Senin, 19 Mei 2008

Refleksi Akhir Tahun 2007: Wajah Keberagamaan Kita

Oleh R u m a d i*


Rumadi
TULISAN ini pada dasarnya merupakan refleksi penulis menjelang berakhirnya tahun 2007, terutama menyangkut kehidupan beragama di Indonesia. Hal ini penting dilakukan untuk melihat berbagai peristiwa dan kecenderungan kebebasan beragama sebagai bagian dari penegakan HAM di Indonesia. Dari sinilah akan terlihat sejauhmana komitmen pemerintah untuk menjamin, melindungi dan menegakkan HAM yang terkait dengan kebebasan beragama.

Secara normatif, jaminan terhadap kebebasan beragama di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Dalam UUD 1945 pasal 28e dan 29 memberi jaminan itu. Hal yang sama juga dapat ditemukan dalam pasal 22 (ayat 1 dan 2) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Jaminan yang sama juga terdapat dalam UU No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenan on Civil and Political Right (ICCPR)/ Kovenen Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, terutama pasal 18.

Namun, jaminan normatif dan konstitusional tersebut tidak serta merta menjadi realitas yang bisa dinikmati semua warga negara. Sepanjang tahun 2007, banyak sekali peristiwa-peristiwa keagamaan yang sangat mengganggu jaminan kebebasan beragama. Dalam berbagai peristiwa itu menunjukkan, masyarakat kita belum menunjukkan sikap toleran dan dewasa dalam merespon isu-isu keagamaan. Di pihak lain, pemerintah dengan segala aparatusnya sebagai penjamin kebebasan beragama sering bersikap ambivalen antara menegakkan hukum dan mengikuti selera massa dan elit agama tertentu. Bila kondisi tidak berubah, bukan tidak mungkin tahun depan eskalasi kasus akan meningkat baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Kondisi demikian tentu akan semakin memperburuk citra penegakan HAM di Indonesia.

Sepanjang tahun 2007, setidaknya ada dua isu besar yang layak diangkat, yaitu soal tempat ibadah dan aliran sesat. Pertama, kasus tempat ibadah. Peristiwa tentang tempat ibadah termasuk kasus yang terjadi hampir setiap saat. Bukan hanya sepanjang 2007, tapi jauh sebelumnya sudah sering terjadi. Namun demikian, pemerintah belum berhasil menghentikan kasus-kasus menyangkut tempat ibadah ini.

Model kasusnya juga sangat beragam, mulai dari menghambat perijinan, penutupan paksa tempat ibadah yang dianggap liar, sampai pada tindak kekerasan. dalam catatan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Wali Gereja (KWI), sejak 2004 sampai 2007 terjadi tidak kurang dari 108 penutupan, perusakan dan penyerangan terhadap gereja. Perinciannya adalah tahun 2004 terdapat 30 kasus, 2005 ada 39 kasus, 2006 ada 17 kasus dan 2007 ada 22 kasus. Bila kondisi ini dibiarkan, kelompok minoritas agama akan berada dalam kontrol mayoritas.

Pemerintah memang sudah merevisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 tentang tempat ibadah, yang dianggap bermasalah. Revisi yang terdapat dalam Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006 memang lebih baik dari aturan sebelumnya. Namun dari sisi praktik di lapangan sebenarnya tidak ada kemajuan berarti, bahkan kondisinya bisa lebih buruk. Problem utama dari semua itu adalah tidak adanya ketegasan aparatur pemerintah untuk menegakkan aturan yang telah disepakati, sehingga aparat lebih takut pada kehendak massa daripada mentaati aturan.

Kedua, isu aliran sesat. Isu ini sebenarnya juga bukan isu baru. Sebelum 2007, isu aliran sesat sudah muncul, bahkan tindakan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap sesat juga sering terjadi. Justru sepanjang tahun 2007 ini, berbagai kasus penyesatan mengalami eskalasi luar biasa. Pemerintah juga belum melakukan tindakan signifikan untuk memberi perlindungan terhadap korban kekerasan akibat divonis sesat.

Tidak berlebihan jika dikatakan, sepanjang tahun 2007 disebut sebagai musim penyesatan. Hal ini antara lain ditandai dengan semakin maraknya tuduhan sesat terhadap berbagai kelompok-kelompok yang sebelumnya mungkin tidak terlalu dikenal. Di samping itu, kelompok-kelompok yang sudah divonis sesat sebelum tahun 2007 juga masih terus menjadi perbincangan publik. Sebut saja kasus Ahmadiyah yang hingga kini disusun masih terus mendapat intimidasi dan sasaran tindak kekerasan di berbagai daerah. Bahkan, Ahmadiyah kini menjadi sasaran “pembersihan keyakinan” (belief cleansing). Demikian juga dengan kasus al-Qiyadah yang mencapai puncaknya ketika Ahmad Mushaddeq sebagai pimpinannya menyatakan bertaubat.

Kasus-kasus lain juga secara sporadis terjadi di berbagai daerah yang menimpa kelompok-kelompok yang dianggap sesat. Di Serang Banten beberapa waktu lalu ada pesantren yang dibakar massa karena pimpinannnya diduga menyebarkan aliran sesat (13/12/07), penyesatan dan intimidasi terhadap komunitas Dayak Losarang Indramayu, kelompok p engajian Hidup Dibalik Hidup (HDH) di Cirebon, p enyerangan rumah pimpinan dzikir Asmaul Husna Aljabar di Garut, penyerangan pengikut tarekat Naqsabandiyah di Bulukumba, penyerangan kelompok pengajian Nurul Yaqin di Tangerang, penyerangan komunitas Syiah di Bangil Pasuruan, dan sebagainya.

Kasus penyesatan terhadap aliran keagamaan di berbagai daerah, MUI dalam berbagai tingkatan senantiasa menjadi aktor utamanya. Hampir tidak ada kasus penyesatan yang tidak melibatkan MUI. Kalau arus penyesatan dipandang sebagai ancaman terhadap hak asasi manusia dan kebebasan beragama, maka MUI –suka atau tidak- menjadi bagian dari ancaman tersebut. Memang, tidak semua eksponen MUI mempunyai pikiran seperti ini, namun tren MUI menjadi “polisi agama” menguat dimana-mana. Hal ini menandai dua hal sekaligus. Di satu sisi hal ini bisa dibaca sebagai pertanda bahwa MUI menjadi institusi keagamaan yang semakin “bergigi”, dan di sisi lain hal ini juga pertanda menguatnya kelompok intoleran dalam MUI.

Syahwat MUI untuk melakukan belief cleansing yang dianggap sesat diperkuat dengan keluarnya sepuluh panduan untuk mengeidentifikasi kelompok sesat. Panduan ini secara nyata telah menjadi alat untuk menteror aktifitas keagamaan kelompok minoritas. Akibat yang paling mungkin muncul dari panduan penyesatan MUI adalah munculnya “polisi swasta” dalam masyarakat yang akan dengan mudah mengklaim sesat terhadap kelompok lain. Hal demikian jelas sangat potensial untuk menciptakan keresahan baru dalam kehidupan masyarakat. Kata “sesat” juga akan menjadi alat komunikasi baru baru dalam masyarakat yang jelas sangat tidak mendidik, karena kata “sesat” sebenarnya merupakan alat komunikasi kekerasan.

Hal yang agak mengagetkan justru pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyona ketika membuka Rekarnas MUI yang menyatakan akan mengikuti fatwa-fatwa MUI, termasuk dalam hal pemberantasan aliran sesat. Hal ini sebenarnya cukup ironis karena panduan kerja seorang presiden adalah konstitusi dan undang-undang, bukan fatwa MUI. Pernyataan presiden tersebut mengindikasikan betapa ia merasa inferior ketika berhadapan dengan MUI.

Jika dibandingkan tahun 2006, tahun 2007 kondisi kebebasan beragama kita jauh lebih buruk. Jika tahun 2006 masih dipulihkannya hak-hak sipil pengikut agama Konghucu, tahun 2007 nyaris tidak kemajuan yang bisa dicatat. Yang muncul justru peristiwa-peristiwa yang secara nyata mengancam kebebesan beragama dan berkeyakinan yang sudah dijamin konstitusi.

Kondisi demikian tentu tidak bisa dibiarkan terus menerus. Aparatus negara seharusnya profesional dengan bertindak sebagai pelindung untuk menjamin hak-hak dasar warga negara. Karena itu, pelaku tindak kekerasan tidak boleh dibiarkan. Aparat kemanan harus bertindak lebih tegas kepada kelompok-kelompok penyerang, tidak justru mengorbankan korban. Fungsi aparat pemerintah untuk melindungi warga negara harus menjadi landasan kerja secara profesional. Aparat tidak boleh melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi kekerasan yang dilakukan siapapun dan atas nama apapun.[]

*Penulis Pemimpin Redaksi "Monthly Report on Religious Issues” The Wahid Institute Jakarta


spacer

Tidak ada komentar: