Senin, 19 Mei 2008

KH. Thantowi Jauhari Musaddad

Wakafkan Hidup untuk Umat


Pengasuh Ponpes al-Wasilah Garut Jawa Barat, KH. Thantowi Jauhari Musaddad, getol menyebarkan konsep Pembangunan Pedesaan Mandiri, Berbasis Amal Shaleh Sosial, Berwawasan Lingkungan . “Saya mewakafkan hidup saya untuk umat dan program ini,” tegasnya kepada Nurul H. Maarif dan Rumadi dari the WAHID Institute.

Putra kesembilan Prof. KH. Anwar Mussadad yang kini bermukim di lereng gunung Papandayan ini, mencita-citakan dapat memberdayakan 420 desa di Garut dalam rentang waktu 4 hingga 6 tahun.

“Kalau saya sukses di Garut, saya akan mencoba di kabupaten lain,” tekad penulis buku Reposisi Peran NU sebagai Bocah Angon ini.

Pemberdayaan yang dilakukan KH Thantowi dan para santrinya, adalah menyediakan data detail terkait potensi yang dimiliki masyarakat. “Data statistik pemerintah hanya mencatat golongan darah dan agama. Kita lebih dari itu. Hobby, olah raga, masalah kesehatan, asset, kekayaan, dan sebagainya, semua kita data,” imbuh kiai yang gemar memakai blangkon khas Sunda ini.

Dicontohkannya, seumpama masyarakat desa tertentu banyak yang memiliki motor, maka merk, tahun keluaran, jumlah yang dimiliki dan ke bengkel mana jika rusak, semua masuk pendataan.

“Setelah itu kita analisa, mereka service ke mana. Ternyata ke kota semua. Dengan melihat fakta itu, lantas kita rekomendasikan desa tersebut untuk membuka bengkel, tambal ban, took onderdil, dan sebagainya,” katanya.

Proyek percontohan pendataan ini rencananya akan dimulai Juli atau Agustus mendatang. “Kita akan mematangkan modulnya dulu. Lalu kita akan bikin pelatihan untuk memasukkan data. Cukup sebulan, kemudian harus jalan sendiri,” terangnya.

Ditanya soal dukungan Pemda, alumni S1 dan S2 Tafsir Hadits Ummul Qura University, Makkah ini menjawab, Pemda selalu berhitung untungrugi.

“Ketika kita mengajak bersinergi dengan Pemda, mereka keberatan. Ini tidak akan jalan, karena bukan angka (uang, red ),” ungkapnya. [nhm/gf]


Meneladani Nabi Ibrahim

Oleh Abd Moqsith Ghazali*

Idul Adha 1428 H, yang jatuh pada 20 Desember 2007, dirayakan dengan penuh keprihatinan. Idul Adha 1428 H berlangsung ketika kekerasan atas nama agama di Indonesia meningkat tajam.

Kelompok Ahmadiyah yang dinyatakan sesat-menyesatkan mendapatkan perlakuan diskriminatif. Di berbagai daerah di Indonesia, Jemaah Ahmadiyah mengalami kekerasan. Sejumlah aset kepunyaannya disegel bahkan dibakar. Padahal, Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) bukan organisasi liar.

Organisasi ini berdiri 1937, beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka. JAI diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum pada tanggal 13 Maret 1953 melalui SK Menteri Kehakiman No JA.5/32/13.

Setali tiga uang dengan Ahmadiyah adalah sekte-sekte keagamaan yang dianggap sesat. Lia Eden yang sudah ke- luar dari penjara terus mengalami tekanan. Untuk diketahui, Lia Eden divonis dua tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 29 Juni 2006. Ahmad Mosaddiq, pimpinan al-Qiyadah al-Islamiyah, masih meringkuk dalam tahanan karena dituduh menyebarkan aliran sesat.

Beberapa minggu terakhir ini, satu pesantren di Serang, Banten yang dianggap mengajarkan aliran sesat juga dirusak. Bukan hanya itu, perusakan terhadap rumah ibadah umat agama lain juga masih terjadi. Sudah tak terbilang jumlah gereja yang hancur. Bagaimana kita menempatkan perayaan Idul Adha di tengah semarak kekerasan atas nama agama itu?

*****

Sesungguhnya Idul Adha dirayakan untuk menapak tilas perjalanan hidup Nabi Ibrahim. Ini karena Nabi Ibrahim dianggap sebagai sumber teladan. Ajaran-ajaranya merupakan asal-usul dan fondasi dari agama Yahudi, Kristen, dan Islam.

Dalam tradisi Yahudi, Nabi Ibrahim adalah penerima pernjanjian (kovenan) asli antara orang-orang Ibrani dan Tuhan. Dalam tradisi Kristen, ia adalah se-orang patriakh terkemuka dan menjadi penerima perjanjian formatif dan orisinal yang disarikan dalam kovenan Mosa, sedangkan perjanjian kedua dipandang telah dibuat untuk Yesus Kristus.

Dalam tradisi Islam, Ibrahim bukan hanya seorang nabi dan pewarta wahyu, tapi juga Bapak Monoteisme. Ajaran monoteisme Nabi Ibrahim kontras dengan keyakinan mainstream. Ia menuai badai kontroversi di tengah masyarakat.

Resistensi terhadap Ibrahim merebak, termasuk dari ayah kandungnya sendiri, Azar.

Namun, Ibrahim tetap mendahulukan cara dialog ketimbang cara kekerasan. Alquran surat al-Syu`ara ayat 70-102 merekam dengan baik dialog antara Nabi Ibrahim dan ayahanda, plus kaumnya itu. Sekalipun sang ayah tetap pada keyakinannya semula, Ibrahim tak memaksakan kehendak bahkan mendoakan keselamatan ayahandanya di akhirat kelak.

Begitu juga, ketika Nabi Ibrahim diperintahkan untuk mengurbankan anaknya, ia berdialog dengan sang anak. Ia meminta pendapat sang anak sekiranya penyembelihan atas dirinya positif diselenggarakan.

Nabi Ibrahim sempat ragu. Namun, setelah si anak meyakinkannya, barulah ia mantap menjalankan perintah. Digambarkan dalam Alquran pernyataan sang anak, "Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu, niscaya aku termasuk orang-orang yang sabar (Ya abati if`al ma tu'mar satajiduni insyaallah min al-shabirin)".

Melalui ayat itu diketahui, Ibrahim bukan hanya berdialog dengan Tuhan sebagai sang pemberi wahyu, melainkan juga berkomunikasi dengan anak sebagai pihak yang akan menerima konsekuensi paling mengerikan dari wahyu penyembelihan itu. Akhirnya, Tuhan menyelamatkan sang anak dari hunusan pedang tajam Nabi Ibrahim dengan digantikan oleh seekor domba. Kisah dramatis itu menunjukkan konsistensi Nabi Ibrahim untuk bermusyawarah terutama dengan pihak yang akan dirugikan.

****

Tradisi dialog Nabi Ibrahim ini dilanjutkan Nabi Muhammad. Disebutkan dalam Alquran, "Ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan arif-bijaksana, nasihat yang baik, dan dengan diskusi yang produktif (ud`u ila sabili rabbika bi al-himah wa al-maw`idat al-hasanat wa jadilhum bi allati hiya ahsan)".

Ketika sampai di Madinah, Nabi Muhammad menggunakan cara dialog untuk mengatasi konflik yang sudah berpuluh tahun berlangsung, hingga akhirnya terbangun sebuah traktat politik yang disebut Piagam Madinah. Piagam itu merupakan konsensus bersama antarseluruh penduduk Madinah. Menarik dicatat bahwa pada saat itu Islam belum menjadi agama mayoritas. Berdasarkan sensus yang dilakukan ketika pertama kali Nabi berada di Madinah, diketahui bahwa jumlah umat Islam hanya 1.500 dari 10.000 penduduk Madinah. Sementara orang Yahudi berjumlah 4.000 orang dan orang-orang Musyrik berjumlah 4.500 orang.

Apa yang dilakukan Nabi Muhammad itu menginspirasi Umar ibn Khattab untuk membuat traktat serupa di Yerusalem, dikenal dengan "Piagam Aelia". Piagam itu berisi jaminan keselamatan dari penguasa Islam terhadap penduduk Yerusalem, yang beragama non-Islam sekalipun.

Salah satu penggalan paragrafnya berbunyi demikian: "Inilah jaminan keamanan yang diberikan Umar, Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakit maupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu".

Fakta-fakta historis di atas sengaja diungkap untuk menunjukkan cara-cara bermartabat para founding fathers agama-agama semitik dalam menyikapi pluralitas agama-keyakinan, etnis, suku, dan sebagainya. Jelas, sebagaimana diteladankan Ibrahim, Nabi Muhammad adalah tokoh yang proaktif mencari solusi konflik dan perselisihan dengan menyelenggarakan dialog lintas suku dan agama.

Cara-cara dialog seperti ini yang sering alpa dari kelompok-kelompok yang melancarkan vonis sesat-menyesatkan kepada yang lain. Tanpa diskusi. Cara penyelesaian seperti itu menyimpang dari tradisi Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad, dan para sahabatnya.

Idul Adha bagi umat Islam adalah momentum untuk meneladani sunnah Nabi Ibrahim.

*Penulis adalah peneliti the WAHID Institute Jakarta.

(Suara Pembaruan, 19/12/2007)

Refleksi Akhir Tahun 2007: Wajah Keberagamaan Kita

Oleh R u m a d i*


Rumadi
TULISAN ini pada dasarnya merupakan refleksi penulis menjelang berakhirnya tahun 2007, terutama menyangkut kehidupan beragama di Indonesia. Hal ini penting dilakukan untuk melihat berbagai peristiwa dan kecenderungan kebebasan beragama sebagai bagian dari penegakan HAM di Indonesia. Dari sinilah akan terlihat sejauhmana komitmen pemerintah untuk menjamin, melindungi dan menegakkan HAM yang terkait dengan kebebasan beragama.

Secara normatif, jaminan terhadap kebebasan beragama di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Dalam UUD 1945 pasal 28e dan 29 memberi jaminan itu. Hal yang sama juga dapat ditemukan dalam pasal 22 (ayat 1 dan 2) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Jaminan yang sama juga terdapat dalam UU No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenan on Civil and Political Right (ICCPR)/ Kovenen Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, terutama pasal 18.

Namun, jaminan normatif dan konstitusional tersebut tidak serta merta menjadi realitas yang bisa dinikmati semua warga negara. Sepanjang tahun 2007, banyak sekali peristiwa-peristiwa keagamaan yang sangat mengganggu jaminan kebebasan beragama. Dalam berbagai peristiwa itu menunjukkan, masyarakat kita belum menunjukkan sikap toleran dan dewasa dalam merespon isu-isu keagamaan. Di pihak lain, pemerintah dengan segala aparatusnya sebagai penjamin kebebasan beragama sering bersikap ambivalen antara menegakkan hukum dan mengikuti selera massa dan elit agama tertentu. Bila kondisi tidak berubah, bukan tidak mungkin tahun depan eskalasi kasus akan meningkat baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Kondisi demikian tentu akan semakin memperburuk citra penegakan HAM di Indonesia.

Sepanjang tahun 2007, setidaknya ada dua isu besar yang layak diangkat, yaitu soal tempat ibadah dan aliran sesat. Pertama, kasus tempat ibadah. Peristiwa tentang tempat ibadah termasuk kasus yang terjadi hampir setiap saat. Bukan hanya sepanjang 2007, tapi jauh sebelumnya sudah sering terjadi. Namun demikian, pemerintah belum berhasil menghentikan kasus-kasus menyangkut tempat ibadah ini.

Model kasusnya juga sangat beragam, mulai dari menghambat perijinan, penutupan paksa tempat ibadah yang dianggap liar, sampai pada tindak kekerasan. dalam catatan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Wali Gereja (KWI), sejak 2004 sampai 2007 terjadi tidak kurang dari 108 penutupan, perusakan dan penyerangan terhadap gereja. Perinciannya adalah tahun 2004 terdapat 30 kasus, 2005 ada 39 kasus, 2006 ada 17 kasus dan 2007 ada 22 kasus. Bila kondisi ini dibiarkan, kelompok minoritas agama akan berada dalam kontrol mayoritas.

Pemerintah memang sudah merevisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 tentang tempat ibadah, yang dianggap bermasalah. Revisi yang terdapat dalam Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006 memang lebih baik dari aturan sebelumnya. Namun dari sisi praktik di lapangan sebenarnya tidak ada kemajuan berarti, bahkan kondisinya bisa lebih buruk. Problem utama dari semua itu adalah tidak adanya ketegasan aparatur pemerintah untuk menegakkan aturan yang telah disepakati, sehingga aparat lebih takut pada kehendak massa daripada mentaati aturan.

Kedua, isu aliran sesat. Isu ini sebenarnya juga bukan isu baru. Sebelum 2007, isu aliran sesat sudah muncul, bahkan tindakan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap sesat juga sering terjadi. Justru sepanjang tahun 2007 ini, berbagai kasus penyesatan mengalami eskalasi luar biasa. Pemerintah juga belum melakukan tindakan signifikan untuk memberi perlindungan terhadap korban kekerasan akibat divonis sesat.

Tidak berlebihan jika dikatakan, sepanjang tahun 2007 disebut sebagai musim penyesatan. Hal ini antara lain ditandai dengan semakin maraknya tuduhan sesat terhadap berbagai kelompok-kelompok yang sebelumnya mungkin tidak terlalu dikenal. Di samping itu, kelompok-kelompok yang sudah divonis sesat sebelum tahun 2007 juga masih terus menjadi perbincangan publik. Sebut saja kasus Ahmadiyah yang hingga kini disusun masih terus mendapat intimidasi dan sasaran tindak kekerasan di berbagai daerah. Bahkan, Ahmadiyah kini menjadi sasaran “pembersihan keyakinan” (belief cleansing). Demikian juga dengan kasus al-Qiyadah yang mencapai puncaknya ketika Ahmad Mushaddeq sebagai pimpinannya menyatakan bertaubat.

Kasus-kasus lain juga secara sporadis terjadi di berbagai daerah yang menimpa kelompok-kelompok yang dianggap sesat. Di Serang Banten beberapa waktu lalu ada pesantren yang dibakar massa karena pimpinannnya diduga menyebarkan aliran sesat (13/12/07), penyesatan dan intimidasi terhadap komunitas Dayak Losarang Indramayu, kelompok p engajian Hidup Dibalik Hidup (HDH) di Cirebon, p enyerangan rumah pimpinan dzikir Asmaul Husna Aljabar di Garut, penyerangan pengikut tarekat Naqsabandiyah di Bulukumba, penyerangan kelompok pengajian Nurul Yaqin di Tangerang, penyerangan komunitas Syiah di Bangil Pasuruan, dan sebagainya.

Kasus penyesatan terhadap aliran keagamaan di berbagai daerah, MUI dalam berbagai tingkatan senantiasa menjadi aktor utamanya. Hampir tidak ada kasus penyesatan yang tidak melibatkan MUI. Kalau arus penyesatan dipandang sebagai ancaman terhadap hak asasi manusia dan kebebasan beragama, maka MUI –suka atau tidak- menjadi bagian dari ancaman tersebut. Memang, tidak semua eksponen MUI mempunyai pikiran seperti ini, namun tren MUI menjadi “polisi agama” menguat dimana-mana. Hal ini menandai dua hal sekaligus. Di satu sisi hal ini bisa dibaca sebagai pertanda bahwa MUI menjadi institusi keagamaan yang semakin “bergigi”, dan di sisi lain hal ini juga pertanda menguatnya kelompok intoleran dalam MUI.

Syahwat MUI untuk melakukan belief cleansing yang dianggap sesat diperkuat dengan keluarnya sepuluh panduan untuk mengeidentifikasi kelompok sesat. Panduan ini secara nyata telah menjadi alat untuk menteror aktifitas keagamaan kelompok minoritas. Akibat yang paling mungkin muncul dari panduan penyesatan MUI adalah munculnya “polisi swasta” dalam masyarakat yang akan dengan mudah mengklaim sesat terhadap kelompok lain. Hal demikian jelas sangat potensial untuk menciptakan keresahan baru dalam kehidupan masyarakat. Kata “sesat” juga akan menjadi alat komunikasi baru baru dalam masyarakat yang jelas sangat tidak mendidik, karena kata “sesat” sebenarnya merupakan alat komunikasi kekerasan.

Hal yang agak mengagetkan justru pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyona ketika membuka Rekarnas MUI yang menyatakan akan mengikuti fatwa-fatwa MUI, termasuk dalam hal pemberantasan aliran sesat. Hal ini sebenarnya cukup ironis karena panduan kerja seorang presiden adalah konstitusi dan undang-undang, bukan fatwa MUI. Pernyataan presiden tersebut mengindikasikan betapa ia merasa inferior ketika berhadapan dengan MUI.

Jika dibandingkan tahun 2006, tahun 2007 kondisi kebebasan beragama kita jauh lebih buruk. Jika tahun 2006 masih dipulihkannya hak-hak sipil pengikut agama Konghucu, tahun 2007 nyaris tidak kemajuan yang bisa dicatat. Yang muncul justru peristiwa-peristiwa yang secara nyata mengancam kebebesan beragama dan berkeyakinan yang sudah dijamin konstitusi.

Kondisi demikian tentu tidak bisa dibiarkan terus menerus. Aparatus negara seharusnya profesional dengan bertindak sebagai pelindung untuk menjamin hak-hak dasar warga negara. Karena itu, pelaku tindak kekerasan tidak boleh dibiarkan. Aparat kemanan harus bertindak lebih tegas kepada kelompok-kelompok penyerang, tidak justru mengorbankan korban. Fungsi aparat pemerintah untuk melindungi warga negara harus menjadi landasan kerja secara profesional. Aparat tidak boleh melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi kekerasan yang dilakukan siapapun dan atas nama apapun.[]

*Penulis Pemimpin Redaksi "Monthly Report on Religious Issues” The Wahid Institute Jakarta


spacer

Memastikan Kedaulatan Rakyat

Oleh Rocky GerungRocky Gerung*
Tahukah negara di mana alamat "Surga" dan berapa nomor telepon "Neraka"? Berhakkah negara menentukan "akhirat" seseorang? Berbagai forum evaluasi akhir tahun 2007 tentang kebebasan beragama di negeri ini tiba pada kesimpulan yang sama: Negara gagal melindungi hak warga negara menjalankan agama/kepercayaannya!

Mengapa pemerintah lalai melindungi warganya? Apakah di negeri ini ada dua jenis warga negara? Ada warga negara yang "benar" dan ada yang "sesat"?

Pasal 28E UUD 1945 secara tegas menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama, beribadat menurut agamanya, dan meyakini kepercayaannya. Kita juga telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik PBB sehingga menjadi hukum positif kita. Pasal 18 Ayat 2 Kovenan itu berbunyi: "Tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya."

Urusan hati nurani
Prinsip-prinsip kebebasan beragama/kepercayaan itu sebetulnya sudah kita tuntaskan dalam debat-debat penyusunan UUD di masa lalu, yaitu ketika kita memilih untuk menjalankan negara ini dengan prinsip "kedaulatan rakyat". Kita tidak memilih kedaulatan "Tuhan" karena kita tidak ingin menjadikan "hal yang amat tinggi" itu diturunkan dan direndahkan dalam pertengkaran politik. Tuhan (dan ayat sucinya) adalah urusan hati nurani, bukan urusan negara.

Filosofinya terang-benderang: di dalam politik segala sesuatu harus dapat diuji dan dipersaingkan, sedangkan tentang Tuhan tak seorang pun sanggup mengujinya. Itulah sebabnya politik berubah secara periodik, tetapi kita tidak mungkin menyelenggarakan pilkada untuk memilih Tuhan. Tidak ada kontestasi untuk Tuhan karena kedaulatan Tuhan abadi dalam nurani pemeluknya. Prinsip inilah yang disebut pandangan sekuler.

Pandangan sekuler bukan pandangan anti-agama. Justru demi menghormati status "suci", "mulia", dan "misteri" dari Tuhan, negara tidak boleh merasa tahu tentang hati nurani warganya. Dengan kata lain, negara tidak boleh berpendapat tentang "isi ajaran" suatu agama/kepercayaan. Tugas negara hanyalah menjamin "hak meyakini" suatu agama/kepercayaan sebagai hak asasi dan tidak boleh ikut campur dalam soal doktrin atau isi keyakinan itu.

Jika isi ajaran suatu agama menimbulkan gangguan ketertiban umum, negara hanya boleh mengadili peristiwa kekerasan itu sebagai suatu tindak pidana dan bukan mengadili isi ajarannya. Jika seseorang menghina agama lain, ia diadili atas alasan penghinaan melalui pengadilan dan bukan berdasarkan fatwa suatu lembaga.

Negara wajib memisahkan keyakinan teologis seseorang dengan perilaku hukumnya. Orang hanya dihukum karena suatu delik dan bukan karena keyakinan religiusnya. Suci tidaknya warga negara, benar-sesatnya suatu agama, bukan wilayah kerja negara. Apakah hidup seseorang berakhir di surga atau neraka, tidak dapat ditentukan dari sekarang. Hati nurani orang adalah sesuatu yang harus dihormati negara.

Bagaimana negara harus melayani keragaman agama dan kepercayaan warganya? Negara tidak berwenang menentukan jumlah agama. Karena dengan membatasi jumlah agama, negara telah bertindak diskriminatif dengan membedakan antara "warga negara yang beragama resmi" dan "warga negara yang tidak beragama resmi". Apalagi bila pembedaan itu menjadi ekstrem antara "warga negara yang beragama" dan "warga negara yang tidak beragama". Negara hanya boleh membedakan warga negara atas satu alasan: bertindak kriminal atau tidak. Jadi, hanya ada dua jenis warga negara: "yang taat hukum" dan "yang melanggar hukum".

Negara wajib membedakan antara koruptor dan pembayar pajak, antara perusak harta benda orang dan pewarta demokrasi. Tapi, negara tidak boleh membedakan warga negara berdasarkan banyaknya jumlah penganut agama. Bukankah sebelum para tamu pembawa agama-agama besar tiba di Nusantara sudah bermukim terlebih dahulu berbagai agama asli sang tuan rumah? Karena itu, tidaklah layak bila negara justru mendukung klasifikasi baru antara mayoritas-minoritas, dengan berbagai akibat diskriminatifnya secara sosial dan administratif.

Pelajaran toleransi
Memilih demokrasi berarti menghitung orang semata-mata dari titik pusat konstitusi dan bukan dengan ukuran-ukuran adikodrati. Bahkan untuk menyeimbangkan distribusi hak-hak sosial-politik, negara secara deliberatif harus melindungi mereka yang "minoritas" dan "marjinal" agar mereka tidak terhalang oleh statusnya itu untuk memperoleh akses ke dalam kehidupan publik yang normal. Negara melindungi golongan ini bukan karena mereka minoritas dalam agamanya, tapi karena kondisi minoritasnya secara sosial itu dapat menyebabkan mereka tertinggal dalam pencapaian keadilan sosial-politik.

Kegagapan pemerintah mengucapkan ketegasan dalam soal-soal di atas justru menjadi peluang bagus bagi para perusak toleransi untuk menggagalkan upaya konsolidasi demokrasi. Memang ada situasi global yang ikut melatari pendalaman fanatisme di dalam negeri. Begitu juga obsesi-obsesi politik identitas masih kuat mengendap dalam pikiran sebagian elite. Tetapi, pilihannya adalah menolerir intoleransi atau bergerak dalam garis lurus kemajemukan.

Kita telah memilih sebuah Indonesia yang majemuk. Dan memang, hanya dalam kondisi itu kita dapat melanjutkan kemanusiaan yang maha esa dan mempraktikkan ketuhanan yang adil dan beradab.

*Pengajar Filsafat FIB-UI, Pendiri SETARA Institute

(Kompas, 3/1/2008)

Uji Kelayakan Lembaga Fatwa

Guntur Romli

Oleh Mohamad Guntur Romli*
Apa kriteria sebuah lembaga fatwa (dârul iftâ') agar bisa dipercaya? Dalam kitab Lisan al-Arab karya Ibn Mandzur, fatwa memiliki beberapa makna. Yang terpenting: fatwa berarti penjelasan atas persoalan yang musykil dan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

Selanjutnya, ulama fikih membangun terminologi fatwa, yang saya sarikan dari pendapat Ibn Hamadan dalam kitab Al-Furuq, bahwa fatwa adalah penjelasan dan pemberitahuan tentang hukum syariat tanpa ikatan kemestian--tabyîn al-hukm al-syar'i wal ikhbar bihi duna ilzâm. Dari terminologi ini, fatwa adalah penjelasan dan pemahaman, maqam-nya bukan maqam syariat, dan perlu batas yang tegas antara fatwa dan hukum syariat.

Yang lebih penting lagi dari penjelasan tentang fatwa tersebut bahwa fatwa dari seseorang atau lembaga tidak mesti diikuti, tak ada keharusan untuk menjalankan sebuah fatwa. Kesimpulan yang bisa ditarik: sifat fatwa tidak mengikat, karena ia hanyalah penjelasan, kadarnya jauh di bawah hukum syariat. Hukum fatwa tidak mutlak sebagaimana hukum syariat.

Jarak antara syariat dan pendapat ini sangat disadari oleh para imam pendiri empat mazhab yang terkenal dalam fikih: Imam Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hanbali. Menurut Imam Hanafi, "Tak seorang pun boleh mengambil pendapat kami, tanpa mengetahui asal-usul pendapat kami." Imam Maliki berujar, "Aku manusia biasa, bisa benar dan salah, maka telaahlah pendapatku." Imam Syafi'i menegaskan, "Jika Anda menemukan dalam kitabku yang bertentangan dengan sunah, ikutilah sunah dan tanggalkan pendapatku." Imam Hanbali menyimpulkan, "Jangan bertaklid padaku atau pada Maliki, Syafi'i, Awza'i, atau Tsauri, ambillah asal-usul pendapat mereka."

Para "imam-mazhab" itu sangat menyadari keterbatasan ijtihad manusiawi dan adanya batas di antara dua wilayah: syariat dan pendapat, serta iktikad untuk menggerus kerak fanatisme yang acap kali menutupi akal sehat umat.

Fatwa juga tidak bisa menjadi hukum publik. Dikisahkan dalam kitab Siyar A'lâm Nubalâ' (Biografi Para Tokoh yang Mulia), ketika seorang khalifah Bani Abbasiyah meminta Imam Malik menjadikan kitabnya, Al-Muwaththa', menjadi hukum negara, dan menggantungkannya di Ka'bah, dengan tegas Imam Malik menolak.

Pun sebuah fatwa harus dikeluarkan dengan penuh hati-hati. Fatwa tak bisa dilontarkan secara amat mudah (al-tasâhul): tak semua pertanyaan dibutuhkan fatwa, tak harus menjawab seluruh pertanyaan gara-gara menjaga gengsi. Menjawab semua pertanyaan adalah kegilaan. Dari hadis riwayat Al-Baihaqi, "Barang siapa yang menjawab seluruh pertanyaan dari manusia, berarti dia majnun. Singkatnya, mudah berfatwa hanya dilakukan oleh orang gila."

Dengan demikian, para ulama fikih klasik yang memperbincangkan tema ini tidak memisahkan antara pentingnya fatwa sekaligus risiko dan dampak dari fatwa. Bagi mereka, ulama sebagai ahli waris para nabi (waratsatul anbiyâ') memiliki posisi yang penting untuk melayani permintaan dan menjawab pertanyaan umat.

Namun, risikonya jauh lebih besar. Dari hadis yang diriwayatkan oleh Al-Darami, misalnya, "Orang yang paling berani berfatwa di antara kalian berarti ia paling berani masuk neraka." Karena itulah, fatwa hanya berasal dari mereka yang memiliki bekal ilmu pengetahuan yang lebih. Bagi mereka yang berfatwa--dalam beberapa riwayat hadis disebutkan "tanpa ilmu"--diancam hukuman berlapis-lapis: "dilaknat malaikat langit dan bumi", "didudukkan di atas api neraka", dan "menanggung dosa dari manusia yang mengikuti fatwanya".

Namun, yang terjadi saat ini bertolak belakang. Dalam konteks politik, fatwa kekinian yang sering dimunculkan hanyalah doktrin bahwa ulama ahli waris nabi, sedangkan kewajiban dan kriterianya dibenamkan dalam-dalam. Padahal Nabi Muhammad diakui sebagai nabi karena memiliki kriteria kenabian, yang membedakan dia dengan mereka yang hanya mengaku-ngaku nabi. Secara otomatis, bagi mereka yang ingin dianggap sebagai ahli waris nabi, tentu saja harus memiliki kriteria. Bila tidak, mereka hanya mengaku-ngaku ahli waris nabi.

Percakapan tentang kriteria ulama yang mampu berfatwa inilah yang raib dari percakapan publik. Maka tak mengherankan bila fatwa malah menimbulkan kekacauan. Dalam kondisi ini, perlu ada pembenahan yang harus dilakukan dimulai dari pemerintah. Dalam sepanjang sejarah, sebuah majelis fatwa tak terpisah dari kekuasaan.

Dalam pengantar kitab Al-Majmû' karya Imam Al-Nawawi, ditegaskan: pemerintah memiliki kewajiban menyeleksi para mufti, bila layak, ditetapkan, bila tidak, mesti diturunkan. Dalam istilah sekarang, seorang mufti harus melewati uji kelayakan. Sayangnya, hal ini tidak terjadi di negeri ini. Dalam kitab ini juga diceritakan bahwa Imam Malik tidak pernah berani berfatwa kecuali setelah ada 70 orang yang memberi kesaksian bahwa ia layak berfatwa.

Semestinya uji kelayakan ini diterapkan pada sebuah lembaga fatwa di mana pun, termasuk di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia perlu melewati uji kelayakan, karena MUI hasil bentukan pemerintah sebagai alat kepentingan Orde Baru, sehingga memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan pemerintah, baik dari sisi sejarah maupun donor dana. Dan uji kelayakan terhadap MUI ini juga bertujuan menjaga martabat dan integritas organisasi itu.

Prediksi ke depan, menurut saya, akan sangat mudah kalau hanya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa fatwa adalah pendapat tentang hukum syariat, bukan syariat itu sendiri. Sifat fatwa tidak mutlak dan tak mesti dituruti, mengingat masyarakat di negeri kita pun sangat mengenal keragaman fatwa. Karena itu, tak layak apabila fatwa dijadikan penghakiman berlebihan terhadap orang lain atau fatwa dipandang dengan penuh fanatik, apalagi dijadikan dalih sebagai kekerasan terhadap pihak lain.

Para penegak hukum di negeri ini semestinya berpegang teguh pada konstitusi negeri ini, bukan pada fatwa-fatwa keagamaan itu, yang sifatnya sama sekali tidak mengikat. Konstitusi kita menjamin kebebasan dan keragaman beragama di negeri ini. Maka jangan pedulikan, bahkan lemparkan jauh-jauh, fatwa yang menolak keragaman itu.

Namun, langkah yang terberat, dan mungkin sebuah misi yang mustahil, melakukan pembenahan dalam organisasi fatwa, terutama menggelar ujian kelayakan bagi para mufti itu. Sebab, ketika fatwa mereka dikritik dan dipertanyakan kelayakannya karena lebih banyak menimbulkan mafsadah daripada maslahah-- dengan munculnya kekacauan di mana-mana--mereka akan balik mendamprat, "Kami ahli waris para nabi."

*Penulis adalah Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo

(Koran Tempo, Ju’mat, 18 Januari 2008)

Nasr Abu Zayd: Half-Indonesian, Half-Egyptian



Oleh Sunarwoto*

’Indonesia is the biggest Muslim population country in the entire Muslim world. My first visit in the year 2004 was a great success. During this visit I coined the expression “Smiling Islam”, to position the Indonesian Islam next to the Middle Eastern or the Arab World Islam. I would like to present my second visit last month and make a comparison with the first one. The aim is to explain and understand the situation in this country as an example of a possible change that has occurred in the world of Islam in a very complicated global context. The possibilities as well as the difficulties of developing a multicultural, pluralistic, democratic and open version of Islam, supporting human rights, will be the focus of my presentation’.

(Nasr Abu Zayd)

November 2007 lalu, Nasr Abu Zayd, pemikir Muslim Mesir, mengunjungi Indonesia untuk yang kedua kalinya. Kunjungan itu adalah dalam rangka menghadiri konferensi bertajuk Muslim Intellectual as Agents of Change yang diselenggarakan di Malang atas kerjasama Departemen Agama RI dan Universitas Leiden, Belanda. Aksiden pun terjadi. MUI Riau menolak kehadirannya di Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII, Rabu malam 21 November di hotel Syahid Pekan Baru. Abu Zayd juga dilarang menjadi pembicara pada konferensi di Malang tersebut (27/11/2007), karena Departemen Agama mendapat tekanan dari pihak yang menamakan diri masyarakat dan organisasi Islam.

GD Abu Zaid

Untuk merefleksikan peristiwa itu, Jumat Malam 11 Januari, Abu Zayd berbicara dalam sebuah diskusi private yang diadakan oleh Centre of Initiatives of Change, sebuah NGO yang bermarkas di Amaliastraat 10, Den Haag, Belanda. Dalam diskusi bertajuk “ The possibilities as well as the difficulties of developing a multicultural, pluralistic, democratic and open version of Islam, supporting human rights ” ini, dia berbincang secara khusus soal pencekalannya di Indonesia November lalu. Dalam orasi tanpa makalah berjudul REVISITING INDONESIA itu (hanya dengan bantuan powerpoint), Abu Zayd mengungkapkan kesannya selama beberapa kali kunjungannya ke Indonesia, sejak 2004-2007. Banyak peristiwa mengesankan yang dia paparkan, mulai dari kunjungannya di Pesantren Sukorejo Situbondo pimpinan KH Fawaid, bincang-bincangnya dengan Gus Dur (baik di WI maupun di RSCM, memberi kuliah di LKIS, Wahid Institute, UIN Jakarta, ICIP, hingga kegagalannya hadir di Malang November lalu.

Kunjungan Pertama
Seperti terbaca dari petikan di atas, kunjungan pertama Abu Zayd ke Indonesia membuahkan kesan “Smiling Islam” , Islam yang ramah, toleran dan terbuka. Hal ini bisa dilihat, di antaranya, pada kunjungannya ke Pesantren Salafiyah Safi‘iyah Sukorejo Jawa Timur. Di pesantren asuhan KH Fawaid ini, Mafhûm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya Abu Zayd masuk ke dalam kurikulum Ma‘had ‘Âlî. Buku ini mencoba mendekonstruksi studi-studi al-Qur’an konvensional dalam perspektif kritik linguistik (manhaj lughawî) dan sastra (manhaj adabî). Di antara hasilnya adalah konsep teks (mafhûm al-nass) al-Quran yang kemudian memicu kontroversi. Dikatakan di dalamnya bahwa al-Quran adalah produk budaya ( muntaj thaqâ fî), yakni sebagai wahyu yang diturunkan dalam bahasa manusia, bahasa Arab. Namun al-Quran, bagi Abu Zayd, sekaligus adalah produsen budaya ( muntij thaqâ fî). Artinya, meski diturunkan dalam bahasa manusia, tapi al-Quran mengandung pesan ilahi (wahyu) yang mampu mengubah peradaban dunia. Sebenarnya istilah produk dan produsen itu hanyalah digunakan menjelaskan bagaimana proses wahyu al-Quran yang kita baca, yakni mushaf, itu kita terima. Ada proses keterbentukan ( takawwun) wahyu menjadi bahasa manusia (yakni bahasa Arab [ lisâ nan ‘arabîyan]) yang bisa dipahami dan untuk dipahami. Namun, bagi Abu Zayd, al-Quran juga bersumber dari Allah yang memiliki kekuatan dahsyat, yakni mengubah dunia. Itulah proses takwî n (pembentukan budaya) atau muntij thaqâ fî (produsen budaya).

GD Abu Zaid

Di pesantren itu Abu Zayd juga melihat kontras antara tradisionalisme pesantren dan sikap liberalnya. Di satu sisi mereka, para santri, masih mengikuti tradisi cium tangan, membawakan buku sang kyai (termasuk terhadap Abu Zayd juga), demi barakah. Di sisi lain, mereka bersikap kritis para santri. Hal seperti ini dia baca dari sebuah foto demonstrasi siswa di pesantren tersebut. Abu Zayd kagum atas gagasan bahwa poligami bukan ajaran Islam yang dikemukakan KH Fawaid dan para ustad di pesantren itu.

Kunjungan Kedua
Saya yang kebetulan berangkat bareng Abu Zayd sempat berbincang soal kesannya tentang Islam di Indonesia yang dari awal dia sebut Smiling Islam. Dengan bangga, dia tetap mengatakan sebutan itu masih layak buat Islam di Indonesia. Ini pula ditegaskan dalam diskusi tersebut. Dia tidak menegasikan bahwa pengusirannya November lalu merupakan sisi kelam Islam Indonesia. Peristiwa itu membuktikan betapa kuat posisi agama mengintervensi negara. Dalam konfrensi yang digelar di Wahid Institute, Abu Zayd mengungkap kekhawatirannya

Namun toh, dibanding Timur Tengah, menurut Abu Zayd, Islam Indonesia jauh lebih baik kondisinya. Dia terkesan dengan dukungan yang segera (immediate support) yang diberikan berbagai kalangan terhadap dirinya. Di Timur Tengah, pemikir semisal dirinya tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hit back terhadap pihak-pihak yang berseberangan. Baginya, atmosfer dialog di Indonesia lebih sehat. Dukungan mengalir dari berbagai kalangan termasuk Wahid Institute dan kalangan muda yang kritis. Dia kagum akan Gus Dur yang berani melawan konservatisme ulama demi demokrasi dan kebebasan beragama. Sebagaimana kita tahu, batal hadir di konferensi Malang, Abu Zayd diundang diskusi oleh LKiS Yogyakarta. Acara yang tidak direncanakan sebelumnya itu menarik antusiasme besar para hadirin. Mereka kaum muda yang kritis, tegasnya.

Menanggapi kritikan-kritikan sebagian Muslim Indonesia selama ini, dia mengatakan adanya often-repeated questions, yakni menyangkut tuduhan dirinya sebagai agen orientalis atau Zionis, pemikir liberal, dan bertentangan dengan ajaran Ahlussunnah. Bagi Abu Zayd, Islam bukan hanya urusan umat Islam tetapi juga urusan Barat karena umat Islam kini telah tersebar tidak hanya di negara-negara Muslim tetapi juga di Barat. Dalam konteks itulah menjadi tidak relevan memisahkan Islam dan Barat. Terhadap cap pemikir liberal, Abu Zayd mengatakan bahwa justru liberalisme pemikiran dari kejumudan adalah penting. Sedangkan soal bertentangan dengan Ahlussunah, dia mengatakan bahwa Ahlussunnah sedari awal masa-masa awal Islam adalah persoalan politik. Karena itulah bukan persoalan yang tak boleh dikritisi.

Salah satu pertanyaan yang mengemuka dalam diskusi di Den Haag tersebut adalah soal menguatnya fundamentalisme dan ekstremisme di berbagai dunia Islam. Menjawab pertanyaan ini, Abu Zayd menengaskan bahwa pendidikan merupakan elemen terpenting untuk mengembangkan demokrasi dan juga menampik kekuatan fundamentalisme dan ekstremisme.

Abu Zayd masih berharap masa depan cerah Islam Indonesia. Perkenalannya dengan Indonesia mengantarkan pada pernyataan: I am half-Indonesian, half-Egyptian (jiwanya separuh Indonesia separuh Mesir). Dia bahkan menyatakan bahwa seandainya dia diberi pilihan tempat buat sisa hidupnya, dia ingin tinggal dan mati di Indonesia. Tentulah pernyataan ini terkesan berlebihan mengingat persentuhan dan perkenalannya dengan Indonesia tidak terlalu lama, yakni sejak pengasingannya di Belanda 1995. Secara terpisah, kepada saya dan beberapa teman program Islamic Studies, Abu Zayd menyatakan memilih Yogjakarta, Ini semua tak lain karena keterbukaan iklim intelektual dan demokrasi yang lebih kondusif.[]

Sunarwoto. LulusanTafsir-Hadis IAIN Yogyakarta. Menulis skripsi tentang Abu Zayd dan menerjemah (bersama M Shohibuddin) karyanya, Teks, Otoritas, Kebenaran , LKiS, 2003. Kini dia menjadi peserta program The Indonesian Young Leaders (IYL) dan mahasiswa Islamic Studies, Faculty of Arts, Leiden University.

Surat untuk KH. Ma’ruf Amin

dari Uli Abshar Abdalla*

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Beberapa waktu lalu, KH. Ma'ruf Amin menyatakan bahwa NU harus dibersihkan dari pemikiran Islam liberal.

Memang, arus "puritanisasi" dalam NU sekarang ini sedang berkembang, seturut dengan perkembangan serupa yang juga berlangsung di luar. Gejala puritanisasi NU hanyalah gema dari gejala lebih luas yang berkembang di masyarakat Islam Indonesia saat ini.

Apakah pemikiran Islam liberal bisa "diberangus", entah dari dalam NU sendiri, atau dari "Islam Indonesia" secara keseluruhan?

Bagi KH. Ma'ruf Amin mungkin pertanyaan ini tak terlalu penting. Buat dia, yang penting adalah usaha memberangus dan membersihkan NU dari liberalisme pemikiran. Adapun berhasil atau tidak, itu tergantung kepada yang di "Atas".

Tetapi, sebagai bahan diskusi, saya sengaja melontarkan pertanyaan ini.

Tidak seperti disangka banyak orang, pemikiran Islam liberal sama sekali tak bisa disamakan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), meskipun lembaga terakhir ini membawa gagasan-gagasan Islam liberal.

Islam liberal lebih baik dedefinisikan sebagai "mazhab pemikiran", atau "manhaj al-fikr". Tetapi, kata "mazhab" pun sebetulnya kurang tepat, sebab istilah itu mengandaikan adanya suatu keseragaman serta metodologi yang jelas. Dalam pemikiran Islam liberal, terdapat perbedaan pandangan yang sangat signifikan mengenai beberapa isu. Meskipun demikian, ada sejumlah titik temu dalam beberapa hal.

Sebagai mazhab pemikiran, Islam liberal tidak secara langsung kontradiktoris dengan arus-arus pemikiran yang lain. Seseorang bisa menganut mazhab pemikiran ini, seraya tetap menjadi seorang Syafii atau Asya'riyah, atau tetap berada dalam tradisi NU atau Muhammadiyah. Seseorang juga bisa berhaluan Islam liberal, seraya tetap menjadi seorang Shi'ah yang taat (contoh yang paling baik adalah Dr. Abdulkarim Soroush).

Sudah tentu, menggabungkan antara wawasan Islam liberal dengan ke-sunni-an atau ke-syi'ah-an, bisa menimbulkan penentangan dari dalam tradisi itu sendiri. Ini terjadi baik di kalangan Sunni atau Syi'ah sendiri.

Sebagai mazhab pemikiran, Islam liberal tidak "mengendap" dalam satu organisasi, tetapi bisa masuk ke mana saja. Sebuah gagasan atau seperti udara: ia bisa masuk ke ruang manapun, dan bebas dihirup oleh siapapun yang hendak menghirupnya.

Oleh karena itu, mazhab atau, kalau istilah ini terlalu "tertutup", wawasan Islam liberal masuk ke ormas Islam manapun: NU, Muhamadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan bahkan MUI sendiri. Lebih ekstrim lagi, wawasan ini bahkan, diam-diam, tanpa disadari bisa juga masuk ke dalam "diri" KH. Ma'ruf Amin sendiri.

Mendefinisikan Islam liberal sangat tidak mudah. Saya sendiri, sebagai "pelaku" dari gagasan ini, juga sulit mendefinisikannya. Sebetulnya, ini lumrah saja. Gagasan adalah sesuatu yang sifatnya "fluid", cair.

Apa yang disebut sebagai "Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah" (Aswaja) sebetulnya tidak sedefintif seperti yang disangka banyak orang. Apakah ciri-ciri ""Aswaja", bisa diperdebatkan panjang lebar, dan masing-masing orang bisa membawa wawasan yang berbeda-beda. Aswaja versi NU tentu beda dengan versi Lasykar Jihad atau kaum salafi. Begitu juga Aswaja versi KH. Ma'ruf Amin juga beda dengan KA. Said Aqil Siradj, dan seterusnya.

M'aruf Amin dan MUI, kalau tak salah, mencoba mendefinisikan Islam liberal secara longgar sebagai cara berpikir yang mendahulukan akal ketimbang teks. Definisi sangat longgar dan masih bisa diperdebatkan. Oleh segolongan Islam tertentu, NU bisa dikategorikan mendahulukan akal atau tradisi (lokal) ketimbang teks agama. Dalam debat soal asas tunggal dulu, sikap KH. Ahmad Shiddiq dan Gus Dur yang mau menerima asas tunggal dianggap sebagai kafir, karena melawan teks ajaran agama. Di mata Hizbut Tahrir pun, sikap NU yang menolak negara khilafah juga bisa dianggap mendahulukan akal dan tradisi ketimbang teks agama.

Tambahan pula, apakah benar bahwa pemikir Islam liberal mendahulukan akal ketimbang teks? Saya sendiri tak mempercayai kleim seperti ini. Tidak mungkin seorang Muslim, atau tepatnya semua pemeluk agama, meninggalkan teks Kitab Suci. Nasr Hamid Abu Zaid dikenal dengan pernyataannya bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks (hadharat al-nass). Pernyataan Abu Zaid ini bukan semacam kritik, tetapi deskripsi. Dengan kata lain, secara empiris, memang tidak mungkin seorang Muslim atau pemeluk agama manapun meninggalkan teks fondasional (al-nass al-mu'assis) yang menjadi dasar dari tradisi agama.

Jika seseorang mengatakan bahwa poligami adalah haram, apakah orang itu bisa disebut meninggalkan teks? Menurut saya, sama sekali tidak. Yang tepat adalah bahwa orang itu meninggalkan satu teks, seraya berpegangan pada teks lain. Ketika sekte Asy'ariyah yang diikuti oleh NU mengatakan bahwa Tuhan bisa dilihat dengan mata fisik manusia, maka ini pun bisa disebut sebagai "meninggalkan" teks (la tudrikuhu al-abshar wa huwa yudriku al-abshar"; teks Mu'tazilah), tetapi sekaligus berpegangan pada teks lain (wujuhun yauma'izin nadhirah, ila rabbiha nadzirah).

Jadi, definisi MUI mengenai Islam liberal itu sama sekali tak bisa dipegang, dan bisa dipakai untuk balik menyerang MUI atau NU sendiri. Definisi ini juga hanya menimbulkan kebingungan saja.

Memang harus diakui bahwa munculnya gagasan Islam liberal menimbulkan "iritasi" dan gangguan pada doktrin yang telah mapan. Kalangan tua sudah pasti tak menyukai gagasan ini. Tetapi, gagasan ini sulit dihindari, karena dinamika internal yang berlangsung dalam tubuh umat Islam sendiri, terutama dalam tubuh NU.

Anak-anak NU yang jumlahnya jutaan saat ini berbondong-bondong melanjutkan studi di IAIN dan perguruan tinggi umum. Sudah tentu, di sana mereka akan mempelajari filsafat, ilmu dan gagasan-gagasan baru. Karakter perguruan tinggi sangat beda dengan pesantren di mana otoritas kiai memegang peran penuh sehingga bisa mengontrol pemikiran murid. Di perguruan tinggi, seorang mahasiswa mendapatkan kesempatan yang luas untuk menjelajah ide yang bermacam-macam. Konsekwensinya, anak-anak muda Islam ini, termasuk anak-anak NU, akan membangun suatu pemahaman keislaman dan kesunnian yang berbeda dengan generasi tua.

Anak-anak NU yang belajar di Timur Tengah (Timteng) pun akan mengalami hal yang sama. Setelah berada di Timteng, mereka akan mendapatkan bahan bacaan yang beragama. Belum tentu pemahaman kesunnian yang mereka dapat di pesantren atau NU dulu akan sama dengan bacaan-bacaan baru yang mereka peroleh. Setelah mereka pulang, mereka tentu akan mengemukakan pemahaman yang berbeda dengan tradisi yang sudah ada.

Belum lagi jika diperhitungkan anak-anak muda NU yang belajar di perguruan tinggi umum atau di Barat. Mereka akan bersinggungan dengan literatur yang sama sekali berbeda.

Kenyataan-kenyataan ini akan dengan sendirinya membawa perubahan-perubahan yang tak terhindarkan (al-taghayyur al-muhattam) dalam tradisi keislaman, kesunnian dan ke-NU-an itu sendiri. Jika perubahan-perubahan ini hindak dihindarkan sama sekali, maka cara terbaik adalah menghentikan secara total anak-anak NU yang ingin belajar di perguruan tinggi, dan mengurung mereka di pesantren. Tentu opsi ini adalah opsi totaliter yang mustahil ditempuh. Tak mungkin kita mencegah keragaman bidang-bidang studi yang dimasuki oleh anak-anak NU; keragaman yang akhirnya juga menimbulkan keragaman cara pandang dan penafsiran.

Oleh karena itu, pernyataan KH. Ma'ruf Amin yang hendak "membersihkan" NU dari unsur-unsur liberal saya pandang sebagai pernyataan yang tak layak dikemukakan oleh petinggi NU. Pernyataan ini hanya layak dikatakan oleh orang-orang Islam radikal seperti Abu Bakar Ba'asyir. Saya yakin "mutu keilmuan" KH. Ma'ruf Amin jauh lebih baik ketimbang Ba'asyir.

Saya menghendaki bahwa NU saat ini bisa menjadi "kaldron" yang dapat menampung segala bentuk keragaman pendapat dan penafsiran Islam. Peta sosiologis anak-anak muda NU saat ini memeperlihatkan bahwa mereka menempuh pendidikan yang sangat beragam yang dengan sendirinya akan membawa perubahan-perubahan dalam cara anak-anak muda NU melihat tradisi kesunnian dan ke-NU-an. Ini adalah gerak alam yang tak mungkin dicegah.

Jika "logika" yang dipakai oleh NU adalah "membersihkan", bukan membuka dialog, maka NU akan kehilangan kesempatan besar untuk menjadi wadah pengolahan ide-ide Islam yang kreatif.

Akhir-akhir ini, saya mendengar sejumlah kiai yang resah karena pemikiran anak-anak muda NU yang dianggap "liar" dan keluar dari tradisi Aswaja. Tetapi, yang mengherankan saya adalah bahwa dari pihak NU sendiri jarang ada usaha untuk memfasilitasi keragaman pendapat ini. Yang muncul malah wacana "pembersihan". Wacana ini hanya akan membuat NU teralienasi dari basis sosialnya di kalangan anak-anak muda yang mulai bergairah untuk bereksperimen dengan gagasan-gagasan baru.

Saya masih bangga menjadi orang NU karena inilah organisasi yang melahirkan orang-orang seperti Gus Dur yang membawa angin segar dalam pemikiran keislaman. Jika warisan Gus Dur pudar sama sekali, dan kemudian yang tersisa adalah wacana "pembersihan" seperti yang diutarakan oleh KH. Ma'ruf Amin ini, maka saya khawatir pelan-pelan NU akan meniru gaya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) atau ormas-ormas "radikal" lain.

Saya khawatir...

Wassalam,

Ulil A. Abdalla
Department of Near Eastern Languages and Civilizations Harvard University.

Nasionalisme dan Politik Islam

Oleh Abdurrahman Wahid

Tempo Beberapa waktu lalu penulis artikel ini ditanya orang. Apakah yang akan terjadi dengan gerakan- gerakan politik Islam di negeri kita? Penulis artikel ini menyebutkan apa yang dinyatakan Soetrisno Bachir dari Partai Amanat Nasional (PAN) tentang hal ini.

Dia menyebutkan bahwa berdasarkan hasil-hasil survei belakangan, organisasi sektarian akan semakin kurang diminati orang dalam pemilu yang akan datang. Karena itu, PAN sudah menentukan akan mengambil dasar-dasar nonsektarian dalam kiprahnya. Ini adalah kenyataan lapangan yang tidak dapat dibantah. Hal tersebut memperkuat kesimpulan penulis artikel ini bahwa memang mayoritas para pemilih dalam pemilu di negeri kita tidak mau bersikap sektarian.

Penulis artikel ini sendiri sudah tidak mengakui klaim bahwa mayoritas penduduk berpikir sektarian. Nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sendiri menunjukkan hal itu. Bagaimana penulis sampai pada kesimpulan tersebut? Karena penulis setia melihat kenyataan, yaitu bahwa Nahdlatul Ulama (NU) memang tidak lagi “menawarkan diri” kepada publik sebagai organisasi sektarian. Walaupun sejak semula ia menggunakan bahasa Arab, NU senantiasa merujuk kepada hal-hal nonsektarian. Contohnya pada 1918 ia menamakan diri “Nahdlatu al-Tujjar (kebangkitan kaum pedagang)”, sama sekali tidak digunakan kata Islam.

Begitu juga pada 1922, ketika para ulama itu mendirikan sebuah kelompok diskusi di Surabaya dengan nama Tasywir al- Afkar (konseptualisasi pemikiran). Tahun 1924, didirikanlah madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Pada 1957, NU mengadakan musyawarah nasional alim ulama di Medan yang menghasilkan rumusan tentang presiden Republik Indonesia. Dalam rumusan tersebut, pemegang jabatan dipandang sebagai waliyyul amri dharuri bi al-syaukah (pemegang pemerintahan darurat dengan wewenang efektif).

Presiden dikatakan waliyyul amri karena ia memang memegang pemerintahan, yakni di zaman Presiden Soekarno (dan sampai sekarang pun masih demikian). Dikatakan dharuri (untuk sementara) karena secara teoretis kedudukannya tidak memenuhi persyaratan sebagai imam/ pemimpin umat Islam. Bi al-Syaukah karena memang pemerintahannya bersifat efektif. Dengan demikian, tiap-tiap kali akan diadakan pemilihan presiden, para ulama harus menetapkan apakah sang calon memenuhi ukuran-ukuran bagi imam sesuai hukum agama Islam.

Pada 1978, Rais Aam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) KH M Bisri Syansuri mengirimkan delegasi ke rumah mendiang Soeharto di Jalan Cendana dengan tugas menanyakan tujuh buah hal. Jika Pak Harto menjawab dengan empat buah hal saja yang benar, ia sudah layak dicalonkan PPP sebagai presiden.Tetapi KH M Masykur, HM Mintareja,dan KH Rusli Chalil (Perti) ternyata tidak menanyakan hal itu, melainkan bertanya bersedia atau tidak Pak Harto menjadi calon presiden dari PPP?

Sementara Harsono Tjokroaminoto tidak turut delegasi tersebut karena sudah “melarikan diri”dari tempat rapat, rumah KH Syaifuddin Zuhri di Jalan Dharmawangsa. Ketika penulis tanyakan kepada beliau bagaimana KH M Bisri Syansuri sebagai Rais Am PPP memandang hal ini, dijawab: beliau adalah salah seorang ulama yang sudah menetapkan policy berdasarkan aturan fikih. Dipakai atau tidak adalah tanggung jawab para politisi. Mereka yang akan ditanya Allah SWT di akhirat nanti.

Di sini tampaklah ketentuan yang dipegangi beliau bahwa ada beda antara orang yang menggunakan fikih dan menggunakan pertimbangan-pertimbangan akal belaka. Hal inilah yang membuat PPP menjadi partai yang sesuai bagi NU di masa itu. Namun, sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi karena PPP sudah digantikan oleh PKB. Kalau hal ini tidak disadari orang, akan terciptalah klaim yang tidak berdasarkan fakta nyata.

Akan tetapi perjuangan menegakkan demokrasi, termasuk memberlakukan ketentuan-ketentuan fikih dan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan PKB, juga bukan tugas yang ringan. Dewasa ini Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) tengah mengadakan penertiban di segala bidang untuk menghadapi pemilihan umum dua tahun lagi. Dalam penertiban tersebut ada empat puluh kepengurusan PKB di tingkat provinsi dan kabupaten dibekukan dengan menunjuk caretaker (kepengurusan sementara).

Setelah itu akan dilakukan musyawarah-musyawarah dewan pengurus wilayah (DPW) pada tingkat provinsi dan dewan pengurus cabang (DPC) pada tingkat kabupaten/kota. Sikap ini diambil untuk menghasilkan sebuah proses yang bersih menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai dalam rangka pelaksanaan demokratisasi di negeri kita. Kalau ini tercapai, berarti PKB akan merintis jalan baru bagi bangsa dan negara. Sudah tentu kerangka yang dibuat itu tidak akan mencapai hasil apa-apa jika tidak disertai orientasi dan arah pembangunan bangsa dan negara yang benar.

Selama ini, pembangunan nasional kita hanya bersifat elitis, yaitu mementingkan golongan kaya dan pimpinan masyarakat saja. Sejak 17 Agustus 1945, pembangunan nasional kita sudah berwatak elitis. Apalagi sekarang, ketika kita dipimpin orang yang takut pada perubahan-perubahan. Tentu sudah waktunya kita sekarang mementingkan kebutuhan rakyat dalam orientasi pembangunan nasional kita. Kebutuhan dasar kita sebagai bangsa dan negara menghendaki kita mampu memanfaatkan segenap kekayaan alam sendiri beserta keterampilan berteknologi untuk kepentingan bangsa dan negara.

Untuk ini kita harus sanggup membagi dua pembangunan kita; di satu pihak perdagangan bebas (termasuk globalisasi) yang berdasarkan persaingan terbuka. Di pihak lain kita memerlukan usaha publik untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang ditetapkan oleh Pasal 33 UUD 1945.Tugas yang sangat berat,bukan?(*)

Jakarta, 17 Pebruari 2008

Feminisme Islam Progresif ala Rabi’ah al-‘Adawiyyah

Oleh Farid Muttaqin

Bagi kaum Muslim, Rabi’ah al-‘Adawiyyah bukanlah tokoh asing. Dia dikenal sebagai salah satu sufi garda depan sepanjang sejarah Islam. Ketokohannya diakui tak hanya di kalangan Islam. Mengutip al-Munawi, pengkaji sufisme Islam yang sangat populer, Margaret Smith, menyebut Rabi’ah sebagai “the leader of women disciples and the chief of women ascetics”. Saya ingin mengelaborasi kehidupan sufisme Rabi’ah dalam kerangka diskursus feminisme Islam progresif.

Bukan hal mudah memberikan klaim pada Islam. Apalagi, klaim tersebut dipandang sebagai pemikiran Barat, seperti feminis dan progresif. Bagi banyak Muslim, khususnya penganut traditionalisme, hanya ada satu Islam: Islam murni (pure Islam), tanpa embel-embel, seperti Islam masa as-salaf as-shalih. Karenanya, klaim seperti itu membutuhkan argumen yang meyakinkan bahwa sesungguhnya agama ini penuh warna dan pengaruh sosial-budaya, historikal dan kontekstual. Klaim feminisme progresif terhadap Islam juga lahir dari proses panjang sejarah agama ini. Pada Rabi’ah, kita bisa melihat sisi feminisme progresif dalam sejarah Islam. Bisa disebut kalau nilai feminisme progresif bahkan inheren pada Islam karena sufisme banyak mengandalkan refleksi diri yang bisa jadi murni dari pengaruh eksternal.

Feminisme Islam progresif mengacu pada upaya pendobrakan struktur kekuasaan patriarkhal yang diimani kaum Muslim tradisional berdasarkan pemikiran Islam bias jender. Setiap bidang ilmu Islam memiliki tokoh pemikir anutan masing-masing yang dianggap otoritatif, hingga hanya pemikiran ilmuan tersebutlah yang valid dijadikan landasan keagamaan. Tradisionalisme juga ada di bidang ilmu apapun. Sayangnya, pemikiran yang diacu lebih banyak berkepentingan patriarkhal. Contohnya, pikiran-pikiran Imam al-Ghazali misalnya dalam Ihya ’Ulum ad-Din, yang sangat populer di kalangan Muslim tradisionalis. Menurutnya, seorang perempuan seharusnya mengurus dan menghormati suaminya, baik saat sedang bersama atau berpisah, dan harus selalu berusaha menyenangkannya. Al-Ghazali tak menyebut kalau suami juga perlu melakukan hal sama terhadap istrinya.

Di lapangan sufisme, memang terdapat percikan pemikiran yang mengarah pada rekonstruksi relasi jender ke arah yang lebih adil. Misalnya saja, karena sufisme lebih mementingkan sisi batin dalam pencapain derajat tertinggi spiritualitas, maka jenis kelamin fisikal menjadi sesuatu yang tidak penting. Dalam sufisme, perempuan dan laki-laki akan melebur menjadi satu jiwa (one soul). Namun, di tengah cara pikir ini, masih banyak sisa patriakhisme dan seksisme melingkupi dunia mistik Islam. Beberapa contoh, di antaranya, bisa ditemui pada kebiasaan homoseksualitas pada sufi Muslim laki-laki, termasuk Abu Nawas. Bagi mereka, membangun hubungan intim dengan laki-laki lebih baik bagi seorang sufi demi menghindarkan diri terbawa nafsu seksual tak terkontrol, seperti saat mereka berhubungan dengan perempuan. Perempuan, menurut mereka, tetap adalah sumber nafsu seksual (nafs) yang harus dihindari. Bahkan jika akhirnya muncul sufi perempuan yang sanggup menggapai derajat spiritualitas tertinggi, pada saat itu, dia sebenarnya ”bukan perempuan lagi.” Kata Fariduddin ‘Attar, “When a woman walks in the way of God like a man, she cannot be called a woman”. Itulah sedikit gambaran patriakhisme dalam dunia sufi.

Segala upaya pendobrakan terhadap pemikiran patriarkhal yang begitu kuat dimitoskan kebenarannya oleh mayoritas Muslim merupakan bagian penting feminisme Islam progresif. Dengan demikian, karakter utama feminism Islam progresif tak hanya mengupayakan penyelamatan buat perempuan (women’s salvation), misalnya dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalisme-keagamaan; lebih dari itu melakukan upaya dekonstruksi hegemoni patriarhisme pemikiran Islam tradisionalis itu. Seringkali, penghormatan fanatik terhadap seorang pemikir, semisal al-Ghazali, menutup daya kritis kita terhadap pemikiran-pemikirannya, meski dalam pemikiran itu disadari adanya pandangan tidak adil terhadap perempuan. Di sinilah dibutuhkan feminisme Islam progresif agar kita bisa melakukan kritisi dan kontekstualisasi pemikiran intelektual Islam, menyurutkan fanatisme tokoh, tapi tetap menaruh hormat sebagai pemikir penting di masanya. Sekali lagi, upaya dekonstruktif ala feminisme Islam progresif bukan hanya terinspirasi pemikiran liberal Barat seperti banyak dituduhkan mayoritas Muslim tradisionalis, tetapi ia juga datang dari lingkungan dalam Islam sendiri, seperti tampak jelas pada kehidupan sufistik Rabi’ah.

Rabi’ah al-‘Adawiyyah al-Bashri lahir dari sebuah keluarga papa sekitar tahun 717 M di kota Basrah, Irak. Sewaktu mulai tumbuh dewasa, Rabi’ah menjadi yatim-piatu. Rabi’ah harus mengalami nasib menjadi budak ketika seorang “penjahat” menemukannya di tengah gurun dan menjualnya. Ia harus menyediakan sepenuh waktunya untuk bekerja keras pada sang tuan. Namun, “bakat” Rabi’ah pada mistik Islam justeru banyak lahir dari situasi payah ini. Dan, di sinilah, kita bisa melihat sisi progresifitas feministiknya.

Meski harus bekerja keras sebagai budak, Rabi’ah terus belajar mengarungi tingkat tertinggi menjadi sufi. Suatu malam, sang tuan melihatnya sedang tepekur, mengiba cinta Tuhannya, mengabdikan segala cintanya sendiri buat sang Tuhan. Di tengah doa, muncul secercah cahaya di atas kepala Rabi’ah yang kelamaan membesar hingga menerangi seluruh ruang. Sang tuan takut melihat itu, lalu esoknya membebaskan Rabi’ah dari status sahaya. Inilah tanda pertama progresifitas Rabi’ah. Ia mampu membangun kesadaran spiritualitas sebagai sumber pembebasan; dengan sufisme, alih-alih terpenjara, Rabi’ah mampu mencapai sesuatu yang lebih dari statusnya sebagai budak.

Nilai feminisme Islam progresif paling jelas Rabi’ah terdapat pada pilihannya untuk selibat. Menjadi sufi, tak menutup kemungkinan untuk membangun keluarga. Karenanya, pilihan selibat Rabi’ah akan bisa dinilai tak hanya karena argumentasi sufistiknya demi mencapai derajat spiritualitas yang lebih tinggi, tetapi memiliki dimensi feminisme yang sangat maju. Dalam proses memutuskan selibasinya, Rabi’ah telah menolak ajakan nikah tiga tokoh penting, yang semuanya memberikan jaminan tak akan mengganggu hasrat spiritualitasnya. Mereka yang ditolak adalah Abdul Wahid bin Zaid seorang asketis, teolog, pendakwah yang dikenal sangat alim; Muhammad bin Sulaiman al-Hashimi, seorang ’amir Dinasti Abbasiyah di Basrah; dan Hasan al-Bashri, sufi paling terkenal dalam sejarah Islam. Dengan penolakan ini, dan lalu memilih selibat, Rabi’ah mampu menjadikan sufisme sebagai kuasa penting dalam melakukan tawar-menawar saat berhadapan dengan laki-laki. Rabi’ah bahkan mampu ”meruntuhkan dari dalam” pandangan mainstream sufisme yang seksis, yang mengucilkan perempuan dari jalan utama spiritualitas, yang selalu saja menyangsikan perempuan dari kemampuan mengontrol diri agar tak jadi sumber nafsu seksual. Demikianlah, dari secuil bagian saja kehidupan Rabi’ah, kita bisa menimba nilai penting tentang feminisme Islam progresif.

(Farid Muttaqin , aktifis PUAN Amal Hayati dan mahasiswa Ohio University, Athens, Amerika)


spacer

Kiai Organik v Kiai Karbitan

Oleh KH. DR. Abd A‘la
Abdul A'la
Fenomena sosial keulamaan di Indonesia memperlihatkan adanya – minimal dua kategori ulama Indonesia – kiai organik dan kiai karbitan. Munculnya kategori ini sampai derajat tertentu tidak bisa dilepaskan dari seluk-beluk kehidupan sosial politik yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini.

Kiai adalah ulama khas Indonesia yang merujuk pada para tokoh yang alim di bidang keagamaan Islam dan sekaligus memiliki akar kuat dalam tradisi dan budaya lokal Nusantara.

Selain berwawasan luas mengenai ilmu-ilmu “agama” dan memiliki aura ilahiyah, mereka juga memiliki kearifan yang tecermin dalam pandangan dan sikapnya yang menyejukkan dalam merespons suatu atau beragam persoalan. Kiai memiliki kemampuan untuk mendialogkan prinsip-prinsip ajaran Islam dengan realitas temporal dan lokal.

Dalam menyelesaikan atau memberikan pertimbangan mengenai suatu masalah, kiai sering memberikan solusi alternatif dan sejauh mungkin menghindari pemberian keputusan hitam-putih.

Sebelum itu, kiai pada umumnya lebih banyak mendengarkan dibanding mendominasi pembicaraan. Kiai semacam itu adalah kiai organik, yang dibentuk, dibesarkan, serta bersikap dan bertindak atas nilai-nilai keulamaan dan keindonesiaan.

Karakteristik kiai organik ini menjadikan hubungan kiai dengan masyarakat begitu dekat, tapi sekaligus tidak lebur. Pada satu sisi, kiai dengan berpegang teguh pada prinsip ajaran, selalu menyambut dengan terbuka kehadiran masyarakat dengan keragaman budaya dan tradisi yang dibawa mereka, dan pada sisi yang lain, masyarakat –karena keramah-tamahan dan aura moralitas kiai – selalu merindukan untuk “dekat” dengan kiai.

Karena itu, kiai organik selalu mengedepankan langkah-langkah yang penuh kearifan. Tindakan KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947) dalam pendirian Pesantren Tebuireng Jombang bisa diambil sebagai contoh menarik.

Pada saat itu, Tebuireng dikenal sebagai daerah yang penuh kriminalitas dan jauh dari nilai-nilai moral agama. Penduduknya banyak yang tidak agamis, perampok, pejudi, pemabuk, dan sejenisnya. Untuk “mengislamkan” mereka, Hasyim tidak melakukan tindak kekerasan melawan mereka, tapi justru melalui pendirian pesantren. Melalui pesantren itu, Hasyim mengenalkan nilai-nilai moral Islam secara bijak sebagaimana telah dilakukan Wali Songo dalam melakukan dakwah kepada masyarakat Jawa pada masa sebelumnya.

Kearifan kiai itu terus berlanjut hingga Indonesia berada dalam alam kemerdekaan. Misalnya, dalam perspektif para kiai, yang awalnya dimotori antara lain oleh KH. Ahmad Siddiq, Pancasila telah diterima sebagai dasar yang absah bagi negara Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim.

Kiai Karbitan
Namun, akhir-akhir ini beberapa orang yang bergelar kiai tidak menampakkan jati diri mereka yang organik dan genuine. Pada sebagian mereka, nilai-nilai luhur yang dulunya nyaris menjadi bagian intrinsik kepribadian kiai, sekarang mulai memudar.

Itu tampak jelas pada munculnya sikap, pernyataan, atau tindakan segelintir kiai yang membuat gerah bukan hanya kalangan nonmuslim, tapi juga umat Islam sendiri.

Dalam mengeluarkan pernyataan atau tindakan, mereka sering kehilangan kearifan yang dapat mencerminkan keluasan wawasan pandangan dan kesabaran mereka. Alih-alih, mereka terjebak pada pengedepanan sikap apriori dan gampang membuat pernyataan yang beroposisi biner, dikotomis hitam-putih. Mereka mulai senang membuat kriteria sendiri mengenai fenomena yang berkembang, dan pada gilirannya gampang menuduh negatif orang atau kelompok lain secara simplistis.

Keterjebakan mereka ke dalam sikap yang sarat dengan nuansa reaktif itu berpulang kepada berbagai kemungkinan. Salah satunya adalah kekurangluasan wawasan mereka mengenai tradisi dan budaya Indonesia atau seluk-beluk kehidupan sosial-budaya global. Mereka jadi kurang mampu memilah antara aspek sosial dan aspek teologis, atau antara nilai-nilai universal agama dan nilai agama yang bersifat partikular. Di antara mereka – tidak diragukan lagi – banyak yang hafal Alquran dan hafal beribu-ribu Hadits, tapi pemahaman mereka parsial dan kurang memiliki kemampuan untuk melakukan kontekstualisasi.

Kemungkinan yang lain, mereka selain lemah dalam bidang pemahaman keagamaan yang holistic – serta lemah dalam pemahaman tradisi dan budaya lokal – mereka juga memiliki pandangan pragmatis dan jiwa avonturisme. Dunia politik yang menjanjikan dan masih kuatnya politisasi agama – di mana kiai memiliki peran besar dalam dunia keagamaan, terutama pada masyarakat pedesaan – mengantarkan orang-orang tertentu menjadikan simbol kiai sebagai alat mengeruk keuntungan.

Mereka itu juga tidak memiliki konsistensi pandangan sebagaimana dulu dianut para kiai. Ke mana angin bertiup, ke sana langkah diayuhkan. Ironisnya lagi, kiai model ini mulai memisahkan diri dari masyarakat kecuali jika punya kepentingan tertentu yang lebih banyak bersifat subjektif.

Tokoh semacam itu merupakan kiai karbitan karena tidak memahami seutuhnya budaya dan tradisi Indonesia, sebagaimana pula kurang menguasai seluk-beluk persoalan global. Di atas semua itu, integritas moralnya sangat diragukan. Mereka tampak seperti kiai, bahkan matang di permukaan, padahal moralitas di dalamnya bukan hanya tidak manis, tapi bahkan mengarah kepada pembusukan.[]

* Salah satu pengasuh PP al-Nuqoyyah Guluk-guluk Madura Jatim

(Jawa Pos, Rabu, 13 Februari 2008, Foto: sunan-ampel.ac.id)

Belajar dari Sejarah Ahmadiyah

Asvi Warman Adam

Oleh Asvi Warman Adam*

Ahmadiyah bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia. Hampir seabad lalu gerakan itu sudah masuk ke tanah air dan selama berpuluh tahun tidak mengalami masalah dengan kelompok lain.

Mengapa sekarang dalam situasi ekonomi-politik yang kian panas menjelang Pemilu 2009 persoalan itu kembali diungkit? Ada baiknya kita menengok ke belakang, melihat proses masuknya Ahmadiyah ke Nusantara ini. Artikel ini terutama berdasar tulisan Herman L. Beck dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde (2005: 210-246).

Ini bermula dengan kedatangan Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad ke Jogjakarta pada Maret 1924 menghadiri Kongres Ke-13 Muhammadiyah. Mereka dipersilakan berbicara dalam kesempatan tersebut. Pandangan mereka terhadap Jesus, yang dalam Islam disebut Nabi Isa, menarik perhatian hadirin.

Bagi penganut Ahmadiyah, Jesus setelah disalib tidak meninggal, tiga hari kemudian sadar dan bertemu dengan murid-muridnya. Dia kemudian pergi ke Srinagar, Kashmir, dan mengembangkan ajarannya di sana hingga meninggal pada usia 120 tahun.

Karena Jesus itu hanya manusia biasa, messias atau Al Masih yang disebutnya akan datang ke bumi tak lain dari Mirza Ghulam Ahmad. Oleh Ahmadiyah aliran Lahore, dia dianggap mujadid (pembaru). Sedangkan aliran Qadiyan memosisikan dia sebagai nabi.

Ahmadiyah juga memiliki pandangan yang khas tentang jihad. Bagi mereka, jihad bersenjata memerangi musuh (orang kafir) tidaklah wajib, kecuali untuk mempertahankan diri. Kelompok itu sebetulnya juga tidak tergolong ekstrem karena bersikap loyal kepada pemerintah yang berkuasa.

Tahun 1928, tokoh Muhammadiyah Raden Ngabehi HM. Djojosoegito, saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari -kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur)- dan Wahab Chasballah, mendirikan Ahmadiyah Indonesia. Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah yang juga bersaudara sepupu adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama) tahun 1926.

Tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda mengakui Ahmadiyah. Selain ketua Djojosoegito, terdapat nama Erfan Dahlan sebagai pengurus. Erfan Dahlan adalah putra H Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore dan kemudian mengembangkan aliran tersebut di Thailand.

Selain Erfan Dahlan, ada beberapa pemuda lain yang juga belajar tentang Ahmadiyah di Lahore. Yang satu setelah kembali ke Indonesia bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Yang lain, Maksum, keluar dari Muhammadiyah, bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) yang dipimpin A. Hassan di Bandung.

Polemik Panjang
Seperti kita ketahui, polemik panjang mengenai ajaran Islam juga terjadi antara A. Hassan dan Soekarno. Maksum beberapa puluh tahun kemudian ikut gerakan DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.

Djojosoegito kemudian memindahkan kegiatannya ke Purwokerto dan di kota ini didirikan masjid pertama Ahmadiyah di Indonesia. Hubungan antara Ahmadiyah dan SI (Sarekat Islam) pada mulanya cukup erat.

Pemimpin SI, HOS Tjokroaminoto, menerbitkan tafsir Alquran pada 1930. Kata pengantar diberikan pimpinan Ahmadiyah di Lahore, India. Ketika ketepatan terjemahan kitab suci itu banyak dikritik, terutama dari kalangan Muhammadiyah, dukungan diberikan pimpinan Ahmadiyah.

Namun, hubungan Ahmadiyah dengan SI kemudian menjadi renggang karena sikap politik SI yang radikal terhadap penjajah Belanda. Sedangkan Ahmadiyah tetap loyal kepada pemerintah. HOS Tjokroaminoto yang menjadi mertua Soekarno, menurut KH Abdurrahman Wahid, sebetulnya juga saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah.

Kalau benar demikian, sebenarnya tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, SI, dan Ahmadiyah tersebut berasal dari rumpun keluarga yang sama. Kalau terjadi selisih paham sesama mereka, itu menjadi pertengkaran intern keluarga yang tidak akan menjadi konflik berdarah.

Pada 1925, Haji Rasul, ulama terkenal dari Sumatera Barat, ayahanda HAMKA, mengunjungi putrinya, Fatimah, yang menikah dengan A.R. Sutan Mansyur, pimpinan Muhammadiyah di Pekalongan. Dari Pekalongan, dia singgah di Jogja dan Solo serta bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Terjadilah perdebatan seru. Haji Rasul mengatakan bahwa keyakinan Ahmadiyah itu menyimpang dari ajaran Islam.

Dalam kongres Muhammadiyah di Solo pada 1929, hubungan antara organisasi itu dan Ahmadiyah menjadi putus. Majelis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa barang siapa yang memercayai adanya nabi setelah Muhammad dianggap kafir, walaupun tidak eksplisit menyebut Ahmadiyah. Sebelumnya sudah ada larangan bagi warga Muhammadiyah untuk mendengarkan ceramah tentang ajaran Ahmadiyah.

Setelah 1929, Muhammadiyah sangat jarang mengeluarkan pernyataan yang memojokkan Ahmadiyah aliran Lahore. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada 1984, Muhammadiyah mendukung dan menganggap bahwa itu terutama menyangkut Ahmadiyah aliran Qadiyan.

Tak Berbahaya
Mengapa Muhammadiyah masih bersikap toleran terhadap Ahmadiyah aliran Lahore? Menurut Herman Beck, itu terjadi karena organisasi tersebut dianggap tidak berbahaya serta bukan kompetitor dalam bidang dakwah, sosial, dan pendidikan. Itulah sebabnya, selama puluhan tahun, Ahmadiyah tetap hidup berdampingan secara damai dengan Muhammadiyah dan organisasi Islam yang lain.

Menjadi pertanyaan saat bangsa Indonesia mengalami kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, kesejahteraan rakyat tak kunjung terwujud, masyarakat didera kemiskinan, mengapa persoalan Ahmadiyah yang muncul ke permukaan? Untuk apa dan siapa yang menggerakkan semua ini?

Kalau diperhatikan, sejarah lahirnya organisasi-organisasi muslim di tanah air terlihat bahwa pendiri dan pengurus awal berbagai organisasi Islam itu sesungguhnya bersaudara. Oleh karena itu, sebaiknya masalah Ahmadiyah ini diselesaikan secara persaudaraan pula.[]

*Dr Asvi Warman Adam, sejarawan di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta.

(Indo Pos, Kamis, April 24, 2008)

Syafiq dan Mimpi Keberagaman




Ia baru menyadari berasal dari keluarga miskin saat merantau ke Yogyakarta. Di kota ini, ia dihadapkan pada kenyataan, kelonggaran ekonomi kawan-kawan yang tak dimanfaatkan semestinya. Di sinilah titik balik hidupnya berawal. Titik balik itu pula yang melibatkannya dalam gerakan reformasi 1998.

Syafiq Alielha, begitu ia menuliskan namanya. Namun, kadang tertulis dengan Syafi’ atau Savic. Sejak dilahirkan pada 1974 hingga tahun 1993, ia tak pernah merasa miskin. Keluarga orangtuanya dengan lima anak bisa dikatakan berkecukupan.

Ayahnya, almarhum Ali Hamdan, adalah guru madrasah dengan usaha sampingan warung kelontong, sedangkan Karsi, sang ibu, guru sekolah dasar. Mereka mampu mengirim Savic belajar ke Yogyakarta.

Savic yang sejak kecil nyantri di Madrasah Mathali’ul Falah asuhan KH Sahal Mahfudz, Rais Aam Nahdlatul Ulama (NU), pada 1993 memutuskan kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga. Ia pun menjadi pemuda pertama dari kampung halamannya, Tayu, yang kuliah.

Di kota inilah ”ketenangan” hatinya terusik. ”Tahun 1993 saya mendapat uang saku Rp 40.000 sebulan, sementara teman-teman ada yang mendapat kiriman Rp 150.000 per bulan,” ujarnya.

”Secara ekonomi mereka diberi kelebihan, tetapi tidak berbuat apa-apa,” lanjutnya.

”Sejak itu, saya baru merasa berasal dari keluarga miskin dan kampung saya berada di bawah garis kemiskinan,” sambungnya.

Kondisi itu mendorongnya terus mencari jawaban. Pergumulannya dengan berbagai buku dan majalah Prisma membuat dia menemukan jawaban mengapa kampung halamannya miskin. Pemiskinan bukan semata-mata karena ketidakmampuan atau kemalasan individu, melainkan secara struktural, oleh negara.

Dalam arti, negara menjauhkan masyarakat dari akses dan sarana yang memungkinkan mereka terbebas dari kemiskinan. Ia mencontohkan sulitnya akses pendidikan.

”Jadi, kalau ada orang yang bodoh, itu bukan semata-mata karena bodoh, melainkan bodoh secara struktural,” katanya.

Titik balik
Pergaulannya di IAIN membawa titik balik dalam hidup Savic. Realitas itu menjadi motivasi terbesar yang membuatnya keluar dari bayang-bayang santri tradisional. Ia bermetamorfosa menjadi bagian dari generasi yang ia istilahkan sebagai ”hibrida”.

”Di IAIN pula frame saya tentang agama lain berubah. Dari sebelumnya cenderung paranoia terhadap agama lain, saya menjadi lebih terbuka. Di sini pengaruh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) sangat signifikan. Gagasan pribumisasi Islam yang diwartakan Gus Dur membuka mata kami, bagaimana semestinya Islam diterapkan di Indonesia. Tanpa sosok Gus Dur, sulit membayangkan saya dan generasi muda NU umumnya bisa memiliki frame pluralistik seperti sekarang,” tuturnya.

Pemahaman tentang pluralisme itu membuatnya keluar dari lingkaran santri tradisional. Ia tak lagi hanya berkeinginan memperdalam pemahaman agama, melainkan tertarik pada sosiologi, filsafat, dan studi kultural. Tahun 1996 ia meninggalkan IAIN dan hijrah ke Jakarta. Dia memilih Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.

”Di STF saya menemukan suasana yang terbuka, tanpa memandang agama. Saya merasa agama tidak menjadi dinding pemisah buat mereka,” jelasnya.

Ia mengaku, pilihannya itu sempat membuat sang ibu khawatir pada kemungkinan Savic pindah agama.

”Tetapi belakangan, setiap kali pulang kampung, beliau selalu ngingetin untuk nyelesain kuliah, tanpa peduli lagi anaknya kuliah di sekolah calon pastor. Beliau percaya dan menyadari bahwa kekhawatirannya selama ini lebih merupakan paranoia semata. Namun, paranoia seperti itulah yang tampaknya menghinggapi sebagian besar masyarakat kita sehingga cenderung curiga terhadap masyarakat agama lain,” lanjutnya.

Pemahaman itu membuat Savic semakin berasyik-masyuk dengan pluralisme. Hal itu semakin kental kala ia bergabung dengan Forkot maupun Famred. Di matanya, Forkot maupun Famred adalah contoh ideal bagi Indonesia karena bisa menjadi tempat bersatunya anak muda tanpa membedakan suku maupun agama.

Alasan itu pula yang membuat dia melibatkan diri secara penuh pada gerakan reformasi 1998. Namun, keasyikan itu kembali membuatnya tak mampu menyelesaikan kuliah di Driyarkara.

Keberagaman
Ia mengakui, gerakan 1998 yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa itu belum menuai hasil. Lebih dari itu, upaya itu bahkan berkembang jauh dari yang dibayangkan. Ia tidak menampik kenyataan, reformasi justru melahirkan oligarki baru.

Mungkin bukan mengada-ada jika ia berharap Indonesia mampu berbuat seperti Rusia. Tepatnya, tindakan Presiden Rusia Vladimir Putin menangkap oligarch Mikhael Khodorkovsky, bos perusahaan minyak kedua terbesar di Rusia, Yukos. Di mata Savic, langkah itu merupakan usaha Putin menasionalisasi aset pengusaha korup.

”Indonesia tentu bisa melakukan ini,” ujarnya.

Terlepas dari harapan itu, ia kini benar-benar berusaha mendorong lahirnya blok sosial-politik baru di Indonesia. Satu kekuatan sosial-politik yang disandarkan pada nilai-nilai kebangsaan, keberagaman atau kebhinnekaan, dan keadilan.

”Saya prihatin dengan tendensi fundamentalis yang berkembang beberapa tahun belakangan ini. Menurut saya, itu akan menghancurkan ikatan tali kita sebagai bangsa,” tegasnya.

Ia mengaku tidak akan meninggalkan NU. Terbukti ia tetap aktif memajukan masyarakat NU. Tahun 1996-1997 ia menjadi reporter tabloid Warta NU, membantu Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan saat ini ia adalah Wakil Ketua Lajnah Ta’lif wan Nashr atau Lembaga Pengkajian dan Penelitian NU.

”Saya ingin teman-teman tidak meninggalkan intensitas di kelompok asalnya. Saya ingin mereka tetap di sana (NU, Muhammadiyah, Katolik, maupun abangan), kemudian saling menyambungkan sehingga terajut hubungan antarkelompok yang lebih kuat,” ujar Savic.

Dia kini membuka usaha penerbitan buku bertajuk Fresh Book. Ia juga bercita-cita menjadikan toko buku on-line miliknya, Khatulistiwa.net, semacam Amazon-nya Indonesia.

Diakui, pilihan hidupnya sering membuat jantung Ibunda tercinta berdebar-debar. ”Tetapi, untung semua baik-baik saja,” ujarnya sambil tertawa.

Namun, satu yang terus ia ingat. Nasihat sang Ibu. Urip ning rantau sing ati-ati. Golek mangan ora usah aneh-aneh. Urip sing ora mbarokahi ora usah dilakoni.” (Hidup di rantau berhati-hatilah. Tidak usah aneh-aneh ketika mencari makan, dan hidup yang tak membawa berkah tidak perlu dijalani).

Ia yakin, mengejar mimpi tentang keberagaman, membangun kembali Indonesia dalam semangat dan nilai-nilai kebangsaan serta keadilan, adalah hidup yang membawa berkah.

*Oleh CM Rien Kuntari, wartawan Kompas

(Kompas, Jumat, 16 Mei 2008)

Sabtu, 17 Mei 2008

Warga Utan Kayu Dukung JIL

Oleh Umdah El-Baroroh
12/09/2005

Menyangkut perbedaan pandangan dalam beragama, Ketua RW 05 ini menyarankan untuk tetap menjaga etika dan mengedepankan dialog. “Semua perbedaan yang ada harus diselesaikan dengan kepala yang dingin. Karena semua perbedaan yang ada adalah rahmah. Apalagi jika perbedaan itu tetap berpegang pada Alquran dan hadis”, papar Alam.

“Kami mendukung pemerintah Matraman untuk mengatasi masalah ini. Bagi Komunitas Utan Kayu agar menjalankan tugasnya tanpa harus diintervensi oleh siapa pun.” Itulah salah satu bunyi pernyataan bersama tokoh agama, pemuda, dan warga Utan Kayu Jumat, 9 September malam lalu. Pernyataan bersama tersebut dibacakan oleh M. Ishak, pemuka agama RW 06 Utan Kayu pada acara “Silaturahmi dan Ketegasan Sikap Dukungan Pemuka Agama, Tokoh Masyarakat, Pemuda, dan Warga Terhadap Keberadaan Komunitas Utan Kayu di Utan Kayu” di Graha Arema Utan Kayu.

Hadir dalam acara tersebut Muspika, Koramil, Pejabat KUA, Kapolsek, Tokoh Agama, Pemuda, dan sejumlah warga Utan Kayu. Silaturahmi warga ini diprakarsai oleh Syamsu Alam, Ketua RW 05. Silaturahmi diadakan untuk menyatakan sikap warga berkaitan dengan peristiwa tuntutan pembubaran JIL beberapa waktu lalu oleh Forum Umat Islam Utan Kayu. Pada sambutannya, Samsu Alam menegaskan bahwa warga Utan Kayu menolak adanya orang luar yang berusaha untuk mencampuri urusan Utan Kayu. Ia juga mensupport Muspika untuk menyelesaikan masalah yang ada di Utan Kayu dengan arif.

Menyangkut perbedaan pandangan dalam beragama, Ketua RW 05 ini menyarankan untuk tetap menjaga etika dan mengedepankan dialog. “Semua perbedaan yang ada harus diselesaikan dengan kepala yang dingin. Karena semua perbedaan yang ada adalah rahmah. Apalagi jika perbedaan itu tetap berpegang pada Alquran dan hadis”, papar Alam. Sementara Muspika Matraman yang diwakili oleh Camat Matraman, Khairil Astapradja, menyatakan bahwa persoalan agama seharusnya tak perlu diributkan. “Yang harus dipikirkan adalah bagaimana bangsa ini bisa lebih sejahtera”, tandas Khairil. Camat juga tidak percaya dengan adanya warga Utan Kayu yang usil dan suka mengusik ketenangan orang lain. Menurutnya, kehidupan warga Utan Kayu ini sebetulnya adalah indah, tetapi ada pihak luar yang membuat rusuh.

Oleh karena itu keberadaan JIL tak perlu dibesar-besarkan. Apalagi secara sah JIL telah mendapatkan ijin resmi. Hal ini sengaja dikemukakan oleh Camat, berkaitan dengan adanya tuntutan sebagian warga yang mempertanyakan keberadaan JIL di Utan Kayu beberapa hari sebelumnya. JIL dengan segala kelebihan dan kekurangannya tetap mempunyai iktikad baik dalam mengembangkan wacana keagamaan. “Kalau ada yang tidak setuju, silakan dialog. Berperang bukan dengan fisik, tapi dengan otak”, tegas Camat.

Kepada saya, Islam Diajarkan secara Keliru

Eep Saefulloh Fatah:

06/07/2003

Sosialisasi agama pada taraf yang sangat sederhana selalu menekankan etika ketakutan (ethics of fear) ketimbang etika harapan (ethics of hope). Ketundukan dibangun di atas pondasi ketakutan seorang hamba kepada Khaliqnya. Seolah kebesaran Tuhan ditentukan oleh semakin kecilnya manusia dan semakin horornya kosmos metafisik yang mengitari Tuhan.

Berikut wawancara dengan Eep Saefulloh Fatah, pengamat politik dari Universitas Indonesia yang kini sedang menempuh studi di Ohio State University (OSU), Amerika. Kebetulan Eep sekarang sedang “mudik” selama 2 bulan. Dalam perbincangan dengan Ulil Abshar-Abdalla pada 3 Juli 2003, Eep juga memaparkan kontribusi Islam terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia.

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Kang Eep, Pemilu sebentar lagi dan anda sudah lama belajar mengamati politik negara kita. Apakah Anda melihat adanya keganjilan dalam hubungan antara agama dan politik, khususnya pasca reformasi?

EEP SYAUFULLOH FATAH: Masa reformasi ini nampaknya membangkitkan kembali harapan sebagian kecil penganut agama (Islam) untuk menghubungkan secara sangat rapat antara agama dan politik, khususnya antara Islam dan negara. Saya melihat, dalam batas tertentu ini adalah setback atau langkah mundur dari agenda reformasi. Untungnya, lima tahun reformasi membuktikan bahwa mereka yang mendorong langkah mundur itu sebetulnya tidak signifikan kekuatannya, baik dari segi jumlah maupun dari sisi kemampuan mengartikulasikan gagasan mereka.

ULIL: Bagaimana dengan agenda yang diperjuangkan partai-partai Islam?

Menurut saya, ketika kita menyebut “partai Islam”, ada ruang perdebatan di situ; tentang benda apa ini gerangan. Yang saya tidak setuju adalah partai-partai yang berorientasi untuk mendirikan negara Islam. Bahwa kemudian kalangan tertentu membuat partai dan karena ketidakmampuan mendefinisikan diri sendiri, lalu menggunakan nama Islam tanpa orientasi, sebetulnya itu masih bisa ditolerir.

ULIL: Secara kategoris, anda seorang santri. Bagaimana menghubungkan antara kesantrian dengan cita-cita sosial politik yang Anda anggap sesuai dengan tuntutan ideal agama?

Saya merasa bersyukur tumbuh dan besar dalam sebuah keluarga yang memahami agama tidak secara kaku; sebagai satu-satunya perlengkapan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ini rumusan yang saya buat sendiri. Saya tahu, ibu dan bapak saya tidak pernah mengatakan itu. Saya bisa mengatakan begitu karena agama yang diajarkan di rumah sebetulnya lebih banyak mengajarkan perihal etika, manual tingkah laku, dan semacam basis moralitas ketika kita harus memosisikan dengan diri sendiri dan masyarakat. Dengan begitu, saya tidak merasa pernah diajarkan untuk melakukan formalisasi agama. Buat saya itu sesuatu yang patut saya syukuri di kemudian hari.

ULIL: Sebenarnya bagaimana sih “perkenalan” pertama kali Anda dengan agama?

Perkenalan saya dengan agama dimulai sangat dini, sejak menginjak usia dua setengah tahun. Saat itulah saya dikhitan. Dengan begitu, saya mendapat tambahan kewajiban yang diberitakan oleh keluarga di sekitar saya. Tapi perkenalan saya lebih kongkrit dengan agama, terjadi beberapa tahun setelah itu. Yaitu ketika saya mulai diajak ayah untuk salat Jum’at berjamaah. Sebelum itu, saya juga pernah diajak, tapi masih agak enggan.

Nah, mulailah saya berkenalan dengan agama sebagai sebuah otoritas baru yang cukup mengejutkan. Representasinya adalah sebuah masjid yang belum pernah saya masuki, kecuali bermain di pelatarannya saja. Saya duduk di saf yang depan, berhadapan langsung dengan mimbar, dengan karpet warna hijau dan khatib yang memegang tombak dengan gagah. Tombak yang di pegang khatib masih dalam bentuk aslinya, tidak berganti sejak masjid itu didirikan tahun 1937. Yang masih tersisa dari ingatan saya soal itu adalah adanya sesuatu yang sakral yang sedang diperkenalkan pada saya.

ULIL: Apakah sekarang Anda punya evaluasi atas cara mengenalkan Islam yang dulu Anda pernah alami?

Saya merasa, Islam diajarkan kepada saya —jangan-jangan juga kepada orang lain— secara keliru. Kekeliruan itu bisa jadi bertumpuk-tumpuk. Misalnya, Islam diajarkan hanya sesuai dengan apa yang dipahami oleh mereka yang merasa punya otoritas untuk mengajar saya ketika itu. Saya ingat, di saat salat Jum’at, para khatib selalu menyampaikan hal-hal yang bernada ancaman atas siapapun; bahwa hidup di dunia ini sebentar, dan setelah itu kita akan berhadapan dengan dua pilihan: entah menjadi penghuni surga atau neraka! Kepada kami disampaikan ancaman, jika kita keliru menjalankan hidup yang amat pendek ini, kita akan menjadi penghuni neraka.

ULIL: Ada pengalaman traumatis dari perkenalan Anda dengan agama saat itu?

Komik! Pada waktu kecil, mulai berkembang komik-komik yang menggambarkan bagaimana keadaan surga dan neraka. Ketika itu dada saya terasa sesak dan ketakutan karena membaca dan melihat gambar-gambar komik itu. Komik itulah yang menggambarkan betapa biadabnya siksaan yang akan kita terima di neraka kelak.

Komik itu sudah populer pada akhir tahun 1970-an. Ketika saya menjalani masa kanak-kanak, komik-komik dalam bentuk yang sangat sederhana itu sudah beredar di toko-toko. Dan itu menjadi bahan yang seolah-olah menggiurkan untuk dibaca.

Komik-komik ini menimbulkan horor dalam ingatan dalam konteks beragama. Memori saya, kalau mengingat itu kembali akan terteror. Penggambaran di komik itu membuat jiwa kanak-kanak saya menjadi sangat kecil, lalu berhadapan dengan Tuhan dengan rasa takut yang sangat maksimal. Jadi, agama dan Tuhan dalam ingatan saya waktu kecil, diajarkan sebagai suatu medium yang mengerikan. Karena rasa takut itu, ketundukan harus dipelihara.

ULIL: Selain komik dan masjid, Adakah institusi lain yang justru merapatkan Anda dengan agama?

Ada. Bukan hanya institusi masjid dan peribadatan saja bentuk pengalaman saya dengan agama. Sejumlah institusi lain seperti sekolah di SD dan madrasah juga. Pagi hari saya di SD dan sore di Ibtidaiyah. Ketika itu, saya juga belajar mengaji selepas Maghrib. Seusai Subuh, saya juga sempat mengaji kitab kuning dari seorang ustadz. Itu semua terjadi, masih di Cibarusah, kampung saya.

Ketika berkenalan dengan sekolah, tidak ada perubahan mendasar dalam pengalaman agama yang saya temukan di kelas-kelas. Perubahan mulai terasa ketika saya mulai menduduki bangku SMP. Ketika itu saya semakin terdesak untuk menolak banyak hal tentang pengajaran agama. Buat saya, apapun perihal agama mesti dijelaskan secara tuntas. Sehingga, ketika saya melakukan suatu hal, saya menjadi yakin, karena ada alasan di balik perilaku itu. Tidak semua aspek, tentu.

Nah, saat itu saya bertanya tentang kiblat; soal boleh-tidaknya saya salat menghadap arah kebalikan dari kiblat. Sebab, kalau bumi itu bulat tetap saja saya akan menghadap ke Ka’bah kalaupun mesti menghadap ke timur saat salat. Guru agama di SMP saya tidak bisa menjawab argumen saya. Dia bilang, “harus ke barat, tidak boleh ke timur!”

ULIL: Setelah kuliah, refleksi keagamaan Anda tentu berkembang. Padahal tahun 1980-an, kampus-kampus “sekuler” disemarakkan oleh gerakan-gerakan keislaman (usrah). Apakah Anda juga ikut terlibat?

Ya, saya ikut terlibat dalam semaraknya kegiatan Islam di kampus. Secara tak sengaja saya masuk dalam suatu organisasi. Tapi kemudian justru saya menjadi ketua umum Forum Studi Islam (FSI) yang pertama di FISIP UI. Itupun sebetulnya hasil pergulatan saya sebelumnya.

Ketika saya masuk UI tahun 1987, kegiatan keislaman sangat semarak. Ketika itulah orang sedang bangga-bangganya menempelkan stiker di mobil atau motor untuk menampilkan identitas mereka. Kegiatan pengajian skala kecil, kultum di musalla juga semarak. Situasi ini menciptakan “konflik” yang agak menggelikan. Yaitu antara mereka yang aktif dalam usrah dengan kelompok yang berdiri di seberangnya dan menganggap usrah sebagai perusak tatanan kehidupan kampus yang sudah dibangun dalam tradisi yang panjang.

ULIL: “Konflik” itu ikut mempengaruhi kecenderungan Anda selaku aktivis kampus?

Oh, ya. Di kelompok A, saya dianggap kelompok B, dan di kelompok B, saya justru diidentifikasi sebagai kelompok A. Namun identifikasi diri saya yang paling menonjol adalah sebagai “orang hijau”. Ketika konflik semakin memuncak, saya justru menjadi semacam jalan keluar. Ketika itu, terjadi kebuntuan antarkedua kelompok yang menginginkan terbentuknya sebuah organisasi baru yang bisa mengorganisir kegiatan keislaman. Tapi, organisasi tersebut harus dipimpin orang yang bisa berkomunikasi dengan dua pihak sekaligus.

ULIL: Menarik sekali pengalaman Anda. Sekarang saya bertanya pada hal yang besar lagi, bagaimana Anda melihat Islam di Indonesia? Apakah Islam punya kontribusi dalam menguatkan demokratisasi?

Ada bentuk-bentuk sumbangan Islam bagi demokratisasi, lebih-lebih kalau kita mendengarkan disertasi kawan kita, Saiful Mujani (Ph.D di Ohio State University dengan tajuk Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim Participation in Post Suharto Era: 2003, Red). Dia menemukan, pada kalangan umat Islam di Indonesia, ternyata ada semacam kebudayaan politik yang sebetulnya potensial menjadi basis persemaian demokrasi. Ada modal sosial (social capital) yang disiapkan Islam. Memang hanya sebatas itu saja. Jadi, ada peran agama, sebagaimana peran variabel-variabel lain yang ikut membentuk budaya politik di masyarakat kita agar masyarakat siap untuk masuk dalam dunia demokrasi.

ULIL: Nah, budaya politik macam apa yang telah disumbangkan Islam, terutama dalam konteks Islam di Indonesia?

Lagi-lagi saya dipengaruhi oleh Saiful Mujani untuk menjawab ini. Saya baru saja membaca sebagian hasil risetnya. Misalnya saja, krisis yang dipandang sedang berlangsung di Amerika sekarang adalah krisis paguyuban; orang tidak lagi merasa menjadi bagian dari orang lain; orang semakin menyendiri, dan ikatan-ikatan sosial semakin melemah. Ternyata, krisis itu tidak terjadi di Indonesia. Menurut Saiful, nilai-nilai paguyuban di Indonesia ditanggulangi pemeliharaannya oleh agama. Ada banyak perilaku sosial dalam masyarakat kita yang dibantu oleh Islam agar masyarakat ikut merasa memilikinya. Jadi ada semacam ikatan sosial yang terpelihara oleh agama.

ULIL: Artinya bila ikatan sosial itu terpelihara, proses demokratisasi menjadi lebih dimudahkan?

Bukan. Hasilnya bisa menjadi dua kemungkinan yang berbeda. Saya ambil contoh. Di Cibarusah hingga hari ini masih terpelihara bentuk-bentuk paguyuban yang berbasis agama. Di sana ada organisasi kematian untuk menangani orang mati yang dalam Islam disebut sebagai kewajiban kolektif (fardlu kifayah). Ada juga kegiatan pengajian yang terus-menerus, rutin dan berpuluh-puluh tahun tetap memelihara ikatan sosial dalam masyarakat. Tapi persoalannya adalah: ketika identitas kelompok terbentuk, dia bisa potensial menjadi positif dan negatif sekaligus. Sumbangannya untuk demokrasi akan penting kalau ternyata identitas yang ditanam dalam kelompok itu adalah identitas Islam yang mengajarkan sikap toleran, hanif, inklusif dan lain-lain. Sebaliknya, jika nilai-nilai Islam yang disebarkan berbasis pada eklusivitas, intoleransi dan sejenisnya, maka akan kontraproduktif bagi demokrasi.

ULIL: Nampaknya, Anda cukup akrab dengan istilah-istilah hanif, kalimatun sawa’ dan inklusif. Apakah Anda seorang pembaca Cak Nur yang intensif?

Saya bukan pembaca Cak Nur yang intensif. Tapi sebagian besar saya merasa terwadahi oleh gagasan Cak Nur. Menurut saya, seperti itulah mestinya Islam yang berkembang di Indonesia ke depan.

Tapi sekarang ada gejala pembentukan opini publik soal Islam yang cenderung berbeda dengan gagasan Cak Nur. Bicara soal Islam ialah bicara soal pemahaman keislaman masyarakat secara umum. Kalau melihat fakta dari kelompok penentang gagasan besar Cak Nur yang hanya menghasilkan kekuatan kecil, maka kesimpulan yang kita buat sementara ini ialah: Islam moderat lebih tersebar di tengah masyarakat ketimbang Islam galak. []