Jumat, 03 Oktober 2008

Pencerahan Berjamaah Ikhwanus Shafa


Oleh Novriantoni Kahar

Intinya, harmonisasi agama dan filsafat mereka bukanlah menghimpun kebenaran-kebenaran filosofis dengan kebenaran-kebenaran agama. Mereka tidak menunjukkan penilaian yang berat sebelah kepada salah satunya untuk kemudian sampai kepada sintesis yang menghimpun antara unsur-unsur yang sama dan berkesesuaian sebagaimana dilakukan al-Farabi dan Ibnu Sina. Namun upaya mereka tak lebih dari menghindarkan pertentangan (raf’un nizâ`). Dalam bahasa Adil Awa, mereka senantiasa berada di persimpangan jalan (fî muntashaf at-tharîq) antara iman dan akal, agama dan filsafat.

Ada anggapan bahwa dalam Islam filsafat tidak memiliki dasar institusional. Filsafat misalnya, tidak punya ruang yang cukup dalam kurikulum pendidikan. Dalam sejarah Islam, pun kebanyakan para filosofnya mempelajari filsafat secara otodidak. Hanya ada sedikit komunitas intelektual yang saling berhubungan satu sama lain. Fenomena ini menunjukkan adanya kelemahan yang fatal bagi pemikiran filosofis di dalam Islam. Demikian kurang lebih pendapat Antony Black. Namun untunglah, katanya lebih lanjut, terdapat iklim kebebasan intelektual di dunia Islam, khususnya Baghdad dan beberapa tempat lain, terutama karena sebagian penguasanya menyokong aktivitas intelektual (Black, hal. 126).

Ikhwanus Shafa mungkin bentuk perkecualian dari pendapat Black. Menurut Ed. G. Brown, “Filsafat yang sudah sekarat dan tengelam oleh hegemoni Turki, fanatisme Hanbali, dan meningkatnya kekuatan Asy’ari, kini kembali bernyawa dan menemukan daya ungkapnya dengan kemunculan kalangan ensiklopedis yang dikenal dengan sebutan Ikhwanus Shafa” (Awa, hal. 374). Komunitas bawah tanah ini diyakini cukup memberi warna dalam aktivitas berfilsafat di dunia Islam abad pertengahan. Bahkan, aktivitas mereka dianggap sebagai suatu proyek nan ambisius (masyrû’ mitsâli) yang berdiri kokoh di atas landasan ilmu, filsafat, serta teologi Muktazilah. Karena itu, mereka pun tak jarang disebut sebagai kaum Neo-Muktazilah karena upaya mereka untuk menghidupkan kembali etos keilmuan pendahulunya itu.

Mereka seakan-akan tidak terlalu gentar akan celaan khalayak dan intaian kaum Hanbalian. Berlatarbelakang Bashrah dan beberapa kawasan lainnya, ide-ide mereka berhasil diidentifikasi lewat 52 pasal risalah filsafat yang mereka tinggalkan: Rasâil Ikhwân as-Shafâ’. Gerakan mereka untuk mempertahankan semangat berfilsafat dan pemikiran rasional di masa rapuhnya Dinasti Abbasiyah abad IVH/XM cukup massif. Karena itu, kebanyakan penelaah Rasâil berkesimpulan bahwa tujuan Ikhwanus Shafa tidak semata-mata demi memenuhi kebutuhan intelektual dan spiritual. Penelaahan sederhana terhadap Rasâil menunjukkan adanya beberapa tendensi politik, terutama dalam gagasan-gagasan sosial kemasyarakatan mereka.

Besar kemungkinan, risalah mereka tidak ditulis oleh satu orang. Beberapa tokoh disebut ikut menyumbang tulisan. Mereka yang pernah disebut-sebut antara lain Ahmad bin Abdullah, Abu Sulaiman Muhammad bin Nashr al-Busti alias al-Maqdisi, Zaid ibn Rifa’ah, dan Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjany. Râsail sendiri dibagi menjadi empat bagian. 14 risalah bicara tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi, musik, geografi, estetika, modal dan logika. 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang mencakup genealogi, mineralogi, botani, hidup-mati senang-sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran. 10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup metafisika Phytagoreanisme dan kebangkitan alam. Dan 11 risalah lain tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, soal magic dan azimat.

Sistem Organisasi Ikhwanus Shafa

Sistem kenggotaan Ikhwanus Shafa disusun dalam bentuk tangga piramida. Dalam tangga piramida tersebut, para anggota ditentukan tingkatan keanggotannya mulai dari level terbawah sampai yang terpucuk. Faktor umur menentukan posisi di piramida. Mereka yang berumur 15-30 tahun akan menempati tangga terbawah dengan sebutan Murid. Di atasnya, yang berkisaran 30-40 tahun, dihuni oleh kelompok pengajar (Muallim). Di atas muallim terdapat Mursyid atau mentor yang berumur antara 40-50 tahun. Puncak piramida ditempati oleh kelompok yang dianggap punya tingkat spiritual yang tinggi (Washil) atau orang-orang yang senantiasa dekat kepada Allah.

Justikasi pemeringakatan itu mereka dasarkan dari ayat-ayat Alquran. Untuk kalangan murid 30, mereka menggunakan ayat 59 surat an-Nur, “Bilamana bocah-bocah kalian sudah mengalami mimpi basah…” Sementara peringkat muallim dijustifikasi oleh ayat 22 surat Yusuf: “Tatkala (ia) mencapai masa kematangan, kami anugerahkan kepadanya hukum dan pengetahuan.” Untuk tingkat mursyid, justifikasinya diambil dari surat al-Ahqaf ayat 15: “Di saat sampai masa kematangan, tatkala berumur empat puluh tahun, maka ia (Ibrahim) berkata..” Untuk peringat yang teratas, pembenarnya adalah ayat 27-28 surat al-Fajr: “Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rela-pasrah. Bergabunglah ke jajaran hamba-Ku, masuklah ke surga-Ku.”

Walau menggunakan sistem keaggotaan yang berjenjang, ketat, dan tak jarang dianggap tertutup, Ikhwanus Shafa tetap dapat menunjukkan sejaran filsafat sebagai sebuah gerakan orang ramai di dalam sejarah Islam. Antony Black meneyebutkan bahwa Ikhwanus Shafa telah berjuang keras menyebarkan gagasan mereka kepada rakyat kebanyakan. Ini berbeda dengan para filsuf lain yang tidak melakukan upaya semacam itu. Mereka yang terakhir ini sering—baik untuk menghidari kesalahpahaman maupun hukuman—sengaja menulis ide-ide mereka dengan cara tertentu, sehingga hanya segelintir orang saja yang dapat memahami pemikiran mereka. Mereka cukup puas melihat rakyat sudah menjadi saleh karena mengikuti hukum agama (Black, hal 136).

Ikhwanus Shafa tidak demikian. Justru risalah-risalah filsafat mereka ini ditulis untuk bahan ajar bagi kalangan menengah ke bawah dalam tangga piramida yang mereka tetapkan (Ma’sum, hal. 73). Namun begitu, filsafat mereka tidak berubah menjadi obrolan kakilima. Sementara untuk kalangan menengah ke atas, mereka menulis al-Risâlah al-Jâmiah, yang dianggap lebih kompleks, berisi, dan terstruktur rapi. Namun sesungguhnya target pasar propaganda Ikhwanus Shafa tetaplah kalangan muda. Ini terkait dengan pandangan mereka yang percaya bahwa jiwa tunas-tunas muda itu bagaikan kertas kosong yang belum tercoreng. Mereka siap menerima pengetahuan baru, belum fanatik, dan siap menyambut dunia baru. Kalangan tua-renta (al-masyâyikh al-harimah), bagi mereka sudah tak bisa diharap untuk berubah. Sejak dini mereka telah terbiasa dengan pandangan-pandangan keliru, kebiasaan buruk, dan perilaku kasar. Karena itu, “lebih tepat menyasar kalangan muda, terutama yang masih lapang dada, menyukai humaniora, dan pemula dalam telaah wacana”.

Untuk memperluas basis massa gerakan, Ikhwanus Shafa juga giat mencari pengikut maupun simpatisan. Menurut Arthur Sa’adev, propaganda Ismailiyyah (yang ia maksud secara spesifik adalah Ikhwanus Shafa) menarik bagi 3 lapisan masyarakat. Bagi kalangan yang tersisih, janji dan harapan mereka akan keadilan sangat memikat. Bagi kalangan penguasa daerah, propaganda dan ideologi mereka membantu upaya untuk mendapatkan otonomi lebih dari penguasa Baghdad. Sementara bagi kalangan terdidik dan tercerahkan, yang menarik adalah sikap toleran mereka dalam soal keberagamaan dan keterbukaan mereka terhadap semua agama sekaligus pengetahuan-pengetahuan baru yang bersifat sekular (Sa’adev, hal. 125)

Berdasarkan klaim Ikhwanus Shafa sendiri, mungkin saja jumlah mereka cukup besar dan lumayan tersebar luas. “Kita punya ikhwan-ikhwan dan para sahabat dari kalangan mulia dan terhormat, tersebar di berbagai kawasan. Sebagian adalah anak raja, putra penguasa, menteri, pekerja biasa, dan penulis. Sebagian lagi anak kalangan saintis, sastrawan, fukaha, dan juru dakwah agama. Yang lain anak pengusaha, karyawan, dan orang-orang yang bisa dipercaya. Dan untuk tiap-tiap mereka, kita sudah wakilkan saudara kita yang punya kecakapan dan pengetahuan untuk membimbing dan memberi saran dengan cara-cara yang lembut, santun, dan penuh cinta”.

Untuk taktik dakwah, tampaknya mereka lebih banyak mengandalkan jalur persuasi tanpa melakukan represi. Namun sistem jaringan dan sel tertutup yang mereka terapkan ini juga mengingatkan kita pada sistem yang digunakan oleh partai-partai dakwah modern (Ma’sum, hal. 81). Dalam sistem jejaring dan sel itu, setiap sel bertemu secara berkala dengan para pembimbing mereka untuk keperluan analisis sosial terhadap kejadian aktual, mengulas petunjuk dari atasan, dan menelaah risalah-risalah yang ditulis untuk mereka. Untuk itu para anggota sel berkewajiban, (1) berkumpul saban 12 hari; (2), mencari tempat aman bagi kegiatan; (3), bersuci dan bergaya secukupnya. Kehadiran bersifat wajib, dan tidak diperkenankan absen kecuali oleh alasan yang mendesak. Dalam pertemuan itu, wakil yang mengurus sel bertugas membacakan dan menjelaskan isi risalah mereka “…dari awal hingga akhir, risalah per risalah, makalah per makalah”. Di luar agenda rutin itu, para propagandis Ikhwanus Shafa juga diharuskan memperhatikan persoalan mental, fisik, dan problem kehidupan para anggotanya secara cermat. Di lain sisi, solidaritas in group mereka tampak begitu kuat. Itu misalnya terpancar dari kutipan berikut:

“…Tidak ada suatu komunitas yang dapat berhimpun untuk perkara dunia dan akhirat yang lebih mampu memberi saran antar sesama selain solidaritas dalam kelompok Ikhwanus Shafa. Anda harus tahu bahwa alasan yang membuat Ikhwanus Shafa berhimpun adalah untuk menunjukkan dan memberitahu setiap anggotanya bahwa suksesnya kehidupan dunia dan keselamatan akhirat tidak akan tercapai tanpa sikap gotong royong antara sesama. Sementara sebab yang dapat menjaga keutuhan perhimpunan itu tiada lain adalah cinta, kasih sayang, belas kasih, dan rasa iba di antara setiap individu di dalamnya.” (Jabbur, hal. 74).

Namun bagaimana jika ada dari mereka yang membelot jamaah? “Berikan penjelasan kepada mereka dengan kata-kata yang santun, dan nasehati mereka bagai orang yang masih berharap. Bila mereka tetap tidak sudi kembali, maka segera hapus mereka dari daftar anggota, putuskan perwalian, tidak lagi meminta bantukan mereka, tidak bergaul lagi dengan mereka, tidak berbincang tentang ilmu kita, menutupi rapat rahasia kita, dan menasehati ikhwan-ikhwan lain untuk menjauhi mereka.” Pendek kata, mereka tampaknya mencukupkan para pembelot dengan bentuk pemecatan dan sanksi sosial, tidak sanksi lain, apalagi menganjurkan kekerasan (Ma’sum, hal. 85). Dalam sistem seperti itulah Ikhwanus Shafa memasyarakatkan pemikiran filosofis dalam masyarakat Islam abad pertengahan.

Persimpangan Agama dan Filsafat

Karena hubungan antara agama dan filsafat selalu berlangsung antagonistis dalam masyarakat Islam, mau tidak mau Ikhwanus Shafa harus menentukan sikap soal hubungan antara keduanya. Tidak hanya mereka, al-Kindi dan al-Farabi pun telah melakukannya. Mereka secara umum berusaha mendekatkan atau melakukan harmonisasi antara keduanya. Defenisi dan kategori-kategori pun dibuatkan baik untuk agama maupun filsafat. Misalnya, Ikhwanus Shafa berpendapat bahwa agama mengandung dua unsur, yaitu unsur teoretis dan praksis. Ketika hendak melakukan perbandingan antara agama dan filsafat, yang mereka maksudkan dengan agama di situ adalah aspeknya yang teoretis.

Sementara tentang filsafat, mereka menakrifkannya sebagai “upaya untuk meneladani Tuhan sebatas kemampuan manusia.” Dalam urainnya, Ikhwanus Shafa tidak melihat adanya pertentangan antara filsafat dengan agama, apalagi perseteruan. Memang, keduanya berbeda dalam ruang lingkup (majâl) dan instumen pencapai tujuan (adât). Keduanya pun dianggap punya kepribadian dan struktur tersendiri. Hanya saja, keduanya berkesesuaian dalam tujuan. Menurut mereka, tujuan para nabi dalam membawa agama (nâmus) dan aturan hukum (syariah), sejajar dengan tujuan para bijak-bestari yang menjabarkan sisasat untuk memperbaiki dunia. Bahkan tidak hanya untuk perbaikan perkara dunia, “…tujuan mereka semua adalah memperbaiki dunia dan agama sekaligus. Tujuan terjauh keduanya adalah menyelamatkan jiwa-jiwa manusia dari cobaan dunia dan penderitaan penghuninya. Juga menuntun manusia untuk sampai pada kebahagiaan akhirat dan mereguk kenikmatannya” (Ma’sum, hal. 127).

Artinya, pada akhirnya agama dan filsafat berkesesuaian dalam tujuan (al-ghâyah) meski berbeda dalam cara (al-wasîlah). Berkesesuaian dalam maksud dasarnya dan itulah nan pokok (al-ashl), walaupun berbeda dalam percabangan (al-furû). Perhatikanlah pernyataan mereka: “Ketahuilah bahwa ilmu-ilmu kearifan dan syariat kenabian itu keduanya adalah amar Ilahi. Keduanya berkesesuaian dalam tujuan yang hendak dicapai dan inilah yang pokok (al-ashl) meskipun berbeda dalam soal cara (al-wasilah). Itu dikarenakan tujuan puncak dari filsafat adalah meneladani Tuhan sebatas kemampuan manusia sebagaimana sering kita sebutkan dalam risalah kita. Adapun soko gurunya adalah empat perkara…” Keempat perkara itu adalah: 1. Mengetahui hakikat alam raya; 2. Menganut keyakinan yang benar; 3. Berkelakuan terpuji; 4. Bertindak cerdas. Semua itu pada akhirnya akan membawa manusia ke alam malakut dan setara dengan malaikat. Sementara perbedan dalam cara, tak lain karena adanya perbedaan perangai manusia dan motif-motif yang selalu berubah dalam mental seseorang. Ini persis seperti upaya seorang tabib yang harus senantiasa mendiagnosis penyakit untuk tiap-tiap pasiennya, lalu menuliskan resep yang sesuai dengan masing-masing penyakit yang diderita.

Bagi Ikhwanus Shafa, andai seorang nabi tidak mendapatkan wahyu, maka mereka sesungguhnya benar-benar seorang filosof. Seorang nabi tidak akan dipilih dan diutus Tuhan kecuali dari kalangan orang-orang arif-bijaksana atau seorang filosof (Ma’sum, hal. 128). Lalu darimana pula hikayat perseteruan antara agama dan filsafat berpangkal? Bagi mereka, itu hakikatnya adalah perseteruan antara orang-orangnya saja, bukan betul-betul gap antara filsafat dan agama. Sebagian ulama memusuhi filsafat “karena pendeknya sumbu pemahaman mereka tentang apa yang dikatakan kaum filosof. Atau, karena mereka memang tidak sudi meliriknya dan memfokuskan diri pada ilmu-ilmu syariat dan hukum-hukumnya. Atau karena arogansi saja.” Sementara fakta bahwa di pihak filosof ada yang mengingkari agama, itu tiada lain karena “hilangnya kesempatan mereka untuk mengerti kitab suci agama-agama karena emoh membahas dan meremahkan isinya, ataupun karena pendeknya pengetahuan mereka tentangnya.”

Namun filosof benaran atau agamawan yang tulus bagi Ikhwanus Shafa bukanlah masalah. Yang bahaya justru yang tanggung dan setengah-setengah: filosof bukan, ahli agama pun tidak. Mereka inilah yang oleh Ikhwanus Shafa disebut al-mujâdilah atau kaum polemis yang biasanya diasosiasikan dengan para teolog. Mereka-mereka ini, bagi Ikhwanus Shafa terhitung sebagai “manusia terburuk bagi ahli agama dan kaum asketisnya sekaligus; juga buruk bagi para saintis, dan paling keras permusuhannya terhadap kaum yang arif bijaksana.”

Demikianlah Ikhwanus Shafa tentang hubungan agama dengan filsafat. Intinya, harmonisasi agama dan filsafat mereka bukanlah menghimpun kebenaran-kebenaran filosofis dengan kebenaran-kebenaran agama. Mereka tidak menunjukkan penilaian yang berat sebelah kepada salah satunya untuk kemudian sampai kepada sintesis yang menghimpun antara unsur-unsur yang sama dan berkesesuaian sebagaimana dilakukan al-Farabi dan Ibnu Sina. Namun upaya mereka tak lebih dari menghindarkan pertentangan (raf’un nizâ`). Dalam bahasa Adil Awa, mereka senantiasa berada di persimpangan jalan (fî muntashaf at-tharîq) antara iman dan akal, agama dan filsafat. Caranya, dengan menjelaskan sebagaian teks-teks agama dengan konsep-konsep filosofis yang bagi sebagian orang di tingkat intelektual tertentu tampak sebagai sesuatu yang keren (Maksum, hal. 131). Bagi mereka, filsafat adalah metode rasional untuk memahami agama.

Untuk lebih jelas lagi, upaya harmonisasi antara agama dan filsafat itu dapat dilihat dari tiga perkara. Pertama, pengakuan mereka terhadap nilai yang terkandung di dalam pengetahuan yang bersumber dari wahyu. Kedua, menganggap nabi adalah filosof bila tak terlanjur mendapat wahyu. Ketiga, pandangan bahwa terdapat kandungan lahiriah dan batiniah dalam sumber-sumber ketentuan agama. Dan makna batin dari agama ini hanya dapat diselami oleh orang-orang yang andal dalam bidang keilmuan. Konon, kata Ikhwanus Shafa, sebuah kutipan hadis mengatakan, “Kalau Aristoteles masih hidup, niscara ia akan beriman kepadaku.” Hadis ini bagi mereka menunjukkan bahwa para bijak bestari pun akan sampai kepada kebenaran yang sama dengan para nabi.

Namun, bukan tidak ada sikap kritis yang ditunjukkan Ikhwanus Shafa terhadap dogmatisme beragama. Mereka misalnya berpendapat bahwa, “…syariat telah dicemari oleh kebodohan dan bercampur-baur dengan kekeliruan-kekeliruan. Tiada jalan lain untuk mencuci dan mensucikannya kecuali dengan deterjen filsafat. Sebab filsafat mengandung kearifan dalam berkeyakinan (al-hikmah al-i`tiqâdiyyah) dan ketepatan dalam berkesimpulan (al-mashlahah al-ijtihâdiyyah). Namun begitu, harapan harmonisasi lagi-lagi tetap mengemuka. Misalnya dalam perkataan mereka: “Bila terjadi persekutuan antara filsafat Yunani dengan syariat Arab, maka sesungguhnya kesempurnaan telah tercapai (Iraqi, hal 45).

Inklusivisme dan Tujuan Politik

Tendensi politik Ikhwanus Shafa dalam Rasâil memang tidak dapat dibantah. Karena itu, banyak pendapat yang mendiskreditkan Rasâ’il sebagai bentuk yang halus dari propaganda sekte Syiah Ismailiyyah untuk merebut kekuasaan Sunni Baghdad. Thaha Husein misalnya menyebutkan, secara politis propaganda-propaganda mereka bertujuan untuk melakukan perombakan atau kudeta wacana di tingkat masyarakat untuk memperkuat basis perebutan kekuasaan. Namun pendapat seperti ini tidak begitu penting, karena semua mengakui bahwa Rasâ’il merupakan sebuah karya ensiklopedis yang berisi pandangan filsosofis yang kaya, disertai argumen rasional yang benderang dan meliputi banyak disiplin ilmu.

Bahkan, pendiri sekte Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pun, rupanya termasuk penikmat Rasâ’il. Dalam bukunya al-`Asal al-Mushaffa fî Tahqîqi Mushannifi Ikhwânis Shafâ’, dia berkomentar: “Ketika tuan Ahmad bin Abdullah—salah seorang yang disebut-sebut sebagai penulis Rasâ’il—menyangsikan berpalingnya umat Islam dari syariat Muhammad menuju ke filsafat, mereka lalu menulis Rasâ’il yang menghimpun segenap ilmu, kearifan, pengetahuan tentang ketuhanan, filsafat dan syariat (Tamir, hal. 13). Di sini tampak bahwa Ghulam Ahmad melihat karya ini sebagai bentuk tangkisan atau upaya defensif untuk menunjukkan bahwa rasionalisme masih mungkin di dalam agama.

Semangat keterbukaan terhadap setiap pengetahuan, mazhab, agama, dan umat lain sangat jelas terlihat dalam Rasâil. Ikhwanus Shafa misalnya menganjurkan para pengikut dan simpatisannya “…untuk tidak memusuhi ilmu atau memboikot buku jenis apapun, juga tidak dogmatis dalam bermazhab, karena gagasan dan mazhab mereka melingkupi semua mazhab dan pengetahuan manapun.” (Sa’adev, hal. 126). Semangat keterbukaan itu ditunjang oleh penghargaan mereka yang tinggi terhadap akal. Bagi mereka, posisi akal pada manusia sama dengan imam atau pemimpin suatu komunitas untuk menentukan keputusan akhir.

Bagi Arthur Sa’adev, akal mereka bersifat terbuka dan kritis. Itu misalnya dapat disimak dari pesan mereka kepada para pengikut: “Berupayalah saudaraku untuk menyingkap kebenaran yang dianut oleh setiap agama dan mazhab. Janganlah terpaku dengan apa yang kau anut saja dari agama dan mazhabmu. Carilah yang lebih baik. Bila kau terjumpa yang lebih baik itu, jangan pula berhenti dengan yang mutunya lebih rendah. Engkau harus mengambil dan berpindah kepada yang lebih baik. Jangan pula terlalu menyibukkan diri dengan keburukan mazhab orang lain. Tapi periksalah: apakah engkau punya mazhab yang tidak bercela?” (Saadev, hal. 128)

Namun di luar keterbukaan mereka di bidang agama, tendensi politik pergerakan mereka tetap menjadi lahan perdebatan. Yang tidak dapat disangkal adalah kenyataan bahwa mereka hidup dalam lingkungan Syiah, meskipun tidak berafiliasi pada sekte manapun. Misalnya itu terlihat dari pernyataan-pernyataan seperti: “Ketahuilah wahai saudaraku, di antara kita ada sekelompok orang dari yang seagama dengan kita; mereka mengakui kebaikan kita dan Ahli Bait kita, tapi mereka tidak mengerti akan ilmu kita dan abai akan rahasia-rahasia agama dan kearifan dari kita. Karena itu mereka menentang keberadaan kita dan ingin melenyapkan eksistensi kita” (Ma’shum, hal. 275).

Terlepas dari itu, mereka punya visi politik tertentu dan utopia tentang masyarakat yang hendak mereka bangun. Jelas terlihat, aktivitas Ikhanus Shafa bertujuan menyiapkan manusia (i’dâdul insân) untuk menjadi manusia bermartabat (insân fâdhil). Persiapan itu misalnya dilakukan dalam bentuk pertemuan-pertemuan mereka yang berisi analisis persoalan yang mereka hadapi dan upaya mencari jawabnya. Lalu, penentuan struktur mental dan sosial dari negara utama (al-madînah al-fâdhilah) yang mereka cita-citakan. Tendensi politiknya tampak di sini. Tapi bukankah itu sah-sah saja? Tidak sah pada masanya! Sebab, sebelum menggagas konsep tentang negara utama, Ikhwanus Shafa lebih dulu melakukan analisis sosial politik terhadap zamannya. Umpamanya dengan mengkritik suksesi kekuasaan yang tidak sewajarnya. Ketika khalihfah baru terpilih, “mereka bersegera menangkap keluarga penguasa sebelumnya sebagai balas dendam atas bapak dan para pendahulunya. Mereka menyiksa, bahkan mungkin membunuh paman dan saudaranya, sepupu dan para kerabatnya. Mereka bisa juga dipenjara atau diasingkan, atau dilenyapkan sama sekali”. Menurut Ikhwanus Shafa, kebiasaan demikian itu bukanlah bagian dari watak orang-orang liberal (wa laitsat hadzihil khishal min syiyamil ahrâr). Karena itu, Adil Awa menyebut mereka sebagai gerakan kaum liberalis yang ingin mengorganisasi kekuasaan dengan nalar dan menegakkan visi keagamaan berlaku untuk semua di dalam kekuasaan tersebut (Awa, hal. 375).

Paling tidak ada empat persoalan besar yang diidentifikasi Ikhwanus Shafa yang sedang merongrong fondasi sosial kekuasaan Baghdad abad ke-4 H atau 10 M. Keempat soal tersebut adalah (1) buruknya etos kerja, (2) kelirunya visi memerintah, (3) lemahnya etika, dan (4) bertumpuknya kebodohan. Pangkalnya bermula dari soal kepemimpinan yang lemah. Karena itu, Ikhwanus Shafa menggagas kriteria pemimpin yang baik. Keberadaan pemimpin memang mutlak dibutuhkan untuk keteraturan. Tapi orang yang menempati posisi ini haruslah orang-orang yang mempunyai sifat-sifat yang mendekati kualitas kenabian: rasional, matang, pencinta ilmu, jujur, adil, berdedikasi, dan asketis. Siasat yang mereka jalankan hedaklah bertujuan untuk kebaikan semua mahkluk dan memperlakukan semua makhluk dengan beradab.

Adapun insan kamil yang ingin disiapkan Ikhwanus Shafa, secara eksplisit disebutkan seperti sosok yang “…berilmu dan punya intuisi, bernasab Parsi, beragama Arab, bermazhab Hanafi, berestetika Irak, beretos Ibrani, berhaluan Nasrani, beritual Syami, berpengetahuan Yunani, berintuisi India, dan berperilaku sufi.” Itu untuk tataran individu-individu. Adapun untuk tataran sosial dan negara, mereka mengajukan konsep negara utama yang juga dipengaruhi The Republic Plato dan pandangan idealistis al-Farabi. Bagi Ikhwanus Shafa, karakteistik negara utama yang mereka canangkan “hendaklah berdasarkan rasa takut kepada Tuhan agar fondasinya tidak goyah. Juga diperkuat bangunan-bangunannya oleh kesatuan kata dan sanubari. Sementara soko gurunya haruslah berupa integritas dan dedikasi. Dan semua akan menjadi lengkap tercapai dalam nikmat yang berkeabadian.”

Sementara itu, faktor pendidikan memegang peran kunci dalam mempersiapkan negara utama itu. Fuad Ma’sum memerinci poin-poin yang dianggap penting oleh Ikhwanus Shafa untuk mencapai negara utama. Pertama, kebajikan utama ada pada pengetahuan. Dengan itulah manusia berkembang, maju dan bahagia. Kedua, pendidikan yang benar akan menguatkan sendi-sendi bermasyarakat. Pendidikanlah yang menyiapkan warga negara yang baik dan pemimpin yang adil. Ketiga, negara adalah institusi pengajaran. Bila negara menjalankan perannya dengan baik dalam mendidik warga, maka akan mudah saja menuntaskan segala masalah. Keempat, pemegang kekuasaan negara hendaklah kelompok elit yang punya kualitas keilmuan dan budi pekerti yang baik. Kelima, perlunya spesialisai dan pendidikan profesi bagi mereka yang akan memegang jabatan di negara. Keenam, sebagaimana Plato mengkritik kondisi rezim politik di masanya sebagai kendala utama perubahan, Ikhwanus Shafa pun menganggap rezim politik yang korup sebagai pangkal masalah. Ketujuh, perlunya menghilangkan ketidakadilan kelas. Setiap warga negara yang berprestasi dan berdedikasi berhak untuk sampai ke eselon tertinggi kepemimpinan negara (Ma’sum, hal. 324-325).

Pendek kata, Ikhwanus Shafa memancang tujuan terjauh dari konsep negara utamanya untuk mempersiapkan masyarakat manusia secara mental, pemikiran, kelakuan, untuk mencapai kebahagiaan. Tidak ada tujuan yang lebih tinggi daripada kebahagiaan. Dan kebahagiaan spiritual, bagi mereka melebihi kebahagiaan material. Ini sesuai dengan pemeringkatan jiwa-jiwa manusia ala Ikhwanus Shafa. Dan semua gagasan tentang negara utama itu mereka lontarkan setelah melakukan analisis terhadap persoalan sosial politik yang berlangsung di masanya, dan referensi masa-masa sebelumnya. Kalau itu yang dimaksud dengan tendensi politik Ikhwanus Shafa, bukankah tidak mengapa juga?

Pengaruh dan Penutup

Pengaruh Ikhwanus Shafa dapat ditilik dari pergerakan dan aktivitas pemikiran yang datang belakangan. Adil Awa membuat daftar tentang gerakan-gerakan dan kaum intelektual yang ikut terinspirasi oleh Ikhwanus Shafa dalam pemikiran ataupun karya mereka. Sebagaimana Ikhwanus Shafa terpengaruh oleh pemikiran Muktazilah dan gagasan dari semua agama, mereka pun mempengaruhi sosok-sosok pemikir besar seperti Abu al-Hayyan at-Tauhidi. Memang, at-Tauhidi yang diduga sebagai salah seorang propagandis mereka menggunakan kamuflase untuk mengelabui keberingasan Ahlus Sunnah. Ia yang cenderung berpikir filosofis sengaja melakukan kritik terhadap Ikhwanus Shafa (Awa, hal. 381).

Pada pemikir Kristen, Ikhwanus Shafa ikut mempengaruhi Yahya bin Adi (w. 363H/974 di Bagdad) terutama soal pandangan-pangangan humanisnya. George Zaidan pun berpendapat, “Filsafat dalam maknyanya yang hakiki tidak dikenal masyarakat Andalusia kecuali setelah sampai pada mereka Rasail” melalui intelektual Yahudi seperti al-Majrithi dan al-Kirmani. Penyair besar Arab, Abdullah al-Ma’arri juga tampak terpengaruh Ikhwanus Shafa karena ia pernah mengikuti pengajian Ikhwanus Shafa cabang Bagdad.

Yang terpengaruh dalam dosis yang paling tinggi adalah al-Ghazali. Beberapa karya al-Ghazali, baik dalam Maqâshid, al-Munqidz, maupun Ihyâ’, menunjukkan adanya jejak-jejak Ikhwanus Shafa. Hanya saja, de Bour menilai al-Ghazali telah mencampakkan filsafat kelas bintang lima Ikhwanus Shafa, lalu mengantinya dengan filsafat kaki-lima (Awa, 383). Sementara Ibnu Khaldun, belakangan ini bukan hanya dianggap terpengaruh, bahkan dituduh sebagai plagiat Ikhwanus Shafa, terutama dalam teori-teori tentang peradaban. Dalam bidang pergerakan, Ikhwanus Shafa juga mempengaruhi agama Druz dan gerakan Hasyasyin (Assasin) dan dianggap punya andil besar dalam membendung gerakan sayap ekstrem Syiah Ismailiyyah, kelompok Qaramitah. Karya mereka juga sangat berpengaruh di kalangan Syiah Ismailiyyah di Yaman, Mesir, dan lainnya. Jadi, tidaklah sesat bila kita dengan serius menelaah karya yang amat berharga ini.

Daftar Pustaka:

Adil Awa, Haqiqat Ikhwân as-Shafa’. Damaskus: al-Ahali (1993).
Antony Black, Pemikiran Politik Islam, Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini (terjemahan Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati). Jakarta: Serambi (2006).
Arif Tamir (editor), Turâts Ikhwân as-Shafâ’: Jâmiul Jâmi`ah. Beirut: Maktabatul Hayat.
Arthur Saadev & Taufiq Salum, al-Falsafah al`-Arabiyyah al-Islâmiyyah. Beirut: Darul Farâbi (2000).
Athif Iraqi, al-Falsafah al-`Arabiyyah wat Tharîq ilal Mustaqbal. Kairo: Darur Rasyad (1988).
Nadiyah Jamaluddin, Falsafatut Tarbiyah `inda Ikhwan as-Shafâ’. Kairo: al-Markaz al-Arabi lis Shahafah (1983).
Jabbur Abdun Nur, Ikhwân as-Shafâ’. Kairo: Darul Ma’arif (1983, cetakan keempat).
Ja’far Ali Yasin, Falâsifah Muslimûn. Kairo: Darus Syuruq (1987).
Fuad Ma’shum, Ikhwân as-Shafâ: Falsafatuhum wa Ghâyâtuhum. Suriah: Darul Mada (1998).

Tidak ada komentar: