Jumat, 03 Oktober 2008

Haul Pemikiran Fazlurrahman

20 Tahun Wafatnya Sang Pembaru Islam

Oleh Malja Abror

Bagi Rahman, bunga bank tidak bisa disamakan dengan riba. Sebab filosofi keberadaan bank dalam sistem pembangunan nasional sebuah negara modern, di mana bunga merupakan salah satu unsur di dalamnya, adalah sebagai agent of change. Dengan begitu bank tidak bisa disamakan dengan riba yang bergerak di atas motif keperluan konsumtif-individual. Bunga bank memang tidak sempurna, tapi tidak bisa lantas serta merta ia disamakan dengan riba.

Amerika Serikat tahun 80-an: islamic studies sedang booming. Fenomena ini melahirkan banyak sarjana-sarjana mumpuni dalam kajian Islam. Pada garis terdepan, ada tiga tokoh yang layak disebut sebagai representasi tiga model gerakan dalam Islam. Pertama, Ismail Raji al-Faruqi, representasi dari kelompok revivalis. Kedua, Sayyid Hussein Nasr, representasi dari kaum tradisionalis. Ketiga adalah Fazlurrahman, representasi kalangan modernis atau neo-modernis.

Sementara itu pada akhir 90-an, ada tendensi gerakan neo-modernisme dikaitkan dengan gerakan Islam liberal. Hal itu, salah satunya, tampak dalam buku karya Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: Paramadina, 1999). “Itulah kenapa Jaringan Islam Liberal, merasa tergugah untuk mengadakan “selamatan” 20 tahun wafatnya Fazlurrahman dalam rangka mengenang pemikiran-pemikiran pembaruan beliau”, demikian Luthfi, dalam pengantarnya sebagai moderator pada diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal (JIL), Selasa (26/08/2008).

Pada Agustus 2008 ini genap 20 tahun sudah Fazlurrahman wafat. Ia, yang meninggal pada 26 Juli 1988, adalah tokoh yang berpengaruh luas dalam dunia pemikiran Islam, termasuk Indonesia. Untuk itu, pada hari Selasa (26/08) bertempat di Teater UtanKayu (TUK) Jakarta, diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal diselenggarakan dengan mengangkat tema “Haul ke-20 Fazlurrahman: Menghidupkan Kembali Pembaruan Islam di Indonesia”. Diskusi kali ini menghadirkan Dr. Bachtiar Effendi dan Hamid Basyaib sebagai narasumber. Juga Dr. Luthfi Assyaukanie, selaku moderator.

Pengaitan gerakan Islam liberal dengan gerakan neo-modernisme, langsung mendapatkan tanggapan dari Bachtiar Effendi yang mendapat giliran pertama menyampaikan presentasinya. Bachtiar, pengamat politik dan dosen Pascasarjana UI, melihat bahwa pengaitan gerakan Islam liberal dengan neo-modernisme harus dicek ulang lagi. Bagi Bachtiar, susah dicarikan titik temunya antara neo-modernisme dengan gerakan Islam liberal. Soal isu negara Islam misalnya, Fazlurrahman tidak menolak dan ia bersedia menerima gagasan tentang negara Islam, dalam hal ini negara Islam Pakistan.

Dengan senang hati Rahman menerima kenyataan bahwa Pakistan adalah negara Islam. Dengan senang hati pula Rahman memberikan nasehat-nasehat dan masukan bagi Jendral Ayyub Khan, pemimpin Pakistan kala itu. “Jadi kalau dikatakan bahwa Rahman adalah seorang neo-modernis dan neo-modernisme adalah identik dengan gerakan Islam liberal, maka hampir sulit dicarikan padanan contoh seorang muslim liberal yang bisa menerima gagasan negara Islam”, kata doktor politik Islam lulusan Ohio State University itu.

Meski demikian, penerimaan Rahman terhadap gagasan negara Islam Pakistan bukannya tanpa sikap kritis. Rahman berusaha memberi muatan dan isi yang berbeda kaitannya dengan negara Islam Pakistan.

Rahman, menurut Bachtiar, adalah sosok seorang sarjana multifaset yang kompleks. Dengan begitu, sebutan-sebutan seperti tradisonalis, modernis, neo-tradisonalis, neo-modernis tidak cukup tepat untuk diletakkan pada diri Rahman. Akan sangat reduksionistik ketika kita memberikan label-label itu pada sosok Rahman. “Kalau hanya membaca buku-buku Rahman mungkin bisa diterima label-label itu. Tetapi kalau kita masuk lebih jauh, melihat langsung bagaimana model dia mengajar, pandangan-pandangan dia saat di-interview tentang isu-isu tertentu, label-label itu akan meleset menangkap seorang Rahman secara tepat”, jelas Bachtiar.

Sebelum memberikan kesempatan kepada Hamid Basyaib untuk menyampaikan presentasinya sebagai pembicara kedua, Luthfi merespon pernyataan Bachtiar di atas. “Murid-murid Rahman sendiri sebenarnya juga gelisah dengan opini yang berkembang kaitannya dengan penerimaan Rahman atas gagasan negara Islam itu”, tutur Luthfi. Oleh karena itu mereka, para murid Rahman, membuat sebuah tulisan yang dimuat pada salah satu jurnal dengan judul “The Nature of Islamic State in Pakistan”. Menurut Luthfi, mengutip tulisan murid Rahman tersebut, negara Islam itu sendiri ada beberapa kategori. Ada yang disebut dengan secular-islamic-state, humanism-islamic-state, dan divine-islamic-state. “Nah, kira-kira tujuan para murid Rahman tersebut adalah ingin menempatkan Rahman pada posisi yang meskipun ia menerima gagasan negara Islam, tapi masih dalam posisi di mana hal-hal yang sekuler masih bisa masuk juga di sana”, jelas Luthfi.

Tak mau ketinggalan dengan adu statement di atas, Hamid Basyaib yang mendapatkan giliran kedua sebagai pembicara, langsung memberikan respon. “Inilah problem studi tokoh”, sahut Hamid. “Dalam studi tokoh, tidak bisa kita mencomot pendapat seseorang tanpa mengaitkannya dengan aspek waktu dan tempat di mana pendapat itu dibuat”, lanjut mantan koordiantor Jaringan Islam Liberal (JIL) itu.

Menurut Hamid, Direktur Eksekutif Strategic Political Intelligence (SPIN) dan Deputi Direktur Freedom Institute, dalam konteks negara Islam Rahman sangat mengecam al-Maududi. “Dan Rahman itu orangnya kalau sudah ngecam seseorang itu bisa sangat sarkastik dan menohok sekali”, seloroh Hamid. “Kata si Rahman kepada Maududi, kalau dalam negara Islam itu sistem yang berlaku adalah teokrasi yang berarti kekuasaan berada pada tangan Tuhan, lantas bagaimana kalau ada negara Islam dijajah oleh negara non-Islam? Bukankah itu berarti penjajahan dan sekaligus pelecehan terhadap Tuhan?”, demikian Hamid mengilustrasikan kecaman sarkastik Rahman atas Maududi.

Maududi sendiri memakai istilah teo-demokrasi dalam konteks negara Islam Pakistan. Maududi enggan untuk menyebut demokrasi, tapi juga masih malu untuk menyebut dengan istilah teokrasi.

Lebih jauh Hamid menambahkan, kontroversi tentang Rahman pertama-tama sebenarnya bukan soal penerimaannya atas gagasan negara Islam. Menurut Hamid, kontroversi tentang Rahman pertama-tama adalah lebih berkaitan dengan posisi dia sebagai direktur pada Institute of Islamic Research (Agustus 1962), lembaga riset yang di-endorse oleh pemerintah Pakistan pimpinan Jendral Ayyub Khan. Juga posisi Rahman sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Jabatan itulah yang membuat khalayak publik mempertanyakan integritas dan juga tanggung jawab moral Rahman sebagai sosok ilmuan.

Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan Islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.

Kontroversi itu berlanjut kala Rahman mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan dengan hukum bunga bank, penyembelihan hewan secara mekanis, posisi zakat atas pajak dan lain sebagainya. Bagi Rahman, bunga bank tidak bisa disamakan dengan riba. Sebab filosofi keberadaan bank dalam sistem pembangunan nasional sebuah negara modern, di mana bunga merupakan salah satu unsur di dalamnya, adalah sebagai agent of change. Dengan begitu bank tidak bisa disamakan dengan riba yang bergerak di atas motif keperluan konsumtif-individual. Bunga bank memang tidak sempurna, tapi tidak bisa lantas serta merta ia disamakan dengan riba.

Dalam hal penyembelihan hewan secara mekanis, Rahman berpendapat boleh menyembelih ribuan hewan dengan hanya menyebut basmalah sekali. Soal zakat, menurut Rahman, dengan mekanisme tertentu secara gradual zakat bisa dipersepsi sebagai pajak.

Hamid sendiri pada kesempatan kali itu berbicara berangkat dari aspek intellectual encounter (perjumpaan intelektual) dia dengan Fazlurrahman. Dari sini dia bercerita tentang awal mula dia berkenalan dengan gagasan-gagasan Rahman. Lewat buku pertama Rahman yang terbit pada tahun 1983, ia pertama kali berjumpa dengan gagasan-gagasan Fazlurrahman.

Gagasan Rahman yang menarik bagi Hamid adalah cara Rahman dalam melihat Hadis. Selama ini orang lebih terpaku pada mata rantai (sanad) sebuah hadis. Al-isnad min al-din (jalur mata rantai transmisi ilmu adalah bagian dari agama), demikian sebuah hadis menuturkan. Oleh Rahman diabaikan semua cara konvensional untuk melihat hadis sebagaimana yang tertuang dalam ilmu Musthalah Hadits. Rahman pun menawarkan cara penglihatan baru untuk menilai sebuah hadis.

Bagi Rahman, hanya ada dua tolok ukur dalam melihat hadis. Pertama, benturkan hadis dengan prinsip yang lebih tinggi, yaitu al-Qur’an. Kedua adalah kemasukakalan sebuah hadis ditinjau dari aspek sosial-historis yang ada pada masa nabi. Dan menurut Hamid, prinsip pembacaan hadis ala Fazlurrahman ini bisa diterapkan untuk membaca aspek-aspek lain dalam agama. “Setelah saya baca karya-karya Rahman, ternyata agama itu bisa dibicarakan secara demikian”, ujar Hamid.

Dengan cara pembacaan atas hadis seperti yang disarankan oleh Rahman, banyak hadis yang musti gugur. Hadis mengalami semacam inflasi, karena supply melebihi demand. Misal hadis tentang persamaan antara orang Arab dan orang non-Arab (la farqa baina ‘arabiyy wa ‘ajamiyy). Hadis ini morally correct, tapi historically wrong. Sebab persoalan supremasi Arab vis a vis non-Arab baru muncul setelah terjadi ekspansi Islam ke luar Arab. Dan itu berlangsung setelah nabi wafat. Juga hadis yang berisi tentang glorifikasi atas ulama, semisal hadis yang mengatakan bahwa tinta ulama lebih mulia daripada darah para syuhada. Hadis seperti ini juga pasti gugur, karena pada zaman nabi sudah tentu belum muncul (istilah) ulama dalam pengertian teknis seperti yang kita pahami sekarang.

Satu aspek dari Rahman yang mendapat sorotan agak serius dari kedua pembicara pada diskusi malam itu adalah ambisi Rahman untuk menciptakan semacam weltanschaung (world view) Islam. Ambisi yang serupa juga diidap oleh kalangan islamis. “Jadi Rahman dengan ambisinya untuk membuat semacam weltanschaung Islam menjadi semacam the other side of islamist”, ujar Hamid. “Selebihnya Rahman adalah seorang sarjana besar, meskipun tidak terlalu dianggap di kalangan sarjana Timur Tengah”, tegas Hamid di akhir presentasinya.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

fazlurrahman adalah pemikir besar... mmeiliki pemikiran yang kokoh dan juga susah ditebak...oleh sebab itu jangan kerdilkan beliau dengan ulasan-ulasan yang kurang bermutu dan tidak mendalam... beliau milik semua .. bukan hanya milik sebagian kelompok yang mengaku reformis..

fachry mengatakan...

artikel salah kaprah. pasti penulisnya liberal tulen