Minggu, 05 Oktober 2008

Silaturrahmi Pemikiran



Catatan: Arief Gunawan, Dewan Redaksi Rakyat Merdeka Online

E PLURIBUS Unum, atau Satu Milik Semua, merupakan semboyan yang menggambarkan kemajemukan Amerika yang terdiri dari limapuluh negara bagian, yang penduduknya merupakan campuran berbagai bangsa di dunia: Eropa, Afrika, Asia, dan sebagainya.

Dari keturunan yang bercampur-aduk itu muncullah ras yang sekarang disebut sebagai orang Amerika. Masyarakat Amerika tidak punya asal etnis yang jelas, sebab sejak mula merupakan masyarakat multi-etnis.

Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrua. Kata Mpu Tantular yang menulis Sutasoma. Kemudian Mpu Prapanca yang menulis Negarakertagama menyatakan: Miteraka Satata, yang kurang lebih artinya sama dengan persamaan derajat dan persahabatan dalam politik dan hubungan antarbangsa.

Semboyan-semboyan ini merupakan refleksi dari tingkat kesadaran para leluhur negeri ini, yang waktu itu menjadi elit politik, terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Dari kesadaran itu pula barangkali para pendiri bangsa ini kemudian mendisain sebuah bentuk kebudayaan bangsa, yang merupakan susunan puzzle dari potongan-potongan kebudayaan daerah.

Pancasila kemudian menjamin pluralisme yang berkembang, walau sekarang seakan-akan sudah tidak dibutuhkan. Padahal sewaktu zaman pertikaian ideologi berakhir umat manusia memasuki, atau lebih tepatnya memasuki kembali, suatu zaman permusuhan etnis dan rasial yang lebih berbahaya.

Sikap permusuhan dari satu suku terhadap suku yang lain, menurut sosiolog Arthur Schlesinger, merupakan salah satu reaksi manusiawi yang naluriah.

Amerika Serikat memiliki sejarah yang cukup besar. Sejak masa revolusi orang-orang Amerika mempunyai azas kepercayaan nasional yang kuat. Perasaan yang kuat akan sebuah identitas nasional itu merupakan penyebab keberhasilan Amerika dalam mengubah ‘’keturunan yang bercampur-aduk’’ menjadi sebuah bangsa.

Bagaimana dengan Indonesia? Negeri dengan 18. 110 pulau, dimana 2/3-nya merupakan lautan yang kaya, yang nota bene para pemimpinnya tidak mempunyai visi maritim yang kuat.

Singkat kata, silaturrahmi pemikiran di antara para elit sangat dibutuhkan untuk menata kembali Indonesia baru dari perspektif kebudayaan. Sebagaimana para elit di Amerika yang kapitalistik itu meletakkan prinsip: mengembangkan watak nasional yang dilandaskan pada cita-cita politik bersama, dan pengalaman yang dihayati bersama ***. (iniorangbiasa@yahoo.com)

Tidak ada komentar: