Sabtu, 17 Mei 2008

Tak Ada Wakil Tuhan di Bumi

Dr. Bahtiar Effendy:

13/01/2002

Saya kira konsep demokasi, kalau itu dikaitkan dengan persoalan sosial kenegaraan, di dalam negara Islam manapun, itu juga di tangan rakyat. Itulah yang terjadi saat kita hendak memutuskan sesuatu. Apakah pemilu itu dilakukan 5 tahun sekali atau tidak, bagaimana kita menulis sebuah undang-undang, bagaimana merumuskan peraturan-peraturan, itu semua ada pada tangan rakyat. Kalau kedaulatan itu ada pada Tuhan, kita harus konsultasi terus dengan Tuhan dong!

Baru-baru ini Freedom House, sebuah lembaga penelitian di Amerika, mengeluarkan suatu survey akhir tahun tentang skor kebebasan sejumlah negara di seluruh dunia. Hasil survey tahun 2001 itu memperlihatkan bahwa skor kebebasan dan demokrasi negara-negara Muslim sangat rendah. Dari 47 negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, hanya 11 negara yang pemerintahnya dipilih secara demokratis. Sementara, di dalam kawasan negara-negara non-Islam yang jumlahnya 145 negara, 110 di antaranya mengikuti sistem demokrasi elektoral. Skor Freedom House yang dikeluarkan setiap tahun hampir tidak menunjukkan perubahan yang berarti, di mana negara-negara Islam secara umum tidak menunjukkan peningkatan dalam skor kebebsannya. Tentu hal ini patut direnungkan: adakah sesuatu yang “salah” dalam negara-negara Islam, sehingga proses pemantapan demorkasi dan kebebasan di sana terus tersendat? “Indeks Freedom House ini bisa menjadi satu indikasi bahwa demokrasi di negara-negara Islam masih mempunyai masalah yang besar, “demikian dinyatakan Dr. Bahtiar Effendy, pengamat politik Islam dan peneliti Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEUI). Berikut ini petikan wawancaranya dengan Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu, Kamis (27/12/2001) di kantor Berita Radio 68H Jakarta.

Bagaimana anda menanggapi skor ini dikaitkan dengan anggapan bahwa Islam sebenarnya sesuai atau tidak bermasalah dengan demokrasi?

Saya tak terkejut dengan skor ini. Yang membuat saya terkejut adalah semakin banyaknya negara-negara yang pada tahun 2001 ini sudah menjadi demokratis. Jelas ini (121) adalah jumlah yang sangat besar menurut saya. Apalagi kalau kita lihat pada pertengahan tahun 1990-an, di mana saat itu Huntington bertanya dengan masygul, “Apakah akan ada lagi negara-negara yang menjadi demokratis?” Dalam artikelnya, Will More Countries Be Democratic, sebetulnya ia agak pesimis. Indeks Freedom House terbaru justru menyebutkan bahwa dari 192 negara yang di-skor, 121 di antaranya adalah demokratis.

Tapi saya tidak tahu bagaimana Freedom House ini menyusun parameter dan indikator untuk mengetahui itu. Mungkin saja bisa melalui pemilu, pelaksanaan civil liberties (kebebasan sipil) dan hak asasi. Sementara Huntington menetapkan syarat-syarat yang jauh lebih ketat daripada Freedom House ini, sehingga jumlah negara yang masuk dalam kategori demokratis, dalam pandangan Huntington, lebih sedikit.

Soal banyaknya negara-negara Islam yang tidak demokratis, itu justru tidak mengejutkan saya. Sebab saya tahu informasi seperti ini sudah agak lama, pada pertengahan 1980-an atau bahkan akhir 1970-an. Ketika demokrasi menjadi agenda yang muncul kembali dengan istilah-istilah transisi ke demokrasi, demokratisasi justru berlangsung secara masif di Amerika Latin dan Eropa Selatan. Ribuan halaman sudah ditulis tentang negara-negara yang mengalami proses transisi ke demokrasi. Nah di situ dikatakan bahwa negara-negara Islam tidak masuk dalam arus demokratisasi itu.

Kenapa demikian, apa yang terjadi pada negara-negara Islam itu?

Dikatakan bahwa negara-negara Islam ini tidak mempunyai pengalaman yang memadai dalam hal demokrasi. Pada tahun 1980-an itu ada tanda-tanda negatif untuk mengharapkan gelombang demokratisasi berlangsung di negara-negara Islam. Tentu kita bisa menyikapi pernyataan seperti ini dengan bias: Ah, itu kan parameter-parameter yang ditetapkan oleh orang Barat, yang mungkin pandangan mereka terhadap Islam atau dunia Islam sudah stereotipikal. Stereotip ekstrimisme, fundamentalisme, dan lain-lain yang sebetulnya tidak kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi. Karena itu banyak sekali orang yang menulis tentang demokratisasi di dunia ketiga, dengan mengabaikan sekaligus meragukan: apakah Islam bisa demokratis atau tidak.

Banyak alasan yang dipakai orang-orang untuk mengatakan bahwa Islam itu bisa sesuai dengan demokrasi dari segi ajarannya. Tapi kalau kita lihat dari struktur sosialnya, apa masalah mendasar di dalam umat Islam ini sehingga skor demokrasinya rendah?

Mungkin saya salah, tetapi selama ini bacaan saya dalam hal Islam ataupun demokrasi secara keseluruhan menginspirasikan saya bahwa untuk membangun demokrasi itu bukan sesuatu yang gampang. Sulitnya minta ampun. Dan yang paling penting di sini adalah modal sosial, budaya, yang cukup. Bisa juga termasuk ajaran atau nilai-nilai yang intrinsik. Tapi saya ingin melihat modal sosial, budaya, tradisi, nilai yang mereka kembangkan sehari-hari dalam perspektif non-agama, yaitu yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya budaya sportifitas; itu kan sebuah nilai, tradisi yang mungkin agak susah dicari-cari akarnya di dalam agama. Mungkin ada budaya trust, amanah, dalam tradisi Islam. Tapi di kalangan Islam itu dipahami bukan seperti trust yang diperlukan dalam sebuah praktik demokrasi yang dikehendaki. Kita ini kan agak susah untuk mempercayai satu sama lain.

Dan itu bukan hanya terefleksikan dalam kehidupan politik kita. Ada seorang antropolog yang meneliti masalah etos kerja, enterpreneurship. Ternyata memang dia melihat bahwa pribumi, masyarakat Jawa khususnya, agak susah mengembangkan etos kewiraswastaan, karena rasa percaya dirinya itu besar. Kepercayaan diri yang besar membuat seseorang agak susah percaya pada orang lain. Padahal dua hal seperti itu, yakni trust (kepercayaan) dan kewiraswastaan ‘kan penting di dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi.

Memang ada dukungan-dukungan yang bisa kita peroleh dari nilai-nilai transendental, dalam hal ini agama. Misalnya, ada nilai tentang keadilan, persamaan, voluntarisme (kesukarelaan), egalitarianisme (kesamaan derajat) dan lain-lain. Tapi sekali lagi, bagaimana kita memahami prinsip-prinsip itu sehingga bisa mendukung paham-paham tentang demokrasi. Juga itu harus diletakkan dalam konteks tertentu. Sebab sekarang ini juga muncul misalnya bahwa syura itu bukan demokrasi. Saya kira pada jaman Pak Natsir dulu, apa yang dia pahami tentang syura, musyawarah, sebagaimana ia pahami dari Islam, itu dia bedakan dari demokrasi yang kita pahami sekarang ini. Jadi ada nuansa yang berbeda.

Dalam laporan Freedom House disebutkan bahwa dari 47 negara Islam hanya 11 yang mempunyai pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Bagaimana struktur sosial masyarakat Islam di berbagai negara itu. Misalnya dalam masyarakat yang struktur sosialnya feodalistis di mana ada satu tokoh kharismatik yang terlalu berkuasa, apakah itu bisa menimbulkan suatu halangan terhadap demokrasi? Dan apakah itu kasus yang umum dalam negara Islam?

Saya kira pada tahap pengenalan atau pembentukan nilai-nilai demokrasi, mungkin yang Anda sebut paternalisme atau feodalisme itu, pada takaran-takaran tertentu, juga dibutuhkan. Tetapi memang kalau kita bicara secara umum, dalam sebuah struktur sosial yang demokratis yang sudah jadi, memang agak susah mempertahankan kesesuaian antara paternalisme dan feodalisme dengan demokrasi. Saya tidak tahu apakah masyarakat dunia Islam itu bisa kita kategorikan bahwa semuanya feodal, paternalistik, dan sebagainya.

Sekarang ini kan ada banyak muncul berbagai macam gerakan di dunia Islam yang cenderung membentuk satu kelompok yang tertutup. Agaknya sulit melakukan diskusi di dalamnya karena ada satu ideologi mapan dan tertutup yang dianut di sana. Apakah kemunculan kelompok semacam ini menghalangi terbentuknya demokrasi di negara Islam?

Ya, jelas. Faktor-faktor seperti itu, eksklusivisme dan sebagainya, merupakan satu kendala, walaupun sebenarnya kendala-kendala untuk menegakkan demokrasi tidak hanya terletak pada hal itu. Kita lihat misalnya Saudi Arabia. Saya tidak melihat struktur masyarakat Saudi Arabia adalah paternalistik ataupun feodalistik. Bahkan menurut saya sangat egalitarian. Tapi toh negara Saudi Arabia tidak bisa dianggap negara demokratis.

Ada yang menggugat bahwa skor Freedom House ini mengandung bias Amerika?

Saya belum membaca hasil lengkap dari Freedom House ini; parameternya apa, lalu indikator-indikator yang digunakan untuk menilai sekian negara menjadi demokratis dan sekian lagi tidak. Saya hanya membaca angka-angka. Tapi saya kira mungkin yang dijadikan ukuran adalah pemilu, karena itulah satu-satunya alat besar untuk mengukur itu, juga free press, civil liberties, dan human rights. Nah, kalau kita lihat dari segi ini. sejumlah negara Islam, misalnya Libya, Iran Saudi Arabia, Sudan, Syria, bahkan sebagian besar negara Timur Tengah, jelas tidak bebas, tidak demokratis.

Ini karena memang demokrasi dilihat dalam kerangka demokrasi prosedural; bagaimana mereka memilih elite-elite negara untuk memimpin negara, jabatan publik itu ditempati oleh siapa, melalui pemilu atau tidak dan seterusnya. Pemilu memang menjadi ukuran utama. Jadi kalau itu diletakkan dalam melihat Saudi Arabia, maka tidak ada satupun orang mengatakan bahwa Saudi Arabia adalah negara yang demokratis. Walaupun tadi saya katakan bahwa dari segi struktur sosialnya, bukan segi sistem pemerintahan dan negaranya, saya kira ia punya potensi besar untuk menjadi demokratis.

Ada juga komentar dari seorang pengamat yang disebutkan Freedom House bahwa ternyata demokrasi di berbagai negara Islam itu tidak saja terhalang oleh adanya rezim-rezim yang tiranik, tapi juga karena kekuatan-kekuatan sosial yang ada di dalam negara itu sendiri juga tidak setuju demokrasi. Apakah Anda setuju dengan pernyataan itu?

Saya setuju. Tapi tidak harus diletakkan di dalam negara Islam saja. Masalahnya di sini bukan apakah masyarakat mendukung atau menolak demokrasi, tetapi elit: apakah mereka mempunyai kepercayaan terhadap demokrasi. Kepercayaan di sini bukan dalam pengertian “trust”, tapi belief (keyakinan), yakni keyakinan bahwa demokrasi adalah cara terbaik untuk mengatur dan mengelola negara. Nah, ini harus dibedakan dengan retorika demokrasi yang banyak dikembangkan oleh para elit. Kalau kita tidak mempunyai elit yang meyakini demokrasi, ya susah.

Kalau ada pernyataan bahwa bahwa akar demokrasi dan Islam berbeda; bahwa demokrasi itu kedaulatannya di tangan rakyat, sementara dalam Islam kedaulatan tertinggi di hukum syara’. Demokrasi mempunyai undang-undang yang bersifat sekuler, sementara Islam mempunyai undang-undang tertinggi yaitu Alquran. Bagaimana anda menjelaskan ini?

Memang ini kan juga pandangan yang tidak khas orang Islam, dan saya juga tidak mengatakan itu khas non-Islam. Saya kira orang Islam ada yang berpandangan seperti itu, dan juga orang non-Islam. Orang seperti Huntington, saya kira, juga meragukan itu. Secara khusus ia bahkan menyatakan bahwa Konfusianisme, misalnya, tidak sesuai dengan demokrasi. Tapi kalau untuk Islam, ia masih tanda tanya, karena Huntington melihat bahwa dalam Islam sendiri ada nilai-nilai, pandangan dasar Islam yang kalau “ditafsirkan dengan baik” akan sesuai dengan demokrasi.

Nah, sekarang ini wacana kita tentang demokrasi dan Islam itu kan hanya berhenti sampai di situ. Jadi menurut saya kita masih kurang menggali lagi nilai-nilai apa saja dalam Islam yang bisa sesuai dengan demokrasi. Dan bagaimana kemudian kita menganulir atau menetralisasikan nilai-nilai yang kita anggap tidak sesuai dengan demokrasi. Itu kalau kita memang menganggap bahwa agama itu penting untuk memberikan landsan bagi demokrasi. Nah, sekarang ini pandangan kita tentang demokrasi hanya terbatas pada kenyataan bahwa dalam Islam ada prinsip keadilan, musyawarah, serta persamaan. Sebetulnya di dalam dunia Islam yang paling penting kan bukan itu. Kita tidak cukup hanya bicara soal nilai-nilai normatif Islam yang indah-indah itu.

Soal basis kedaulatan yang berbeda antara demokrasi dengan Islam, terus terang saya tidak yakin bahwa orang yang mempunyai pandangan seperti itu menyamakan konsep kedaulatan di dalam hidup bernegara dengan yang mereka pahami di dalam agama. Sebab itu akan mudah sekali dipatahkan: apakah memang dua konsep kedaulatan itu sama. Saya kira levelnya berbeda. Jadi kita tidak bisa menggunakan argumen bahwa di dalam Islam kedaulatan ada di tangan Tuhan, di dalam demokrasi ada di tangan rakyat. Itu argumen yang menurut saya tidak pas. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan lebih detil, tapi kira-kira, kalau saya boleh mengutip Syafii Maarif, ia mengatakan bahwa, “Lho, kalau dalam Islam itu kedaulatan itu di tangan Tuhan, kalau sebuah negara dikudeta, apakah Tuhan dikudeta?” Nah, seperti itu. Jelas Tuhan tidah mempunyai tentara untuk menahan kudeta itu. Ini kan jelas dua hal yang sangat berbeda.

Atau konsep tentang khalifatullah, wakil Tuhan di bumi, apakah itu sama dengan konsep wakil di dalam terminologi-terminologi politik, sosial, dan sebagainya. Menurut saya, kita jangan gegabah dalam memahami makna kedaulatan itu dalam demokrasi dan di dalam Islam. Saya kira konsep demokasi, kalau itu dikaitkan dengan persoalan sosial kenegaraan, di dalam negara Islam manapun, itu juga di tangan rakyat. Itulah yang terjadi saat kita hendak memutuskan sesuatu. Apakah pemilu itu dilakukan 5 tahun sekali atau tidak, bagaimana kita menulis sebuah undang-undang, bagaimana merumuskan peraturan-peraturan, itu semua ada pada tangan rakyat. Kalau kedaulatan itu ada pada Tuhan, kita harus konsultasi terus dengan Tuhan dong. Kan susah. Juga tidak ada lembaga yang menjadi wakil Tuhan di bumi untuk ditanyai setiap saat. Islam ‘kan tidak mengenal sistem parokial. []

Tidak ada komentar: