Selasa, 28 Oktober 2008

Kompleksitas Problem Umat Islam

17 Oktober 2008
(Tanggapan untuk Ibnu Djarir)

  • Oleh Tedi Kholiludin

DALAM tulisan berjudul ’’Empat Problem Umat Islam Indonesia’’, Ibnu Djarir dengan cukup baik memetakan problematika umat Islam Indonesia dewasa ini. Kemiskinan, erosi moralitas, egoisme kelompok, serta posisi umat Islam dalam tarikan konservatisme dan liberalisme ditengarai sebagai masalah besar yang menghinggapi umat Islam Indonesia saat ini (SM/10/10).

Meski begitu, yang terjadi di lapangan tentu tidak hanya berkutat pada empat sudut masalah. Pemahaman keagamaan yang kaku, eksklusif, dan literalistik adalah salah satunya. Model itulah yang kemudian berimbas pada makin menguatnya arus formalisasi Islam, yang bagi saya adalah bagian lain dari problem umat Islam.

Dengan bertitik tolak dari mapping problem yang ditunjukan Djarir, saya hendak membangun tiang pancang argumentasi dengan maksud menambahi satu penyakit akut yang menghinggapi umat Islam. Dalam amatan saya, masalah inilah yang paling ruwet dan membentuk semacam lingkaran spiral yang menghubungkan antara pengetahuan, otoritarianisme, dan kekerasan.
Kegamangan

Satu aspek yang juga menjadi ganjalan dalam kehidupan umat beragama Indonesia adalah kegamangan kelompok-kelompok mainstream keagamaan dalam mengawal pluralisme. Lembaga-lembaga agama yang juga korporatis negara, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), berada dalam posisi ini.

MUI bimbang saat berhadapan dengan idealisme konstitusi dengan pragmatisme negara. Idealisme konstitusi telah nyata memberi kebebasan bagi siapa pun untuk memeluk agama dan beribadat menurut ajaran agamanya. Tetapi pragmatisme negara tetaplah ada pada logika dasarnya (baca: kekuasaan), sehingga tetap harus menunjukkan keberpihakannya.

Saya ingin memfokuskan bahasan pada aspek ’’kegamangan’’ tersebut, serta beberapa isu yang menyebabkan problematika umat Islam menjadi sedemikian kompleks. Uraian ini sepenuhnya disandarkan pada hasil survei mengenai indeks kebebasan sipil (civil liberties) di 210 negara dunia yang dilakukan oleh lembaga Freedom House, Amerika Serikat. Hasil survei terbaru dipublikasikan pada pertengahan September 2008 (www.freedomhouse. org).

Seperti diketahui, bahwa lembaga ini tiap tahunnya selalu mengeluarkan progress report mengenai tingkat kebebasan sipil. Untuk mengukur hak-hak politik Freedom House memakai tiga parameter yakni, proses pemilihan (pejabat publik), pluralisme dan partisipasi politik serta fungsi pemerintahan.

Sementara untuk kategori kebebasan sipil ada empat ukuran yang digunakan masing-masing kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, hak untuk berasosiasi dan berorganisasi, penegakan hukum serta otonomi personal dan hak-hak individu.

Lalu, di mana posisi negara kita tercinta? Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Freedom House, Indonesia termasuk dalam level atas. Artinya, negara kita memiliki tingkat kebebasan sipil yang baik. Dengan demikian Indonesia berdiri sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Cuma, meski termasuk dalam kategori negara bebas, tingkat kebebasan di Indonesia berbeda dari negara-negara maju lainnya.

AS, Australia, dan Inggris masuk dalam kategori bebas dengan raihan point tertinggi (1,0). Sementara Indonesia mendapat titel bebas dengan point 2,5: satu gerbong dengan El Salvador, Guyana, India, Jamaica, Lesotho, Mexico, Peru, Senegal, Serbia, dan Ukraina.

Sejak tahun 2006, indeks kebebasan sipil di Indonesia memang terbilang cukup baik dengan status free. Sebelumnya, status negara kita barulah sebatas partly free. Tentu ini menjadi torehan yang cukup baik. Ada beberapa catatan yang bisa dialamatkan pada hasil survei ini, terutama menyangkut aspek-aspek kebebasan sipil di Indonesia.

Seperti telah ditunjukkan di atas, salah satu aspek yang menjadi ukuran kebebasan sipil ada dalam dua gerbong, yaitu hak politik dan kebebasan sipil. Dalam mengukur hak politik, Indonesia mendapat angka lumayan bagus: 2. Artinya electoral democracy yang diperagakan dalam tata aturan politik kenegaraan menjadi salah satu daya tawar yang manjur. Bahwa di dalamnya ada political decay yang cukup memamahbiak, itu hal lain.

Penilaian yang sedikit menurun justru ada dalam kebebasan sipil, yang mendapat poin 3. Jika dilihat dari laporan yang diberikan Freedom House, yang menyebabkan Indonesia kedodoran dalam level kebebasan sipil, terletak pada aspek kebebasan berkeyakinan yang nyata-nyata bermasalah.

Dalam wilayah ini, Freedom House memberi poin 12. Sementara negara dengan jaminan kebebasan sipil yang tertinggi mendapatkan poin 16. Jika diambil rata-rata, berarti kebebasan berkeyakinan di Nusantara masih berada di simpang jalan atau setengah hati.

Sikap setengah hati itu disebabkan konstitusi negara ini sangat demokratis dalam menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Dengan segala keterbatasan yang ada, kita memiliki beberapa perangkat perundangan yang menjadi payung bagi kebebasan berkeyakinan.

Misalnya Pasal 28 (e) Ayat 1-2 dan Pasal 29 Ayat 1-2 Amandemen UUD 1945. Selain itu, ada juga UU No 39/1999 tentang HAM (Pasal 22) dan UU No 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Pasal 18).

Di lain pihak, fenomena paradoksal muncul pada aras implementasi. Di level akar rumput, gerakan yang mengatasnamakan agama kerap berujung pada tindakan kekerasan.

Mereka yang menjadi korban kebanyakan adalah warga yang memiliki pandangan keagamaan berbeda dengan pemahaman mainstream. Terhadap gejala ini, Freedom House setidaknya mencatat tiga isu penting yang menjadi lantaran jatuhnya harga kebebasan sipil.

Pertama, persoalan kesulitan administratif kependudukan yang kerap menimpa pemeluk ‘’agama tidak resmi’’. Saya kutipkan laporan Freedom House tentang hal tersebut ‘’ÖAnimists, Baha’is, and other members of unrecognized religions have difficulty obtaining national identity cards, which are needed to register births, marriages, and divorces’’.

Kedua, menyangkut fatwa MUI, terutama dalam penanganan masalah Ahmadiyyah. Hampir setiap tahun, masalah Ahmadiyyah selalu menjadi sorotan dunia internasional. Dalam posisi ini, MUI terkesan terus menerus mengumandangkan semacam campaign against heresy.

Bermasalah

Ketiga, isu menyangkut penerapan peraturan daerah berbasis syariah yang sedemikian menjamur di beberapa daerah di Tanah Air. Ini berarti, bahwa Indonesia memang menjadi negara yang betul-betul bermasalah dalam penegakan HAM. Meski secara umum Indonesia ditahbiskan sebagai negara dengan tingkat kebebasan sipil yang ‘’tinggi’’ (paling tidak menurut Freedom House), secarakhusus untuk urusan kebebasan beragama nampaknya perlu dicermati ulang.

Yang tampak di lapangan adalah tergerusnya kelompok minoritas oleh dua gerbong mayoritas: golongan dan kekuasaan. Mayoritas golongan adalah mereka yang besar dalam hal jumlah.

Mayoritas golongan bisa juga berarti kelompok yang tak terlalu banyak, tetapi seringkali mengklaim sebagai corong ‘’suara Tuhan’’, merasa paling benar dan tak segan menghajar kelompok lain yang berseberangan.

Sementara mayoritas kekuasaan tak lain adalah perwujudan benteng kekuasaan yang absolut. Sejatinya, kekuasaan ini diperuntukkan untuk menjaga dan menghargai kebebasan warganya. Namun, yang terjadi adalah kekuasaan yang otoriter ini selalu menyebabkan chaos di tengah masyarakat.

Survei tersebut bisa menjadi cerminan bagi kita, bagaimana kehidupan beragama kita dipersepsikan oleh orang lain. Dan dari situlah sebenarnya pelajaran berharga bisa dipetik, untuk kemudian melakukan rancang bangun kehidupan keberagamaan yang lebih pluralis, demokratis, dan berkeadaban. (32)

—Tedi Kholiludin, mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.

Tidak ada komentar: