp 20.000 hingga Rp 30.000, ratusan hingga ribuan orang rela antre guna mendapatkannya.

Anehnya, kemiskinan yang merajalela dan membelenggu itu banyak dipelihara elite ekonomi dan politik. Orang kaya yang memberi zakat uang tunai hampir setiap tahun adalah satu contoh pemeliharaan kemiskinan. Ia tidak beda dengan sinterklas yang membagi-bagi hadiah seakan setelah itu problem kemiskinan selesai. Bukankah lebih baik memberi mereka modal untuk bekerja atau diberi pinjaman lunak untuk membuka usaha?

Untuk mengakhiri kemiskinan, kita perlu belajar dari pengalaman Muhammad Yunus di Banglades dengan program Grameen Bank.

Keberhasilan Muhammad Yunus untuk memuseumkan kemiskinan membutuhkan kesabaran, keseriusan, dan tanpa pamrih politik. Dengan membangkitkan kepercayaan diri dan menjadikan orang miskin mampu mengerahkan segenap sumber daya dan modal yang dimiliki, kita bisa optimistis bahwa kemiskinan akan terkurangi. Tentu saja, struktur ketimpangan sosial dan politik serta kebijakan pemerintah yang tidak memihak orang miskin harus diakhiri. Elite politik jangan hanya gemar perang wacana angka kemiskinan, tetapi tidak melakukan aksi nyata.

Agama yang membebaskan

Untuk memuseumkan kemiskinan, kita perlu merenungkan kembali fungsi utama agama. Kehadiran agama sejatinya bukan hanya sebagai obat penenang manusia saat dilanda kesedihan atau kegagalan. Agama berfungsi membebaskan manusia dari ketertindasan sosial dan yang dilakukan sesamanya.

Hampir semua tokoh agama sejak awal mengabarkan perdamaian, kesejahteraan, keadilan sosial, dan bertekad menolong orang miskin dan tertindas.

Dalam tataran praktis dan teoretis, ini amat terkait teologi pembebasan yang diperkenalkan Gustavo Guiterrez. Menurut Guiterrez, teologi pembebasan mempunyai dua institusi penting (Two Theological Perspectives: Liberation Theology and Progressivist Theology, 1976).

Pertama, teologi pembebasan sejak awal diciptakan sebagai komitmen aktif yang hadir untuk pembebasan. Teologi adalah refleksi kritis atas dan dari dalam praksis historis, serta praksis historis teologi pembebasan adalah menerima dan menghidupkan firman Tuhan melalui iman.

Kedua, dalam teologi pembebasan, sebenarnya Tuhan adalah Tuhan yang membebaskan. Dan, ini hanya bisa diungkapkan dalam konteks sejarah yang nyata tentang pembebasan terhadap orang miskin dan orang tertindas.

Maka, jika teologi harus berhubungan dengan praksis historis yang nyata, aksi konkretnya adalah membela orang miskin. Orang miskin tidak hanya dijadikan bentuk refleksi, tetapi orang miskin adalah subyek historis atas praksis teologi. Jadi, keberagamaan akan menjadi benar dan bermakna jika kita terlibat aktif dalam pembebasan orang miskin dan tertindas.

Jelas bahwa sejatinya agama bisa menjadi kekuatan penting dalam melakukan langkah nyata mengakhiri kemiskinan jika teologi yang kita anut adalah teologi pembebasan. Orang miskin, yang selama ini menjadi obyek dalam politik sering dikeluarkan dari lembar sejarah serta obyek pembagian uang zakat, harus diberi harapan kemajuan dan diberikan ruang untuk berbicara.

Kita berharap teologi pembebasan akan mampu memberikan kontribusi pada perubahan sejarah pembebasan orang miskin dan menjadi pemahaman baru tentang iman.

Ahmad Fuad Fanani Peneliti di International Center for Islam and Pluralism (ICIP)


Tidak ada komentar: