Minggu, 05 Oktober 2008

Berislam dan Kemenangan

Dr HM Hidayat Nurwahid

Saat Idul Fitri, salah satu ungkapan yang paling populer adalah minal aidzin wal faidzin. Semoga kita semua dijadikan Allah termasuk golongan yang kembali (kembali kepada fitrah) dan termasuk golongan yang menang. Ungkapan ini adalah khas Indonesia. Kita tidak mendapatkannya di negara-negara Timur Tengah maupun kawasan Islam lainnya.

Ungkapan yang baik ini memang menandakan tentang kreasi umat Islam Indonesia dalam memaknai secara konstruktif bangunan beragama mereka. Sebab, dalam sejarah keberagamaan Islam di Indonesia jelas sekali dia dihadirkan dengan semangat salam (damai) tetapi kemudian menghadirkan kemenangan. Keberislaman orang Indonesia memang menghadirkan dinamika dan aksi yang unik yang mampu mendamaikan kehadiran Islam dan perilaku sosial serta budaya mereka yang tetap berpijak pada kekhasan tradisi Indonesia.

Ungkapan minal aidzin wal faidzin juga bermaksud menyegarkan ingatan dan komitmen umat Islam bahwa keberagamaan mereka mestinya bukan hanya dimaknai sekadar 'termasuk ke dalam golongan yang kembali' ke kampung halaman masing-masing. Tentu saja tradisi pulang kampung yang khas Indonesia itu, mempunyai makna positif.

Di situ ada makna silaturahim, mempertautkan kembali dua kelompok besar masyarakat yang masing-masing mewakili spirit positif. Mereka yang dari kota kembali pada tradisi kehidupan kampung yang manusiawi, ramah, saling menolong, saling peduli, untuk mengimbangi tata nilai kota yang didominasi kerasnya persaingan hidup, serta himpitan akibat derasnya pengaruh modernisasi yang menghadirkan sikap hidup individualistis, materialistis, dan hedonistis.

Namun, orang kota yang pulang ke desa juga menyebarkan budaya positif seperti budaya menghargai waktu, etos kerja, etos belajar, orientasi pada ilmu pengetahuan, dan keberanian untuk menatap dan berinteraksi dengan nilai-nilai yang modern kepada orang kampung. Niat untuk berbagi spirit positif itu tentu tidak boleh dibarengi dengan menyebarkan virus-virus negatif yang ada di masing-masing pihak ketika berinteraksi dan saling bersalaman, saling berkunjung, dan saling bersuka cita menyambut dan mengisi Lebaran. Jika itu tetap dilakukan, mereka semakin mengaburkan makna fitrah yang akhirnya akan menggali liang kubur bagi fitrah mereka sendiri.

Makna selanjutnya dari doa yang sangat indah itu adalah kembali pada fitrah. Sejak awal, umat manusia dibekali dengan fitrah al-Islam, sebagaimana dinyatakan Rasulullah SAW bahwa setiap anak manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah (HR Ahmad). Hadis ini menegaskan tentang fitrah manusia yang ternyata bisa berubah, bahkan murtad keluar dari al-Islam diakibatkan lingkungan yang terdekat maupun lingkungan sosial yang jauh sekalipun.

Al-Islam yang merupakan fitrah kemanusiaan, melalui Alquran, memberikan kepada kita ajaran mendasar bahwa fitrah manusia juga sangat terkait dengan risalah kehidupan yang harus mereka bawa dan harus mereka upayakan untuk mengulangi faktor sukses yang pernah dihadirkan dan dicontohkan oleh generasi Rasulullah dan para sahabat yang sukses merealisasikan nilai fitrah di dalam kehidupan yang nyata, terwujudnya masyarakat madani, the real civil society.

Beragama yang fitri yang mereka contohkan membawa pada hadirnya tiga risalah utama, yang disimpulkan oleh para ulama seperti Al Isfahani dan Yusuf Al Qaradhawi sebagai risalah ubudiyah kepada Allah SWT, imarah(memakmurkan kehidupan di muka bumi), dan khilafah. Tahqiqul ubudiyah (merealisasikan sikap ibadah kepada Allah SWT) adalah satu ajaran yang sangat mendasar tentang moralitas kehidupan, di mana manusia diingatkan kembali bahwa apa pun kondisi mereka, tetaplah hamba-hamba Allah yang karenanya tidak pantas takabur, berlaku zalim, kufur nikmat, apalagi lupa diri dan lupa kepada Allah SWT.

Bagi kelompok manusia yang belum berhasil, kurang berhasil, maupun gagal mereka tetap diingatkan bahwa 'apa pun kondisinya, tetaplah juga hamba Allah, yang tidak layak putus asa'. Dan, Allah Zat yang Maharahman dan Rahim itu selalu membuka rahmat serta kasih dan sayang-Nya bila manusia mau kembali kepada fitrahnya secara bersungguh-sungguh dan bersabar atas berbagai cobaan yang menimpa mereka.

Risalah kedua adalah merealisasikan tugas memakmurkan kehidupan (imaratul ardh). Sadar akan ubudiyah manusia, dan interaksinya dengan manusia yang lain, dengan alam, dengan teknologi dan bayangan mereka akan masa depan, membuat mereka menjadi disadarkan kembali bahwa risalah penciptaan mereka di muka bumi tidaklah untuk melakukan tindakan destruktif, menghancurkan kehidupan, merusak lingkungan, menghadirkan perilaku yang hegemonik dan monopolistik. Sebab, sikap-sikap semacam itu tidak akan menghadirkan kehidupan yang makmur yang menghadirkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya maupun bagi dirinya, yang akan hadir justru sikap hidup yang membuat dia menjadi resah, karena tidak bisa menikmati kehidupan dan akhirnya justru mematikan kehidupan.

Risalah yang ketiga adalah menegakkan prinsip khilafah. Dan makna khilafah dalam konteks ini bukan sekadar kepemimpinan dan sistem menghadirkan pemimpin Islam. Ia juga terkait dengan masalah perwakilan, regenerasi, kaderisasi, dan kepedulian terhadap masa depan generasi yang akan datang berikutnya. Itulah mengapa Allah menyebut Adam sebagai khalifah di muka bumi, padahal waktu itu belum ada komunitas masyarakat manusia yang lain, yang akan ia pimpin selain ia dan kemudian Hawa istrinya.

Menyadari ini, akan menyegarkan komitmen umat Islam untuk selain mementingkan hadirnya generasi baru yang lebih berkualitas, juga mementingkan hadirnya kepemimpinan yang akan dapat memandu umat untuk selalu beredar dalam fitrahnya. Dalam tataran sosial, tidak mungkin umat yang telah kembali pada fitrah dan dapat merealisasikan sikap hidup yang beribadah kepada Allah serta memakmurkan kehidupan, membiarkan diri mereka serta aktivitas kemanusiaannya menjadi centang perenang, hanya karena kepemimpinan yang hadir bukan dari pihak yang peduli pada masalah realisasi fitrah kemanusiaan.

Apalagi dengan mekanisme demokrasi, setiap anak umat adalah anak bangsa atau rakyat yang mempunyai kedaulatan yang tentu tidak boleh dimubazirkan. Sebab, perilaku mubazir dalam Alquran disebut sebagai saudaranya setan, dan itu sama saja dengan kondisi yang keluar dari fitrah.

Sekali lagi kita turut menyampaikan minal aidzin wal faidzin, sebab dengan pemahaman yang konstruktif terhadap ungkapan dan perilaku kembali seperti yang tersebut di atas, niscaya akan mendorong kembali semangat beragama yang menghadirkan kemenangan. Namun, salah satu aksioma akidah Islam menegaskan kemenangan semacam itu hanya dapat dicapai dengan realisasi jihad (kerja keras) dalam beragam lini kehidupan, ijtihad, kerja intelektual yang prima dan berkualitas serta mujahadah, yaitu kerja spiritual yang membangkitkan sikap hidup yang sabar, ikhlas, dan penuh tawakal kepada Allah SWT, sebagaimana dinyatakan di dalam akhir perjalanan turunnya surah-surah di dalam Alquran yang ditutup Surah An-Nashr.

Kemenangan dalam konteks al-Islam bukanlah melahirkan sikap hidup yang zalim, takabur, semena-mena, angkuh, dan riya', melainkan sikap hidup yang penuh dengan komitmen dan akhlak mulia dengan tasbih, tahmid, dan istighfarnya. Itulah salah satu pengejawantahan ketika Islam menjadi rahmatan lil alamin. Dan selamat ber-Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin, serta minal aidzin wal faidzin. Wallahu 'alam bish shawab.

Tidak ada komentar: