Sabtu, 17 Mei 2008

Perlunya Merombak Teologi Haji

Oleh Luthfi Assyaukanie
22/01/2007

Gagasan perluasan waktu haji itu akan punya implikasi luas. Bukan hanya menyangkut perbaikan pelayanan, tapi juga keuntungan bisnis penyelenggaraan. Dengan perluasan waktu, jumlah jamaah haji pasti akan meningkat dan devisa kerajaan Saudi dari haji pasti akan berlipat-ganda.

Kelaparan Mina bukanlah satu-satunya kesemrawutan manajemen haji tahun ini. Koran-koran Arab Saudi menulis tentang petaka lain jamaah haji Indonesia, yakni banyaknya jamaah yang tak mendapat penginapan di Mekah. Mereka tidur di lorong-lorong (mamarrat) hotel, bersarapkan sajadah atau koran seadanya.

Saya tak tahu apakah itu sudah terbiasa menimpa jamaah kita sehingga tak ada media Indonesia yang menyiarkan beritanya. Ironisnya, para jamaah yang malang itu tak terlalu mempersoalkan nasib mereka. Alasannya bisa ditebak, khawatir akan mengurangi nilai “keikhlasan” ibadah mereka.

Soal ikhlas memang jadi ironi. Di satu sisi, jamaah menginginkan servis yang baik, tapi di sisi lain, jika ada musibah (yang umumnya akibat kelalaian manusia), mereka cepat-cepat menganggapnya "sebagian dari ujian" yang "harus kita terima dengan ikhlas."

Seorang jamaah yang ikut kelaparan di Mina dengan tegas mengatakan itu ujian Allah dan tak mau ikut menggalang class action terhadap Departemen Agama dalam wawancara dengan sebuah televisi swasta. Baginya, yang sudah terjadi di Tanah Suci tak perlu diungkit-ungkit lagi karena dapat membatalkan pahala haji.

Jika semua jamaah bersikap fatalistik semacam itu, jangan heran jika manajemen haji tak pernah beres. Para petinggi Depag tahu betul bahwa jamaah tak akan protes pada kesalahan-kesalahan yang (akan) mereka buat. Karenanya, musibah dan bencana terus terjadi saban tahun.

Kita tahu, mengelola haji memang tak mudah. Lebih dari 3 juta orang berkumpul dalam satu tempat terbatas adalah peristiwa yang tak masuk akal. Banyak yang harus dipersiapkan untuk manusia sebanyak itu, dari soal penginapan, makanan, transportasi, hingga sanitasi.

Proyek perluasan dua kota suci (haramain) yang telah dilakukan mendiang Raja Fahd tak banyak menjawab persoalan. Perluasan itu tidak menambah ruang, karena jumlah pengunjung yang datang melebihi ekspansi gedung dan lahan yang tersedia. Meminjam kaedah Malthus, lahan haji tumbuh berdasarkan deret hitung, sementara pertumbuhan jamaah mekar berdasarkan deret ukur.

Mungkin sudah saatnya kita memikirkan pengelolaan haji secara lebih serius. Yang diperlukan bukanlah solusi tambal-sulam, tapi jalan keluar radikal yang bisa menyelesaikan seluruh persoalan haji. Disebut radikal karena ia tak hanya meminta kesediaan para penguasa dan pengelola haji, tapi juga para tokoh agama dan ulama untuk menyikapi "teologi haji."

Yang saya maksud "teologi haji" adalah pemahaman agama yang selama ini menjadi landasan kita dalam melaksanakan haji. Salah satu teologi haji yang diyakini kaum Muslim adalah soal waktu pelaksanaan haji yang hanya setahun sekali, dan itu pun hanya dalam bulan tertentu, yakni Zulhijjah. Bulan Zulhijjah itupun dibatasi lagi, yakni satu hari yang disebut Hari Arafah.

Teologi semacam itu punya implikasi yang bisa diduga, yakni penumpukan manusia dalam rentang waktu yang sangat pendek. Seluruh persoalan penyelenggaraan haji bermuara pada teologi haji yang lama itu. Apapun solusi yang ditawarkan, jika persoalan ini tak bisa diatasi, jangan harap keruwetan pengelolaan haji bisa diselesaikan.

Gagasan memperluas waktu penyelenggaraan haji bukanlah barang baru. Masdar F Mas'udi, seorang kiai NU, sudah lama menggulirkan ide itu. Menurutnya, perluasan waktu haji bukan hanya rasional, tapi juga dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Sebab, tak ada satupun ayat Qur'an yang menyebutkan pembatasan waktu haji. Pembatasan datang dari para ahli fikih yang keliru memahami hadis "al-hajju arafah" (haji adalah Arafah).

Menurut Masdar, hadis itu merujuk pada ruang, bukan waktu. Arafah adalah nama tempat berkumpulnya para hujjaj di seluruh dunia, bukan waktu. Alquran sendiri tak memberi batasan waktu sesempit yang dibayangkan para ahli fikih. Dalam Qur'an, waktu yang disebutkan adalah "bulan-bulan yang telah ditentukan" (asyhurun ma'lumat), yakni Syawwal, Zulqa'dah, dan Zulhijjah. Dengan kata lain, waktu sahnya haji adalah tiga bulan, bukan satu hari.

Gagasan perluasan waktu haji itu akan punya implikasi luas. Bukan hanya menyangkut perbaikan pelayanan, tapi juga keuntungan bisnis penyelenggaraan. Dengan perluasan waktu, jumlah jamaah haji pasti akan meningkat dan devisa kerajaan Saudi dari haji pasti akan berlipat-ganda.

Alasan keuntungan bisnis itu sengaja saya tekankan, karena inilah yang diam-diam banyak diinginkan orang, tapi malu-malu diakui. Jika ada argumen teologis yang mendukung dan disosialisasikan dengan baik, persoalan ini pasti bisa diterima masyarakat.

Toh selama ini pemerintahan Saudi juga telah melakukan perombakan-perombakan teologi haji, seperti perluasan batas geografi Arafah dan Mina, perluasan Safa-Marwah, pengaturan penyembelihan hewan kurban, dan yang paling mutakhir, memperlebar ukuran "setan" Jamarat dari hanya tiang kecil menjadi tembok selebar tujuh meter.

Saya percaya Islam adalah agama yang mudah beradaptasi dengan tuntutan keadaan, seperti kata para ulama. Cepat atau lambat, perluasan waktu penyelenggaraan haji pasti akan terjadi, kecuali kita semua terlalu senang menahan penderitaan dan kesemrawutan. []

Tidak ada komentar: