Sabtu, 17 Mei 2008

Kuasa Normalisme dalam Agama dan Negara

Oleh Slamet Thohari
28/04/2008

Banyak penelitian sudah dilakukan, bahwa tidak selamanya agama menjadi senjata pembunuh demokrasi. Namun, kerapkali agama ditemukan menjadi modal sosial pendukung demokrasi itu sendiri. Namun agama yang bagaimana? Agama yang transformatif tentunya; agama yang punya daya dorong untuk perubahan sistem masyarakat agar mampu mengakomodir segala hak manusia: hak eknomi, sosial dan budaya.

Islam, sebagaimana agama lain, adalah agama yang terikat dengan masa lalu. Karena itu, seringkali masa lalu menyelinap hadir membentuk nilai-nilai Islam. Masyarakat Arab tempat hadirnya Islam di abad ke-7 sudah barang tentu punya idealisasi dan utopianisme tertentu. Idealisasi tentang cantik, tampan, kesopanan, dan seterusnya. Jelaslah, Islam hadir di negeri Arab, dan ikut terikat pula oleh apa yang disebut al-Jabiri sebagai “imaji-imaji sosial” (al-mikhyâlul ijtimâ‘i) masyarakat Arab.

Perang dan pertikaian antar suku juga ikut mendorong imajinasi masyarakat Arab akan keperkasaan tubuh. Yang lemah tak sedikit dibinasakan. Bahkan Umar Bin Khattab, sebagaimana diceritakan dalam banyak buku-buku sejarah pra-Islam, pernah membunuh perempuan. Itulah jaman kebodohan. Bayi-bayi perempuan dibunuh (infanticide) karena dianggap tidak berkesesuaian dengan imaji tentang masyarakat yang kuat.

Nabi Muhammad pun pernah mengimpikan umat Islam yang kuat. Umat Islam setidaknya mesti bisa berenang, memanah, bergulat, berkuda dan seterusnya. Tubuh yang sehat adalah jubah bagi jiwa yang sehat, demikian semboyan kaum muslim. Lantas bagaimana dengan mereka kaum difabel (people with different ability) atau dalam bahasa “masyarakat normal” dibahasakan sebagai “orang cacat”? Bagaimana mungkin tunanetra bisa memanah, tunadaksa dapat bergulat, naik kuda dan seterusnya?

Sekilas, Islam pun tampak tak bisa dilepaskan dari produk budaya keperkasaan, sehingga sangat bias akan “normalisme”. Dalam banyak hal, berbagai format ibadah keagamaan Islam pun tampil dengan berbagai unsur yang abai terhadap kaum difabel. Haji yang menuntut kekuatan fisik, idealisasi salat yang berdiri dan seterusnya, adalah sebagian dari contoh bias itu.

Dalam pemahaman Islam yang populer, membaca Alqur’an dengan suara indah merupakan kebanggaan. Bahkan terdapat ilmu tajwid, agar membaca Alqur’an sesuai dengan spelling dan bunyi orang Arab bicara. Bahkan, bunyi itu kemudian diseragamkan menjadi style bacaan orang Quraisy. Lantas, bagaimana dengan tunarungu yang jika otomatis tak bisa mendengar, juga kesulitan untuk bicara.

Bias “orang normal” juga dapat kita temukan pada banyak hukum-hukum agama yang terkadang menomorduakan kaum difabel. Seperti untuk menjadi imam salat, pemimpin negara, dan seterusnya. Jadi, ada banyak kuasa tertentu yang terselinap dalam pemahaman Islam. Salah satu kuasa yang paling akut adalah kuasa “orang normal”.

***

Di masa kini, agama akan selalu diuji doktrin-doktrinya. Namun setiap doktrin adalah sebuah siasat dalam meyisihkan dan memilih rentetan kenyataan. Dari siasat itu berbagai argumen dibangun, demi sebuah tujuan: kebenaran. Dan kebenaran lalu menjadi keyakinan, direproduksi terus-menerus sehingga tampak tidak tergoyahkan. Padahal, ada banyak hal yang teralpakan, tak terpikir, dan terlupakan begitu saja. Demikianlah yang terjadi pada kaum difabel. Dalam sejarah agama-agama, mereka terlupakan, tersisih dalam proses perumusan sebuah kebenaran.

Ini pun terkait dengan kehadiran agama itu sendiri: selalu bersikap politis untuk konteks tertentu. Jika masyarakat menuntut kepentingan tertentu, maka agama pun lentur bersiasat menyesuaikan dengan musim kepentingan saat itu. Lantas, bagaimana jika kepentingan mayarakat selalu mengindap kuasa “normalitas”. Sudah pasti agama akan bersirkulasi mendukung “normalisme” itu sendiri.

Dalam postulat agama Islam memang ada ayat yang menyatakan tidak boleh bermuka masam tarhadap “orang buta” (Abasa: 1-3). Namun betapa banyak atribut-atribut lain yang justu menguntungkan “orang-orang normal”. Ibadah haji, salat, merupakan ibadah politik tubuh manusia. Memang terdapat ajaran, salat boleh duduk, boleh berbaring, karena alasan tertentu. Namun yang ideal tetap saja berdiri, sebab duduk dan tidur hanyalah kelonggaran (rukhsah). Setiap kelonggaran adalah tidak formal, dan tidak ideal atau pengecualian (istisna’).

Simak pula doktrin-doktrin Islam yang terkait dengan negara. Kitab al-Mawardi, Ahwalus Syiyasah wa Auliyatut Diniyah, merupakan contoh yang menekankan bahwa pemimpin yang baik dalam Islam adalah laki-laki yang tidak mengidap ketunaan atau kecacatan. Oleh banyak kalangan fundamentalis yang merasa eksespsionalis, alasan ini seringkali dijadikan argumen untuk menentang Gus Dur yang tunanetra itu sebagai presiden. Ini pula yang terjadi pada pemahaman tentang hewan kurban yang tidak boleh cacat. Sebab “kecacatan” adalah masalah yang buruk bagi orang Arab saat itu.

Untuk itu, segala yang cacat tidak layak dihadiahkan kepada Tuhan, dan agama untuk kesekian kalinya hadir berpolitik untuk kontek tertentu: konteks Arab. Jika memilih hewan yang sempurna adalah masalah pengujian keseriusan dan keikhlasan, kenapa cacat menjadi simbol ketidakseriusan? Bukankah daging kambing yang pincang kakinya tetap juga nikmat? Dus, ada banyak nilai-nilai agama yang bias kenormalan.

***

Tapi memang, kuasa normal bukan hanya ada dalam Islam saja. Agama-agama lain juga punya sejarah buruk terhadap kaum difabel. Agama Yahudi yang konon banyak mengabsorbsi gagasan Yunani, terutama di masa Alexander Agung, beranggapan bahwa difabelitas merupakan hal yang berada di luar wilayah kesucian Tuhan. Leviticus bahkan meneguhkan, orang-orang buta yang mempunyai tangan satu, kerdil, dan mempunyai kecacatan yang lain, sebagai orang yang tak berhak untuk mendapat uluran kasih dari Tuhan (Colin, 1991: 2).

Demikian pula dalam agama Kristen, orang-orang yang melanggar aturan Tuhan, immoral dan bertindak jahat, akan mendapat hukuman dan Tuhan sendiri yang akan membutakan matanya. Cacat adalah suasana keburukan dan kesengsaraan. Hingga posisinya menjadi wilayah yang digunakan untuk menghukum orang-orang “jahat” dan keluar dari jalur Tuhan. Dalam Perjanjian Baru (New Testament) kitab Matius, Yesus sanggup menyembuhkan penderita lumpuh setelah mengabarkan bahwa dosa-dosa orang tersebut telah diampuni. Ini berarti kelumpuhan diderita karena gelimangan dosa, hingga kelumpuhan adalah balasannya (Colin, 1997: 19).

Lebih lanjut, Bibel selalu menghubungkan orang difabel dengan garis kekotoran dan dosa. Ini dapat terbaca pada apa yang dipercayai oleh St. Agustine, orang yang dipercaya membawa agama Kristen di dataran Inggris sekitar akhir abad ke-6. Agustine mengobarkan bahwa difabilitas adalah hukuman bagi turunya Adam dan dosa-dosa yang lain.

Pada abad pertengangahan, berkembang prasangka dalam benak masyarakat bahwa difabel selalu berhubungan dengan sihir atau kekuatan setan. Perempuan yang punya anak difabel, selalu diasosiasikan punya dan berani berhubungan dengan ilmu sihir (witchcraft). Paling tidak mempelajari ilmu sihir. Sehingga difabilitas yang diampu oleh anak tersebut merupakan hukuman sekaligus bukti “kejahatan” ibunya.

Sejarah kepedihan terus melekat pada kaum difabel. Dan agama untuk kesekian kalinya terus mejadi pendukung yang sangat penting bagi proses pengenyahan kaum difabel di dalam masyarakat. Sang pendobrak, rasionalis yang konon ajaranya menjadi inspirasi bagi perkembangan Eropa, Marthin Luther, juga terlibat dalam penggilasan orang-orang difabel. Komandan besar dalam reformasi Protestan tersebut, pernah menyokong dan memproklamasikan pembunuhan bayi-bayi difabel di Jerman. Ini terkait dengan streotipe orang-orang difabel yang dianggap sebagai “titisan setan” ( Colin, 1997: 12).

Tapi nilai-nilai demokrasi adalah harga yang sulit ditawar. Sebab demokrasi menghargai hak, termasuk hak kaum difabel yang termarjinalkan. Banyak penelitian sudah dilakukan, bahwa tidak selamanya agama menjadi senjata pembunuh demokrasi. Namun, kerapkali agama ditemukan menjadi modal sosial pendukung demokrasi itu sendiri. Namun agama yang bagaimana? Agama yang transformatif tentunya; agama yang punya daya dorong untuk perubahan sistem masyarakat agar mampu mengakomodir segala hak manusia: hak eknomi, sosial dan budaya.

Kaum difabel merupakan “kelompok minoritas” cukup signifikan bagi negeri ini. Ada sekitar 10 % orang difabel dari 250 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 25 juta orang. Mereka tetap sebagai warganegara yang mesti mendapatkan hak-haknya. Selama ini, hak kaum difabel di Indoensia tak pernah terpenuhi. Berbagai fasilitas publik seperti sarana pendidikan, ibadah, gedung teater, dan seterusnya, tidak dapat mereka nikmati. Sebab ada kuasa normal yang masih kuat melekat di sana. Karena itu, melibatkan kaum difabel dalam kajian agama tentu amat penting sebagai usaha clearing space atas kuasa normal yang benar-benar akut sekaligus usaha untuk mewujudkan masyarakat demokratis yang diimpikan setiap orang di negeri ini. Semoga!

Tidak ada komentar: