Kamis, 11 September 2008

ISLAM DAN MISTIFIKASI KHILAFAH


Amiruddin Sujadi;
Mahasiswa Program Magister Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)


Tulisan Said Aqil Siradj, 'Relasi Agama dan Negara' di Republika, Kamis (11/1/07) menarik untuk ditanggapi. Secara umum, tulisan ini berhasil memotret gambaran awal berdirinya negara Madinah, yang disebutnya dengan istilah city state (negara kota), hingga menjadi negara Islam pertama. Juga keberhasilannya dalam membangun peradaban Islam yang utuh di tangan Rasulullah SAW dan para sahabat yang mencitrakan Islam sebagai rahamatan lil'alamin. Sayangnya, uraian yang sangat bagus itu harus diakhiri dengan analisis yang kurang pas tentang mistifikasi khilafah.

Posisi Ibn Taimiyah

Mengenai Ibn Taimiyah (w 728 H), Said Aqil mengatakan, bahwa beliaulah ulama yang mencuatkan frame pemikiran fikih siyasi secara utuh dalam bukunya, As Siyasah As Syar'iyyah. Dari paparan tersebut, kita bisa menangkap seolah-olah Ibn Taimiyahlah orang yang pertama membangun kerangka fikih siyasi secara utuh. Padahal, kita tahu, banyak ulama Sunni jauh sebelum Ibn Taimiyah telah melakukan hal yang sama, bahkan dengan konsep yang lebih utuh ketimbang Ibn Taimiyah. Sebut saja, Al Mawardi (w 450 H) dari Mazhab Syafii dan Al Farra (w 458 H) dari mazhab Hambali.

Bahkan, saya kira kedua kitab ini jauh lebih lengkap pembahasannya ketimbang apa yang ditulis oleh Ibn Taimiyah. Meski tak selengkap dan seutuh keduanya, saya kira masih ada nama lain yang juga layak untuk dikemukakan di sini, yaitu Imam Al Haramain Al Juwaini (w 478 H) dan Sulthan Al 'Ulama', Izzuddin ibn 'Abd As Salam (w 660 H).

Karena itu, yang menyatakan bahwa sistem khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan Islam, dan hukum mendirikannya adalah wajib, bukan hanya pendapat Ibn Taimiyah. Bukan hanya itu, semua Ahlussunnah, Syi'ah, Khawarij kecuali sekte An Najadat dan Muktazilah kecuali sekte Al Asham dan Al Fuwathi sepakat, bahwa adanya imam dan imamah adalah wajib.

Wajar saja, jika kemudian Al Qalqasyandi (1964: I: 2) mengatakan, "Khilafah adalah pangkalan dan mainstream Islam." Al-Ghazali (w 505 H) dalam Al-Iqtishad fi Al-I'tiqad, membuat perumpamaan yang sangat tepat, bahwa Islam dan khilafah itu ibarat pondasi dan penjaga. Tanpa pondasi, sebuah bangunan akan runtuh, dan tanpa penjaga bangunan itu pun akan hilang. Karena itu kemudian eksistensi hukumnya disepakati oleh para ulama kaum Muslim sebagai perkara yang urgensinya telah dimaklumi di dalam Islam.

Pertanyaannya kemudian adalah, benarkan karena hubungan yang sedemikian kuat antara Islam dan negara itu kemudian memunculkan pen-taqdis-an negara, atau dalam istilah Said Aqil disebut mistifikasi negara? Saya kira, kesimpulan ini terlalu menyederhanakan persoalan.

Jika para ulama mengatakan, bahwa mendirikan khilafah hukumnya wajib, tentu tidak bisa dikatakan, bahwa ini merupakan bentuk pen-taqdis-an negara. Sebagaimana kalau kita mengatakan, shalat hukumnya wajib, juga tidak bisa dikatakan men-taqdis-kan shalat, semata-mata karena kita mengatakan shalat hukumnya wajib dan karenanya wajib ditegakkan. Sebab, baik shalat maupun khilafah, hukumnya memang sama-sama wajib bagi kaum Muslim.

Lebih transparan

Konon karena mistifikasi ini, sistem khilafah akan kehilangan transparansi menajemen pemerintahannya, dan bahkan konon akan membelenggu kreasi dan ekspresi rakyatnya. Kesimpulan seperti ini, selain mungkin dipengaruhi oleh penyimpangan dalam praktik sejarah, juga sangat mungkin karena ketidakjelasan gambaran tentang sistem pemerintahan dalam khilafah.

Sekalipun khilafah tidak menganut sistem demokrasi, tetapi bukan berarti khilafah adalah sistem teokrasi, yang menempatkan khalifah seolah seperti raja yang menjadi titisan dewa. Khalifah adalah manusia biasa dan bisa berbuat salah sebagaimana layaknya manusia yang lain.

Jika Sunni menyatakan, bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh manusia untuk menjalankan hukum-hukum Allah, berarti tetap harus dibedakan antara hukum dan manusianya. Karena ada faktor manusia itulah, maka dalam praktiknya hukum tersebut bisa mengalami penyimpangan, tetapi bukan berarti hukumnya yang salah. Karena itulah, khalifah dan seluruh aparat di bawahnya bisa saja melakukan kesalahan, sebagaimana manusia yang lain dan mereka pun bisa dikoreksi bahkan diadili.

Jadi, dengan visi Sunni yang seperti itu, saya kira tidak ada masalah lagi dengan transparansi menajemen, atau problem akuntabilitas. Justru proses akuntabilitasnya sangat transparan, dan tidak perlu menunggu sidang tahunan, sidang paripurna, tetapi kapan dan di mana saja bisa berjalan.

Pantas, jika seorang Will Durant memberikan apresiasi yang luar biasa terhadapnya, "Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan sampai Maroko dan Spanyol. Islam pun telah menguasai cita-cita mereka, mendominasi akhlaknya, membentuk kehidupannya dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan masalah maupun duka mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh kepadanya pada saat ini (era Will Durant) sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hatinya walaupun ada perbedaan pendapat dan latar belakang politik di antara mereka." (Will Durant, The History of Civilization, vol XIII).

Apa yang dilukiskan oleh Will Durant ini adalah bagian dari episode kejayaan Islam dan seluruh bangsa serta negeri yang dinaunginya sistem khilafah selama puluhan abad. Masihkah kita memperdebatkan kenyataan ini? Sampai kapan? Saya kira, umat ini termasuk para pemimpinnya tidak akan pernah menjadi besar dan dihormati, jika tidak memahami dan kembali kepada sejarahnya.

Tidak ada komentar: