Sabtu, 17 Mei 2008

Islam Liberal; Menciptakan Kembali Indonesia

Oleh Daniel S. Lev
24/01/2002

Setahun lalu, ketika wacana Islam liberal pertama kali muncul dalam bentuk mailing list (islamliberal@yahoogroups.com), banyak orang yang menyangsikan masa depannya. Kini, terbukti mailing list itu telah menjadi sebuah wadah intelektual yang menarik, berbobot, dan berpengaruh, baik atas pengertian agama Islam maupun (mudah-mudahan) atas penciptaan kembali negara Indonesia.

Judul : Wajah Liberal Islam Di Indonesia Penyunting : Luthfi Assyaukanie Penerbit : Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal Cetakan : 2002 Tebal : xx + 300 halaman

Pengantar, Daniel S. Lev

Orang yang tak suka dengan tantangan intelektual yang serius, atau malas memikirkan gagasan-gagasan yang tak biasa, atau sudah merasa nyaman dengan apa yang ada, sebaiknya menjauhkan diri dari buku ini. Isinya lain dari yang lain. Membaca kembali diskusi, perdebatan, analisis, argumentasi, tafsiran, dan pertukaran pendapat yang terkandung dalam buku ini bukan hanya tak membosankan, malah semakin menggairahkan pikiran (dan kadang-kadang mengejutkan), seperti pertama kali saya membacanya dalam bentuk e-mail pagi hari setelah menghidupkan komputer.

Setahun lalu, ketika wacana Islam liberal pertama kali muncul dalam bentuk mailing list (islamliberal@yahoogroups.com), banyak orang yang menyangsikan masa depannya. Kini, terbukti mailing list itu telah menjadi sebuah wadah intelektual yang menarik, berbobot, dan berpengaruh, baik atas pengertian agama Islam maupun (mudah-mudahan) atas penciptaan kembali negara Indonesia.

Dari satu sisi, dapat diduga bahwa gerakan Islam liberal menjadi begitu cepat berkembang karena fenomena hipermodern komputerisasi dan e-mail, yang berimplikasi hanya pada kaum terdidik dan pengguna komputer (terutama dari generasi muda) yang tak takut dengan dunia “modern,” yang bisa ikut dalam wacana Islam liberal. Hal ini, sebagian mungkin betul. Tapi pandangan ini terlalu gampang dan kurang mendalam, karena kini Islam liberal sudah masuk koran dan radio, yang berindikasi pada kalangan peminat yang lebih luas dan kompleks. E-mail menolong perluasan pandangan Islam liberal, tapi tanpa landasan intelektual yang serius dan kuat serta audiensi besar yang haus terhadap pengertian baru, gerakan semacam ini tidak mungkin bertahan lama.

Dapat dimengerti jika di antara para pembaca buku ini akan ada yang merasa terkejut atau kagum atau bahkan marah dan jengkel. Kemarahan dan kejengkelan akan terlihat di dalam buku ini antara yang berdebat keras tentang satu atau lain isu. Ketegangan kelas tinggi sama sekali bukan hal baru dan tidak mengherankan dalam perdebatan tentang soal-soal agama mana pun juga. Malah dapat dikatakan bahwa dalam urusan agama (seperti juga dalam filsafat dan apalagi politik) yang sangat berbahaya adalah ketenangan yang keterlaluan.

Persoalan pokok adalah bahwa yang menafsirkan prinsip-prinsip agama, pada akhirnya, adalah manusia, dan kalau manusia itu tidak lagi berdebat tentang isi kepercayaannya, atau menyerahkan tugas itu pada kalangan pimpinan agama yang terlalu terbatas, akibatnya pembekuan agama terjadi. Justru ketegangan itu mengisyaratkan bahwa satu agama (atau filsafat, atau politik) belum mati, masih hidup dan masih melayani keperluan komunitasnya.

Sejak lama, setiap agama besar, yang mencoba memonopoli satu ajaran, pada suatu waktu pasti akan ditentang. Dengan kata lain, pertentangan itu adalah evolusi, perubahan, adaptasi, yang pelan atau cepat, pada keperluan manusia dalam sejarah yang terus-menerus mengalami perubahan. Tentunya, proses itu tidak gampang dan tak jarang menyebabkan perang, pembunuhan, siksaan, dan lain-lain sebagainya— sering atas nama Tuhan—yang bertujuan mencegah transformasi. Agama yang berhasil mengelak ketegangan itu, seperti juga negara yang berhasil menindas perdebatan politik, makin lama makin statis dan berorientasi pada kalangan pemuka (dan kepentingan) yang sangat sempit. Mendobrak keadaan semacam itu tak mungkin tanpa perdebatan, ketegangan intelektual, ideologis, dan juga politik. Dan untuk itu kadang-kadang perlu mempertanyakan ide dan prinsip yang paling mendasar, termasuk hingga pada akar eksistensi agama. Tanpa itu, sulit mengharapkan rekonstruksi.

Hanya saja, untuk menantang pemahaman agama tertentu demi menuju pemahaman lain (menyangkut nilai dan norma agama), menuntut keberanian yang luar biasa, kepercayaan diri yang cukup mendalam, rasa bertanggung jawab yang besar, selain imajinasi baru dan pengetahuan agama yang tebal. Dan perlu juga semacam sensitivitas pada titik sejarah yang mungkin terbuka pada pandangan baru. Semua itu—keberanian intelektual, rasa tanggung jawab, imajinasi, pengetahuan—terlihat jelas dalam kumpulan diskusi dan perdebatan dalam buku ini. Buku ini bakal memaksa siapa saja yang suka membaca akan terus membacanya hingga lupa makan dan tidur.

Orang mungkin akan bertanya: mengapa pandangan Islam Liberal begitu menonjol justru di Indonesia, dan justru sekarang? Tentu saja, seperti dapat tergambar buku ini, pandangan itu juga terdapat di Timur Tengah dan India-Pakistan sejak dulu, tapi jarang sebegitu terang dan terbuka seperti di Indonesia dalam setahun terakhir ini. Pertanyaan ini sulit dijawab. Tapi saya kira, perubahan mendalam memang lebih gampang di “pinggir” daripada di “pusat,” justru karena di “pusat” konstelasi agama (dan politik juga) lebih gampang diawasi supaya tetap terjaga “kemurniannya.” Dalam sejarah agama Katolik, misalnya, pergolakan dan pembaruan mulai dari luar Italia. Atau mungkin juga Indonesia agak lain dari yang lain karena ukurannya, karena sejak dulu agama Islam di Indonesia jauh lebih kompleks dan telah cukup lama terbiasa dengan konflik tentang isu-isu agama.

Pertanyaan kedua, kenapa sekarang?—lebih sulit lagi. Mungkin ada beberapa sebab, termasuk kebetulan sejarah yang terbuka untuk perubahan besar, karena negara sedang lemah, suasana politik dan sosial serta intelektual sangat labil, dan masyarakat mengharapkan perubahan. Selain itu, selama hampir empat puluh tahun sedang dibentuk dan dipersiapkan generasi baru pemikir agama yang terdidik, yang tidak merasa diri terisolasi dari kalangan intelektual lain, yang bisa membaca tentang agama lain, yang juga tidak malu memikirkan kembali sejarah agamanya (dan negaranya), dan malah tidak terlalu banyak mempersoalkan asal-usulnya (misalnya apakah ia dari Muhammadiyyah atau Nahdlatul Ulama).

Momen istimewa ini cukup penting. Seperti diterangkan dalam buku ini, pandangan liberal bukan hal baru dalam sejarah Islam, apakah di Timur Tengah atau di Indonesia sendiri. Pada tahun 1950-an para pemimpin partai Islam pernah melontarkan isu-isu pokok agama, tetapi jarang sekali secara terbuka. Pertentangan politik pada zaman itu menjadi hambatan pembicaraan, seolah-olah perdebatan tentang dasar agama merupakan pengakuan kelemahan prinsip partai yang berlandasan Islam (hal sama juga dialami Partai Katolik dan Parkindo). Hanya orang yang terbebas dari tuntutan politik sehari-hari, seperti Pak Hazairin, yang rela mengajukan pandangan baru secara blak-blakan.

Pimpinan Orde Baru, yang meminggirkan kepartaian agama, agak membebaskan umat Islam untuk memikirkan agamanya, lepas dari implikasi atau konsekuensi politik. Pada permulaan tahun 1970-an orang yang sebelumnya menjauhkan diri dari simbol-simbol agama tampak mulai bersembahyang lagi, ikut ke masjid, dan turut aktif dalam grup diskusi Islam—Islam sebagai agama, bukan Islam sebagai landasan politik. Dalam suasana itu, Nurcholish Madjid mencetuskan pandangan barunya (sebetulnya tidak sama sekali baru) yang merupakan salah satu langkah pertama dalam perjuangan Islam liberal. Dalam ceramah dan karangannya, dia berani memisahkan Islam sebagai sumber pandangan etika dan moralitas di satu sisi dari agama sebagai landasan politik di sisi lain, dan menekan pada yang pertama sebagai tujuan terpenting dan menolak yang kedua. Hanya saja, pada waktu itu tampaknya belum ada cukup banyak pemikir yang rela menerima anjuran Nurcholish sebagai pembukaan suatu debat baru yang sangat perlu. Saat itu keadaan belum matang.

Zaman sekarang lain, dan suasana juga lain. Islam liberal, yang berlandasan jiwa intelektual yang berani, terbuka, jujur, dan rela berisiko, memiliki akar yang kokoh dan karenanya hampir tak mungkin jika tak memiliki pengaruh. Dalam buku ini, yang menarik, isu-isu yang sangat peka dan “sensitif” dihadapi dengan santai. Setuju atau tidak setuju tidak jadi soal buat yang menyumbang pandangannya, dan semestinya tidak jadi soal juga buat pembaca. Sesudah diskusi pertama tentang Islam liberal di Timur Tengah, perdebatan makin hangat tentang agenda Islam liberal di masa depan, soal sekularisasi, rekonstruksi sejarah Alquran, dan teologi untuk negara modern. Dengan semua daya tariknya, buku ini bakal menarik perhatian orang (yang beragama Islam atau bukan), semoga semakin banyak yang mau membacanya, dan semoga buku-buku sejenis lainnya akan terbit sesudahnya (dan mudah-mudahan juga akan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain).

Satu hal lagi sebelum kata pengantar ini saya akhiri. Persoalan agama jarang terbatas maknanya pada agama saja. Sejak munculnya negara modern pada abad ke-17, ketegangan antara negara dan agama hampir tak pernah lenyap, dan harus diakui agama merupakan salah satu penjaga negara yang sangat penting. Pembaruan agama mau tak mau akan mempengaruhi juga pembaharuan negara. Yang menarik dalam gerakan Islam liberal adalah kehadiran—malah dapat dikatakan dominasi-- generasi muda, seperti juga terlihat pada gerakan reformasi lain sejak tahun 1998. Buku ini, meski secara eksplisit berbicara tentang agama, secara implisit juga mencakup nasib negara Indonesia.

Seattle, 24 Januari 2002

Tidak ada komentar: