Senin, 08 September 2008

Tiada Agama tanpa Akal

Oleh: Ahmad Tohari

Tentang rokok saya punya beberapa pengalaman keseharian yang cukup menarik. Di antaranya, percakapan saya dengan seorang teman yang bekerja di sebuah industri rokok raksasa. Secara iseng saya bertanya, "Wah, kamu enak ya, saban hari bisa merokok dengan gratis." Teman tadi tersenyum dan jawabannya cukup mengejutkan.

"Sekali pun kami tak pernah mendapat rokok gratisan dari perusahaan. Mereka berpendapat, rokok adalah racun. Maka, mereka tidak akan pernah memberikan rokok itu kepada para karyawan."

"Jadi, para karyawan perusahaan tempat kamu bekerja tidak pernah merokok?"
"Bukan begitu. Rokok boleh diisap oleh para karyawan tapi atas pilihan dan biaya sendiri."

Pengalaman lainnya adalah percakapan saya dengan teman yang biasa mancing bersama ke tengah laut. Sebenarnya dia bukan perokok berat. Namun, pada usia di atas 60 tahun dia terkena kanker paru. Pada hari-hari terakhir hidupnya, dia bilang kepada teman-teman yang datang menjenguknya di rumah sakit. "Teman-teman, cukuplah saya yang menderita sakit seperti ini. Kalian jangan. Maka, saya minta kalian yang merokok berhentilah."

Masih ada pengalaman lain. Bahkan, ini menyangkut kakak perempuan kandung saya. Pada usia 50 tahun kakak terkena kanker paru juga. Bukan karena dia merokok, melainkan suaminya yang perokok berkelanjutan. Setelah kematian kakak, anak-anaknya berantakan.

Barangkali belum cukup? Beberapa waktu yang lalu di harian ini saya sudah menyampaikan data bahwa 19 juta warga masyarakat miskin kita mengisap rokok dengan nilai Rp 23 triliun per tahun. Mungkin tidak banyak orang yang merenung lebih jauh bahwa pada kasus ini telah terjadi perampasan atas hak puluhan juta anak miskin.

Hak apa? Hak mendapat asupan gizi yang lebih baik; hak mendapat buku-buku pelajaran; dan hak atas biaya kesehatan. Itu semua gara-gara ayah mereka yang miskin lebih suka memilih rokok daripada memenuhi kewajiban atas anak-anaknya.

Harus diingat jumlah anak miskin yang terampas haknya ini saja pasti lebih besar daripada jumlah seluruh petani tembakau ditambah dengan karyawan industri dan distributor rokok di seluruh Indonesia. Belum lagi, bila jumlah anak yang terampas haknya itu ditambah dengan jumlah pelajar dan mahasiswa yang telah kecanduan nikotin sehingga mereka lebih mengutamakan rokok daripada buku. Malah kita bisa merenung lebih dalam bila membaca data yang dicatat oleh Prof Dadang Hawari: setiap tahun 57 ribu orang meninggal di Indonesia karena rokok. Berarti rata-rata 156 orang setiap hari dan angka ini hanya sedikit di bawah angka korban narkoba.

Jadi, benar rokok adalah racun, baik dalam arti kiasan maupun arti sesungguhnya. Bahkan, produsen sendiri telah menjelaskan dalam huruf-huruf besar bahwa rokok bisa menyebabkan kanker, serangan jantung, dan gangguan janin. Tapi, masyarakat dan pemerintah tampak belum melihatnya sebagai ancaman yang serius. Ini sebuah ironi yang menyedihkan. Beda dengan Singapura yang berupaya keras mengendalikan konsumsi rokok oleh warganya. Singapura sedang berjalan pasti menuju bangsa bebas tembakau.

Ironi besar juga hidup subur di kalangan masyarakat yang konon telah memakruhkan rokok. Kalau benar rokok hukumnya makruh, seharusnya para santri dan para tokoh Islam bisa menampilkan diri sebagai contoh pribadi yang menjauhi rokok. Tapi, nyatanya di kalangan mereka rokok adalah hal yang sangat umum. Mereka lupa posisi sebagai panutan dan perilaku mereka jadi acuan umat.

Atau, hukum makruh rokok itu pun sebuah ironi. Karena hukum itu diputuskan pada masa baheula, jauh sebelum tercapai kemajuan ilmiah yang bisa membuktikan secara nyata dan objektif bahaya rokok terhadap kesehatan bahkan jiwa manusia. Juga, karena sifat konsumsi rokok yang menimbulkan efek ketergantungan maka akan terjadi makruh secara berkelanjutan. Ya, (lagi-lagi) ironisnya para santri juga tahu apa jadinya apabila hal yang makruh dilakukan terus-menerus.

Maka, daripada repot berwacana dan menunggu bertele-tele fatwa ini-itu, lebih baik kita bertindak sendiri-sendiri. Tinggalkan rokok demi akal sehat. Toh, dalam konteks rokok pun mestinya kita boleh berdalil, tiada agama tanpa a

Tidak ada komentar: