Senin, 19 Mei 2008

Memastikan Kedaulatan Rakyat

Oleh Rocky GerungRocky Gerung*
Tahukah negara di mana alamat "Surga" dan berapa nomor telepon "Neraka"? Berhakkah negara menentukan "akhirat" seseorang? Berbagai forum evaluasi akhir tahun 2007 tentang kebebasan beragama di negeri ini tiba pada kesimpulan yang sama: Negara gagal melindungi hak warga negara menjalankan agama/kepercayaannya!

Mengapa pemerintah lalai melindungi warganya? Apakah di negeri ini ada dua jenis warga negara? Ada warga negara yang "benar" dan ada yang "sesat"?

Pasal 28E UUD 1945 secara tegas menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama, beribadat menurut agamanya, dan meyakini kepercayaannya. Kita juga telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik PBB sehingga menjadi hukum positif kita. Pasal 18 Ayat 2 Kovenan itu berbunyi: "Tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya."

Urusan hati nurani
Prinsip-prinsip kebebasan beragama/kepercayaan itu sebetulnya sudah kita tuntaskan dalam debat-debat penyusunan UUD di masa lalu, yaitu ketika kita memilih untuk menjalankan negara ini dengan prinsip "kedaulatan rakyat". Kita tidak memilih kedaulatan "Tuhan" karena kita tidak ingin menjadikan "hal yang amat tinggi" itu diturunkan dan direndahkan dalam pertengkaran politik. Tuhan (dan ayat sucinya) adalah urusan hati nurani, bukan urusan negara.

Filosofinya terang-benderang: di dalam politik segala sesuatu harus dapat diuji dan dipersaingkan, sedangkan tentang Tuhan tak seorang pun sanggup mengujinya. Itulah sebabnya politik berubah secara periodik, tetapi kita tidak mungkin menyelenggarakan pilkada untuk memilih Tuhan. Tidak ada kontestasi untuk Tuhan karena kedaulatan Tuhan abadi dalam nurani pemeluknya. Prinsip inilah yang disebut pandangan sekuler.

Pandangan sekuler bukan pandangan anti-agama. Justru demi menghormati status "suci", "mulia", dan "misteri" dari Tuhan, negara tidak boleh merasa tahu tentang hati nurani warganya. Dengan kata lain, negara tidak boleh berpendapat tentang "isi ajaran" suatu agama/kepercayaan. Tugas negara hanyalah menjamin "hak meyakini" suatu agama/kepercayaan sebagai hak asasi dan tidak boleh ikut campur dalam soal doktrin atau isi keyakinan itu.

Jika isi ajaran suatu agama menimbulkan gangguan ketertiban umum, negara hanya boleh mengadili peristiwa kekerasan itu sebagai suatu tindak pidana dan bukan mengadili isi ajarannya. Jika seseorang menghina agama lain, ia diadili atas alasan penghinaan melalui pengadilan dan bukan berdasarkan fatwa suatu lembaga.

Negara wajib memisahkan keyakinan teologis seseorang dengan perilaku hukumnya. Orang hanya dihukum karena suatu delik dan bukan karena keyakinan religiusnya. Suci tidaknya warga negara, benar-sesatnya suatu agama, bukan wilayah kerja negara. Apakah hidup seseorang berakhir di surga atau neraka, tidak dapat ditentukan dari sekarang. Hati nurani orang adalah sesuatu yang harus dihormati negara.

Bagaimana negara harus melayani keragaman agama dan kepercayaan warganya? Negara tidak berwenang menentukan jumlah agama. Karena dengan membatasi jumlah agama, negara telah bertindak diskriminatif dengan membedakan antara "warga negara yang beragama resmi" dan "warga negara yang tidak beragama resmi". Apalagi bila pembedaan itu menjadi ekstrem antara "warga negara yang beragama" dan "warga negara yang tidak beragama". Negara hanya boleh membedakan warga negara atas satu alasan: bertindak kriminal atau tidak. Jadi, hanya ada dua jenis warga negara: "yang taat hukum" dan "yang melanggar hukum".

Negara wajib membedakan antara koruptor dan pembayar pajak, antara perusak harta benda orang dan pewarta demokrasi. Tapi, negara tidak boleh membedakan warga negara berdasarkan banyaknya jumlah penganut agama. Bukankah sebelum para tamu pembawa agama-agama besar tiba di Nusantara sudah bermukim terlebih dahulu berbagai agama asli sang tuan rumah? Karena itu, tidaklah layak bila negara justru mendukung klasifikasi baru antara mayoritas-minoritas, dengan berbagai akibat diskriminatifnya secara sosial dan administratif.

Pelajaran toleransi
Memilih demokrasi berarti menghitung orang semata-mata dari titik pusat konstitusi dan bukan dengan ukuran-ukuran adikodrati. Bahkan untuk menyeimbangkan distribusi hak-hak sosial-politik, negara secara deliberatif harus melindungi mereka yang "minoritas" dan "marjinal" agar mereka tidak terhalang oleh statusnya itu untuk memperoleh akses ke dalam kehidupan publik yang normal. Negara melindungi golongan ini bukan karena mereka minoritas dalam agamanya, tapi karena kondisi minoritasnya secara sosial itu dapat menyebabkan mereka tertinggal dalam pencapaian keadilan sosial-politik.

Kegagapan pemerintah mengucapkan ketegasan dalam soal-soal di atas justru menjadi peluang bagus bagi para perusak toleransi untuk menggagalkan upaya konsolidasi demokrasi. Memang ada situasi global yang ikut melatari pendalaman fanatisme di dalam negeri. Begitu juga obsesi-obsesi politik identitas masih kuat mengendap dalam pikiran sebagian elite. Tetapi, pilihannya adalah menolerir intoleransi atau bergerak dalam garis lurus kemajemukan.

Kita telah memilih sebuah Indonesia yang majemuk. Dan memang, hanya dalam kondisi itu kita dapat melanjutkan kemanusiaan yang maha esa dan mempraktikkan ketuhanan yang adil dan beradab.

*Pengajar Filsafat FIB-UI, Pendiri SETARA Institute

(Kompas, 3/1/2008)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

http://indonesia.faithfreedom.org