Kamis, 11 September 2008

FPI dan Penodaan Citra Agama

Oleh Gugun El-Guyanie
Aksi anarkis Front Pembela Islam (FPI)kembali menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), pada peringatan Hari Kelahiran Pancasila, Minggu (1/6) di Monas, Jakarta.

Tindakan brutal dengan mengibarkan bendera Islam itu justru melukai sejumlah tokoh Islam yang bergabung dalam AKKBB. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI itu adalah untuk kesekian, setelah berulang kali merusak dan menyerang kelompok yang tidak sependapat dengan mereka. Wajar jika banyak tuntutan dari organisasi kemasyarakatan (ormas) lain yang moderat, menuntut pemerintah untuk membubarkan FPI. Beragama dengan gaya premanis ala FPI sangat menodai Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa.

Nilai-nilai Pancasila yang secara jelas mendasarkan kepada semua ritme kehidupan berbangsa berdasarkan Ketuhanan telah ternodai. Terlebih agama Islam yang mengajarkan cinta untuk semesta (rahmatan lil ’alamin).

Kelompok-kelompok yang berbaju agama namun berlaku layaknya preman itu sebenarnya telah menentang Tuhan. Mereka sebenarnya tidak menyembah Tuhan, tetapi menyembah kesombongan kelompoknya yang seolah perkasa, paling kuat, dan paling benar. Aksi-aksi yang dilakukannya jelas berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan, karena melukai dan menghujat kelompok lain dengan biadab.

Tipologi kelompok itu sangat mengancam semangat persatuan nasional. Berpolitik mereka adalah berpolitik gaya Machiavellian yang menghalalkan segala cara, yang bertentangan dengan prinsip kerakyatan yang bijak dan adil. Suara rakyat tidak dianggap sebagai suara kebenaran. Sesungguhnya kelompok mereka sangat merusak nilai keadilan bagi bangsa Indonesia.

Menodai Pancasila
Spirit kelima sila dalam Pancasila, telah dirusak semua. Secara gamblang, mereka sudah berusaha menodai Pancasila dengan tetap bersikukuh bahwa tindakannya adalah berdasarkan kepada legitimasi dari agama.

Pancasila telah menjamin kebebasan setiap kelompok untuk berkeyakinan, termasuk menjamin FPI hidup di bumi Indonesia. Namun dengan prasyarat bahwa semua kelompok harus hidup berdampingan, menjaga keyakinan masing-masing, dan toleran terhadap kebenaran kelompok lain. Artinya, kelompok yang ekstrem dan fanatis buta berarti telah mencederai komitmen untuk hidup bersama dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, harus ada tindakan yang tegas dari negara untuk menindak kelompok-kelompok preman, kendatipun sumpah serapah ingin menegakkan syariat Islam.

Tidak ada syariat Islam di dunia ini yang mengajarkan kekerasan dan menganggap kelompoknya sendiri yang paling benar. Dengan anarkisme dan brutalisme FPI, Tuhan tidak akan ternoda, tapi yang ternoda adalah makhluk Tuhan yang disyariatkan untuk hidup cinta damai di belahan bumi mana pun. Kebesaran Tuhan tidak akan terkurangi karena ulah FPI; kesucian Tuhan tidak akan ternodai; dan kemahakuasaan Tuhan juga tetap utuh. Namun, kehidupan di muka bumi Indonesia harus dijaga dari ancaman-ancaman yang membahayakan keselamatan umat beriman, termasuk aksi teror dari FPI.

Sejarah FPI
Siapa sebenarnya FPI; bagaimana lahirnya; dan apa sebenarnya tujuan mereka di balik gembar-gembor tentang syariat Islam? FPI lahir pada 17 Agustus 1998 dengan ketua umumnya Habib Muhammad Rizieq Syihab, serta berkembang subur pada masa pemerintahan Presiden Habibie. FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekeliling Soeharto.

Di masa Prabowo Subianto aktif di TNI, FPI diduga sebagai salah satu binaan menantu Soeharto itu. Namun, setelah Prabowo jatuh, FPI kemudian cenderung mendekati kelompok Jendral Wiranto yang tengah bermusuhan dengan kelompok Prabowo.

Keberkaitan FPI dengan Wiranto barangkali dapat dideduksi dari aksi ratusan milisi FPI yang selalu berpakaian putih-putih, ketika menyatroni kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memprotes pemeriksaan Jendral Wiranto dan kawan-kawan oleh KPP HAM.

Milisi FPI yang datang ke kantor Komnas HAM dengan membawa pedang dan golok, bahkan menuntut lembaga hak asasi manusia itu dibubarkan karena dianggap lancang memeriksa para jendral.

Demonstrasi Tandingan
Sementara itu kedekatannya dengan ABRI terlihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukannya melawan aksi mahasiswa yang menentang RUU Keadaan Darurat yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada 24 Oktober 1999. Setelah jatuhnya Wiranto, kelompok itu kehilangan induknya, dan mulai mengalihkan perhatian kepada upaya penegakan syariat Islam di Indonesia. (Syamsul Rizal Panggabean: 2007).

Ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa FPI awalnya memang murni didirikan oleh para ”habib” yang berjuang untuk syariat Islam. Namun pada perjalanannya kelompok itu ditunggangi oleh sejumlah jenderal, yang sekaligus menjadi pembina dan juga sumber dana operasionalnya.

Penyerbuan yang dilakukan di mal, diskotek, bar, dan kafe-kafe, sebenarnya dilakukan oleh laskar FPI yang berbasis preman Betawi. Laskar FPI yang diduga adalah preman-preman itu kemudian dikomando untuk menyerbu tempat-tempat hiburan pada bulan Ramadan dengan dalih penegakan syariat. Namun yang terjadi hanya tempat-tempat hiburan tertentu yang tidak memberikan uang keamanan yang diserbu.

Dalam merespons kejadian tersebut, polisi terlihat hanya datang menyaksikan aksi-aksi perusakan. Sekalipun polisi kemudian mengkritik aksi-aksi itu, tetapi tak satu pun anggota FPI yang ditangkap. Sejumlah pengamat mengungkapkan óyang juga diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakató bahwa polisi telah memanfaatkan FPI dan milisinya, Laskar Pembela Syariat Islam (LPSI) untuk memaksakan protection rackets-nya. Sebagai akibatnya, polisi memaafkan aksi tersebut atau bahkan mengarahkan serangan itu ke sasarannya.

Jika fakta-fakta tersebut benar-benar terjadi, maka masyarakat dan negara harus waspada. Kalau ada konspirasi antara preman dan aparat negara, berarti negara sudah kehilangan kontrol terhadap kehidupan warganya.

Rakyat kecil yang sudah hidup miskin, terusik ketenteramannya dan selalu diributi oleh teror-teror kekerasan, harus diutamakan. Warga negara membutuhkan jaminan ekonomi, jaminan lapangan kerja, jaminan kebebasan beragama dan kebebasan berpolitik.

Jika negara telah gagal menjamin hak-hak tersebut, wajar apabila kewajiban sebagai warga negara dan sebagai manusia terabaikan. Bahkan menurut John Rawl berbalik menjadi ketidakpatuhan kepada negara (civil disobedience).

Saatnya negara bertindak tegas terhadap para perusuh, baik itu preman maupun orang-orang dalam sendiri yang tidak puas dengan pembagian ”kue kekuasaan”. Negara ini bukan milik orang dan kelompok tertentu, tetapi milik rakyat. Siapa pun yang terlibat dalam kekacauan terhadap negara, baik yang berjubah agama maupun yang berbaju apa pun, harus diadili. Siapkah pemerintah menegakkan keadilan dan membubarkan FPI?(68)

Gugun El-Guyanie, sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan (LK3 ) PW GP Ansor DIY.

(Suara Merdeka, 4/6/2008)

Tidak ada komentar: