Sabtu, 17 Mei 2008

Madina, Ahlan wa Sahlan!

Oleh Hamid Basyaib
23/01/2008

Madina boleh dikata memenuhi maksud kehadirannya, meski niat itu dirumuskan seolah-olah Islam adalah agama minoritas di Indonesia. Yaitu menyajikan jenis Islam yang “memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk bergaul secara sehat dengan beraneka ragam keyakinan lain, realitas sosial-politik baru, serta unsur-unsur budaya setempat, di manapun agama ini hidup dalam jiwa dan perilaku pemeluknya.”

Sebuah majalah yang menyatakan diri sebagai “a truly Islamic magazine” mulai bulan ini diterbitkan oleh Yayasan Paramadina, Penerbit Mizan dan PT Dian Rakyat. Kita boleh menunda diskusi tentang klaim “sejati (truly)” itu, tapi kehadiran Madina cukup melegakan. Tata letaknya terhitung modern, diukur dari standar majalah sejenis, meski boleh dibilang “kuno” dipandang dari sudut “revolusi desain” dewasa ini.

Terbit 96 halaman, edisi perdana Madina segera memancarkan watak dan pesan umum yang mau disampaikan kepada khalayak: modern, variatif, toleran, dan mencerminkan keluasan cakupan Islam. Bahkan tampaknya diniatkan untuk memperlihatkan “totalitas” Islam – ada rubrik Arsitektur, Spiritualitas, Resensi Film, Olahraga, bahkan Humor dan Kuliner, selain rubrik-rubrik standar. Watak pesan ini tampak merupakan perpanjangan langsung dari garis Paramadina sebagaimana dirumuskan oleh pendirinya, Nurcholish Madjid.

Ilustrasi sampul Madina bukan diilhami oleh seniman Muslim abad pertengahan, tapi oleh karya mashur raja pop art Amerika, Andy Warhol. Memang yang tampil bukanlah belasan wajah identik Marylin Monroe warna-warni melainkan, menurut keterangan redaktur, wajah Zaskia Mecca, konon adalah ikon “sinetron Islam”, yang sesungguhnya boleh saja disebut gadis anonim berjilbab. Tema pokok yang diangkat pun menganalogikan pernyataan Warhol yang terkenal bahwa di zaman yang serba instan ini, dengan kian maraknya televisi, setiap orang hanya bisa terkenal selama 15 menit. Plesetan di sampul Madina: “Islam 15 Menit”.

Laporan utama itu mendeskripsikan dan menjelajahi budaya pop Islam di Indonesia sebagaimana terutama ditampillkan di layar televisi. Intinya: terlalu banyak program Islam (atau yang diniatkan sebagai promosi ajaran Islam) yang sangat buruk. Ada pula gejala latah. Jika ada acara yang membawa kata “Ilahi” sukses, semua stasiun mengekor dengan menayangkan acara yang dimirip-miripkan.

Begitu pula dengan buku-buku “sastra Islam” dan “musik Islam”. Epigonisme merajalela. Muncul pula gejala “rock Islam” – grup atau penyanyi rock pindah atau mencoba jalur tembang “rohani Islam”. Semuanya menunjukkan satu hal yang pasti: segala sesuatu yang “Islam” masih laku keras di pasar Muslim terbesar di dunia ini. Tentu saja Madina mengungkapkan preferensinya dalam arus besar budaya pop Islam itu.

Ia, misalnya, memuji karya-karya Deddy Mizwar, yang sukses komersial sekaligus bermutu filmis tinggi – ini paduan yang langka – dengan acara-acara televisinya seperti Lorong Waktu dan film Nagabonar Jadi 2.

Eksplorasi Madina terhadap budaya pop itu memperlihatkan pemahaman yang kuat para redakturnya. Gejala besar yang bercabang-cabang itu dipetakan, dijahit dengan paparan yang lancar, meski tak bisa dibilang ringan untuk dicerna oleh para pelaku dan penikmat budaya pop itu. Dan Madina tak hanya berhenti pada kecaman ataupun imbauan moral tentang sinetron Islami yang ideal, melainkan membedah banyak aspek dari tontotan itu, mulai dari filosofi, kekuatan dan kelemahan skenario, dan segi-segi filmis lainnya. Ia berperan sebagai critics yang memadai.

Tampil dengan sampul dan isi art paper yang glossy, banyak bagian Madina yang mengidap semangat “apologetik”. Dalam rubrik Olahraga, misalnya, ditampilkan sejumlah pemain klub sepakbola Eropa, dengan nama-nama Barat, yang ternyata…..beragama Islam (Frank Ribery, Eric Abidal, Robin van Persie, Nicolas Anelka). “Pemberitahuan: bahwasanya orang-orang Islam juga ada yang pintar main bola, bahkan jadi pemain di klub-klub raksasa Eropa” – begitulah agaknya implikasi yang ingin dimaklumkan.

Beberapa lelucon pendeknya berisi ledekan terhadap ateis – bahkan dalam rubrik Humor, kekentalan ideologis majalah ini rupanya tak sudi dicairkan. Rubrik Kuliner menyajikan “Makanan Favorit Rasulullah”, dengan isi yang cukup mencengangkan dari segi truismenya, yaitu bahwa Nabi Muhammad bukan hanya suka kurma (melainkan juga: anggur, buah ara, delima, susu dan madu). Kita tergoda untuk menduga: jangan-jangan segmen pembaca yang disasar mencakup anak-anak.

Masih perlu dilihat apakah di nomor-nomor selanjutnya rubrik Spiritualitas menyajikan uraian tentang sumber atau aspek-aspek spiritual dari tradisi-tradisi lain di luar Islam. Bukan hanya dari lingkungan sufi, seperti ditulis oleh Haidar Bagir di nomor perdana ini (tentang Jalaluddin Rumi, tentu saja). Membatasi spiritualitas hanya dengan pagar agama, apalagi cuma satu agama, tentulah mencekik keluasan spiritualitas itu sendiri.

Rubrik Spiritualitas yang (kebetulan) tentang penyair sufi itu berbeda dari rubrik “Kisah Sufi” (yang di daftar isi disebut “Kisah Spiritual”). Judulnya: “Cerita Bijak Para Sufi yang Abadi”. Kita akan lihat di bulan-bulan mendatang apakah sumber spiritualitas Islam bisa diperluas ke hal ihwal sehari-hari, yang terkesan profan dan duniawi.

Madina juga menyajikan Wawancara yang baik, empat halaman dengan Feisal Abdul Rauf, imam Masjid Al-Farah di New York; feature tentang Nasr Hamid Abu Zaid, yang baru-baru ini dilarang bicara di dua forum di Indonesia (meski dia sudah tiba di Jakarta, dari kediamannya di Negeri Belanda); profil pembaru Islam kontemporer Turki, Fetulleh Gulen. Kolom-kolomnya pun enak dibaca (Nurul Agustina, Samsu Rizal Panggabean, Ekky Imanjaya).

Yang mengejutkan adalah tidak dicantumkannya satu pun kredit foto di bawah puluhan gambar yang dimuat Madina, yang sebagian besar dipastikan diambil dari sumber-sumber luar. Ini tentu perlu dibereskan mulai edisi berikutnya, jika “majalah alternatif” ini tidak ingin tampak sangat ironis (karena kemiripan dengan majalah-majalah yang mau diimbanginya).

Kebanyakan artikelnya tak mencantumkan nama penulis; beberapa mencantumkan; dan kita hanya bisa menduga-duga sumber inkonsistensi ini dengan menengok daftar pengelola (masthead). Redaktur hanya terdiri atas tiga orang (Ade Armando, Hikmat Darmawan, Ihsan Ali-Fauzi), dipimpin oleh Farid Gaban. Kalau Madina konsisten, akan terlihat bahwa tulisan-tulisan yang cukup banyak itu dikerjakan oleh penulis yang sangat sedikit. Tak enak juga rasanya nama yang sama muncul terlalu sering dalam satu edisi.

Dengan awak yang berjumlah di bawah minimal itu, sangat mungkin majalah ini akan terengah-engah mempertahankan kelangsungan terbit maupun mutunya, meski ia tampil bulanan. Ini pula mungkin yang menjelaskan mengapa cukup banyak salah-cetak, selain salah-rujuk (bahkan tertulis “Sipiritualitas” di daftar isi).

Namun melihat edisi perdana ini, Madina boleh dikata memenuhi maksud kehadirannya, meski niat itu dirumuskan seolah-olah Islam adalah agama minoritas di Indonesia. Yaitu menyajikan jenis Islam yang “memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk bergaul secara sehat dengan beraneka ragam keyakinan lain, realitas sosial-politik baru, serta unsur-unsur budaya setempat, di manapun agama ini hidup dalam jiwa dan perilaku pemeluknya.”

Bagaimanapun, Madina tampil secara mengesankan, terutama diukur dari dominasi media Islam yang “panas” dan berkobar-kobar dalam sepuluhan tahun terakhir; ataupun yang meriah menyajikan aspek mistik sampai tingkat yang keterlaluan, dan semuanya menyatakan menerapkan jurnalisme – meski tak ada hubungan dengan prinsip-prinsipnya. Para pengutuk kegelapan boleh gembira sebab pada akhirnya ada orang-orang yang memilih menyalakan lilin bernama Madina.

Sambil menanti nomor-nomor selanjutnya yang mudah-mudahan terus membaik, dengan lengan terentang lebar kita mengucapkan: Ahlan wa sahlan, Madina!

Dan Andy Warhol pun pasti percaya bahwa majalah ini akan tampil lebih lama dari 15 menit.

Tidak ada komentar: