Jumat, 03 Oktober 2008

Muhammad Imarah: Turâts, Tajdîd dan Relasi Agama-Negara

Oleh Tedi Kholiludin

Sosok Muhammad Imarah juga bisa dikategorikan sebagai seorang intelektual kelas kakap di Tanah Arab. Responnya yang cukup antusias pada dunia akademis, terutama dalam menyikapi tren pemikiran Islam, telah mengibarkan namanya dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam kontemporer. Salah satu karyanya dalam merespons pemikiran tokoh sezamannya, adalah sebuah buku berjudul Suqûthul Ghuluwwil Almcnî (Gugurnya Kenaifan Kaum Sekuler). Buku ini merupakan karya ilmiahnya dalam merespons pemikiran Muhammad Sa`id Al-Asymawi yang cenderung sekuler.

Dalam diskursus turâts dan tajdîd, nama Muhammad Imarah mungkin bisa disejajarkan dengan sosok Hasan Hanafi atau Muhammed Abed Al-Jabiry. Mereka sama-sama menyerukan umat Islam untuk kembali menggali dan berdialog secara kritis dengan khasanah intelektual klasik yang selama ini berada dalam wilayah unthinkable. Sementara untuk urusan relasi agama dan negara, Muhammad Imarah sering disetarakan dengan sosok Ali Abdul Raziq. Bagi mereka berdua, Islam dan politik adalah dua entitas yang berbeda dan tak mungkin disatukan. Dalam beberapa hal, Imarah mengritik tajam Abdul Raziq yang terkesan sekuler, tapi di lain sisi, dia banyak terpengaruh oleh gurunya itu dalam menginterpretasi wahyu Tuhan dalam konteks politik dan ketatanegaraan.

Muhammad Imarah atau Amarah lahir di Desa Sharwah-Qalain Propinsi Kafr Al-Syaikh Mesir dalam sebuah lingkungan keluarga yang sangat sederhana. Meski kondisi perekonomian keluarganya tidak berlebihan, minatnya di bidang pendidikan tidak lantas jadi berkurang. Terbukti pada tahun 1975, ia berhasil menggondol gelar doktor dengan disertasi yang berjudul Al-Islâm wa Falsafatul Hukm (Islam dan Falsafah Pemerintahan).

Sosok Muhammad Imarah juga bisa dikategorikan sebagai seorang intelektual kelas kakap di Tanah Arab. Responnya yang cukup antusias pada dunia akademis, terutama dalam menyikapi tren pemikiran Islam, telah mengibarkan namanya dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam kontemporer. Salah satu karyanya dalam merespons pemikiran tokoh sezamannya, adalah sebuah buku berjudul Suqûthul Ghuluwwil Almcnî (Gugurnya Kenaifan Kaum Sekuler). Buku ini merupakan karya ilmiahnya dalam merespons pemikiran Muhammad Sa`id Al-Asymawi yang cenderung sekuler.

Selain cukup responsif terhadap tren pemikiran baru, Muhammad Imarah juga termasuk pemikir Islam yang termat menghargai pemikiran pendahulunya. Di antara pemikir muslim yang selalu mengilhaminya dan untuk itu dia apresiasi melalui karya ilmiah antara lain: Muhammad Abduh (melalui buku Al-Imâm Muhammad ‘Abduh: Mujaddidud Dunyâ bit Tajdîdid Dinî [Imam Muhammad Abduh: Pembaru Dunia Melalui Pembaruan Agama]); Jamaluddin Al-afghani (melalui buku Jamâluddin Al-Afghânî: Munqidzus Syarq wat Tamaddun Al-Islâmî [Jamaluddin Al-Afghani: Pembangkit Dunia Timur dan Peradaban Islam]); Qasim Amin (melalui buku Qâsim Amîn: Tahrîrul Mar`ah wat Tamaddun Al-Islâmî), serta Abdurahman Al-Kawakibi (melalui buku Al-A`malul Kâmilah li Abdir Rahmân Al-Kawâkibî [Kompilasi Karya Abdurrahman Al-Kawakibi]). Apresiasinya yang cukup dalam terhadap tema-tema baru keislaman, di samping penghargaannya yang tinggi terhadap karya klasik Islam, telah menjadikan Imarah sebagai pemikir Islam kontemporer yang cukup disegani.

Revitalisasi Turâts

Salah satu tema besar pemikiran Muhammad Imarah adalah proyek revitalisasi turâts. Muhammad Imarah, seperti halnya Hasan Hanafi dan Muhammed Abed Al-Jabiry nampaknya masih mempercayai turâts sebagi kekuatan revolusioner yang tak pernah tersentuh (untouchable). Proyeksi turâts dalam konteks masyarakat muslim saat ini, merupakan sebuah dialog tradisi antar ruang, yang membutuhkan energi besar karena harus menggali kembali warisan masa lalu. Di dalam proyek ini terpendam kesungguhan untuk menjadikan turats sebagai teks baru umat Islam. Sebab dalam pandangan Muhammad Imarah, turâts bisa menjadi salah satu solusi problem umat Islam saat ini. Hanya saja kesadaran untuk mengembalikan nilai luhur turâts, ternyata belum muncul dalam ruang kesadaran umat Islam. Turâts selalu diidentifikasi sebagai rongsokan dogma kaku yang mengkristal, serta hanya berproses pada masa yang sudah lewat.

Bagi Imarah, turâts tidak hanya sekedar warisan budaya dan peradaban yang terkubur dan berada dalam kerangkeng pemikir masa lalu. Turâts baginya tetap masih diperlukan spiritnya pada saat ini, terutama dalam menghadapi kooptasi peradaban lain atas dunia Islam. Dengan demikian, starting point atau langkah awal untuk menghidupkan kembali turâts (ihyâ’ut turâts) dalam konteks masyarakat saat ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai turâts dan kontribusinya dalam setiap pranata kehidupan. Selain itu, umat Islam juga harus memahami adanya korelasi antara turâts dengan tujuan serta orientasi umat Islam saat ini.

Salah satu yang menjadi orientasi umat dalam rangka revitalisasi turâts, menurut Imarah adalah melalui optimalisasi fungsi dan peran akal dalam menerjemahkan wahyu Tuhan. Dengan kata lain, kebebasan berpikir yang dibangun di untuk menghidupkan kembali turâts harus menjadi salah satu tugas mahapenting umat Islam. Sebab, ternyata turâts membuka ruang yang cukup lebar bagi akal untuk dapat menemukan makna dari diturunkannya wahyu.

Hanya saja premis yang diterima oleh sebagian besar umat Islam tidak selalu mencerminkan hal di atas. Kebebasan berpikir selalu diasosiasikan dengan budaya Barat yang sudah sejak lama menyuarakannya. Jebakan discourse ini pada gilirannya akan menggiring kita pada kesimpulan bahwa umat Islam ternyata tidak punya banyak ruang dalam wacana kebebasan berpikir. Argumen yang dikemukakan para orientalis untuk mendukung tesis ini, biasanya didasarkan pada tiga hal.

Pertama, dalam kelompok Islam, hanya kalangan Muktazilah saja yang menyuarakan pentingnya kebebasan berpikir. Padahal dalam sejarah Islam, Muktazilah hanyalah sebuah sekte kecil. Kedua, kebebasan berpikir yang dianut kaum Muktazilah, itu pun menurut para orientalis, lebih karena pengaruh kalangan Kristen rasionalis yang masuk Islam. Ketiga, para orientalis juga mencermati bahwa Muktazilah sebagai kaum yang menyuarakan kebebasan berpikir, juga merupakan bagian dari rezim pro status quo dalam wilayah politik. Dengan demikian, poin kebebasan berpikir Muktazilah menjadi tereduksi oleh sikap politiknya sendiri. Dan ini akibatnya membuat kalangan orientalis meremehkan peran Muktazilah dan menyebutnya tidak banyak membuka peran akal.

Menanggapi hipotesa kaum orientalis ini, Muhammad Imarah tergerak untuk menyangkalnya. Kesimpulan ini, menurut Imarah sangat tergesa-gesa. Karena dilihat dari sudut pandang manapun, serta dalam corak kehidupan manapun, kaum Muktazilah jelas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada manusia. Baik dalam dimensi fikih, muamalah, akidah dan siyasah, kelompok Muktazilah tetap menjadikan kebebasan sebagai panglima dalam mewujudkan kemaslahatan.

Tapi menurut kacamata orientalis, idiom kebebasan berpikir yang berpijak pada nilai turâts sama artinya dengan tunduk pada iltizâmât (ikatan-ikatan agama yang rigid). Inilah yang menjadikan dua tema itu (kebebasan dan iltizâmât) menjadi paradoks. Ini kemudian berakhir pada keyakinan akan terkesampingnya kebebasan dari alam pikiran kaum Muktazilah. Padahal, kebebasan berpikir tidak bisa diartikan sama dengan kebebasan. Bila keduanya dilihat secara literal, pun tidak pernah menunjukan satu makna yang inheren.

Tapi disamping itu, secara jujur Imarah mengakui bahwa unsur kebebasan berpikir dalam Islam memang tidak cukup mendapat perhatian para orientalis. Ini disebabkan dalam kamus Muktazilah, frase yang digunakan untuk menandai upaya pembebasan nalar adalah idiom al-ikhtiyâr sebagai antonim dari al-jabr, bukan huriyyatul fikr, atau kebebasan berpikir. Sehingga, perbedaan pada level istilah yang dipakai menyebabkan perbedaan pada makna yang ditangkap. Padahal al-ikhtiyâr dalam perspektif kaum Muktazilah sama halnya dengan huriyyatul fikr, yaitu upaya untuk mengoptimalkan fungsi dan peran akal ketika menghadapi permasalahan yang mempunyai beberapa kemungkinan.

Meskipun demikian, Imarah tidak menafikan kenyataan bahwa kebebasan berikir sebagai salah satu produk kebudayaan Barat. Di sini terlihat sikap moderat Imarah. Imarah menganggap kebebasan berpikir sebagai warisan tradisi intelektual yang kuat bercokol dalam tradisi Barat. Maka dari itu, Imarah menganjurkan dialog, dengan tidak terjebak pada dikotomi Islam dan Barat. Selama ada produk peradaban Barat yang bisa ditiru dan sesuai dengan prinsip universalitas Islam, maka sangat memungkinkan untuk dijadikan basis epistemologi kajian keislaman. Karena menurutnya, al-hikmah dhallatul mu`min, anna wajadaha fahuwa ahaqqun nâs bihâ (kearifan merupakan barang tercecer kaum beriman; diamanapun mereka menjumpainya, mereka berhak merangkulnya). Dengan landasan itu, meski sebauah kearifan datang dari warisan “the other” yang berbeda (nonmuslim), asal selaras dengan nilai-nilai universal Islam, maka sepatutnya tetap dijadikan referensi.

Upaya penggalian turâts serta revitalisasi fungsinya, bagi Imarah tidak hanya berhenti pada temuan materi karya-karya para intelektual muslim seperti halnya karya Abu Utsman `Amru ibn Bahr Al-Jahidh (775-872 M) yang memuat berbagai inovasi serta dimensi baru dalam pelbagai hal yang dilandaskan pada kebebasan berpikir, ataupun filsafat Ibn Rusyd saja (Tafsir Mâ Ba`dat Thabî`ah dan lain-lain). Jauh lebih penting dari itu, perlu ada dialektika kritis dari para penggali turâts untuk menjadikan warisan intelektual itu lebih bisa menunjukan elan vitalnya. Sebab, jika turâts diejawantahkan “telanjang bulat” tanpa adanya usaha untuk menggali dan menyesuaikannya dengan konteks masyarakat, maka itu akan menyebabkan terkungkungnya nalar kreatif manusia dan menjebaknya dalam ortodoksisme. Dalam literatur umat Islam, piranti teologis yang sangat memungkinkan untuk berkreasinya nalar manusia dan keluar dari jebakan ortodoksisme, diformulasikan dalam bentuk ijtihad. Ijtihad harus dilakukan sebagai upaya untuk melakukan tajdîd (pembaruan). Karena hanya dengan tajdîd umat Islam akan tercerahkan, sekaligus dapat membuktikan fleksibilitas Islam dalam merespon pelbagai perubahan.

Otoritas Politik dan Pluralisme

Selain memokuskan diri pada upaya ihya’ut turâts atau revitalisasi turâts dalam skala makro, Imarah juga termasuk piawai dalam mencermati urusan politik dan ketatanegaraan. Ide-idenya tentang politik, dia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Al-Islâm Wsa Shultatut Dîniyyah (Islam dan Otoritas Agama), serta Al-Islâm wal Wahdatul Qaumiyyah (Islam dan Kesatuan Nasional) yang konon berhasil terjual 11.000 eksemplar hanya dalam waktu sepuluh hari (Issa J. Boulata: 2002).

Salah satu point pemikiran politiknya adalah kritikannya yang cukup pedas terhadap konsep hakimiyatuLlâh (kuasa Tuhan). Selain Syi`ah, menurut Imarah tidak ada komunitas Islam yang mengklaim adanya kemungkinan orang suci, utusan Tuhan, serta figur maksum dalam Islam. maka dari itu, tidak cukup alasan baik normatif maupun historis untuk membentuk kekuasaan atas nama Tuhan dalam Islam, khususnya dalam tradisi Sunni. Otoritas religius dengan mengatasnamakan Tuhan, menurutnya harus dihindari oleh umat Islam pada altar politik. Sistem pemerintahan apapun yang pernah ada dalam sejarah umat Islam, sama sekali tidak didasarkan atas firman Tuhan. Ini dibuktikan pada prosesi pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah dan khalifah lainnya. Semua didasarkan atas hasil ijtihad semata.

Meskipun demikian, ini tidak menunjukkan bahwa Imarah menganggap Islam memisahkan urusan agama dengan dunia (fashl). Menurut Imarah, dalam kasus yang bersifat ijtihadi, yang terjadi adalah pembedaan wilayah (tamyîz) antara agama dan dunia. Ini artinya, Islam tidak melepaskan urusan dunia secara radikal, untuk kemudian menyebabkan dunia tercerabut dari nilai luhur yang melandasinya (baca: Islam).

Hanya saja, memberi karakter religius pada dimensi politik atau sistem pemerintahan, menurut Imarah akan sangat bertentangan dengan semangat Islam. Karakter religius hanya akan tercermin dan berada pada wilayah yang penduduknya mempunyai keimanan tunggal. Sementara politik, terimplementasi pada ranah yang diwarnai oleh berbagai bentuk keimanan. Ini persis seperti yang tergambar dalam Piagam Madinah. Umat Islam dalam Piagam Madinah, berada pada ranah satu kesatuan ummah dengan kaum Yahudi, Banu Auf dan yang lainnya.

Dalam sejarah umat Islam, memang terdapat masa-masa yang oleh Imarah disebut sebagai masa gelap sejarah muslim. Banyak di antara para khalifah yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan status quo, serta memberangus lawan politiknya dengan menggunakan kekuasaan (agama) yang kejam. Dalam pandangan Imarah, ini merupakan salah satu miskonsepsi dari interpretasi umat Islam terhadap teks-teks keagamaan.

Otoritas keagamaan pada hakikatnya tidak boleh dipaksakan oleh satu orang kepada orang lain. Masing-masing individu tidak berhak menentukan doktrin keagamaan yang paling absah, meski ia seorang qadhi atau khalifah. Karena otoritas yang dimiliki oleh individu adalah otoritas madani atau sipil yang dibingkai dalam frame hukum Islam. Otoritas ini berwenang sebatas pada memberikan nasihat dan menyerukan amar makruf, bukan untuk memaksakan sebuah doktrin yang akan menyebabkan timbulnya logosentrisme.

Pada kerangka otoritas politik, Imarah menegaskan bahwa Islam tidak menentukan sebuah model yang ideal dalam menjalankan roda pemerintahan, baik dalam pengangkatan pemimpin ataupun mekanisme pemerintahan. Sebab logikanya, aturan politik dibuat untuk kepentingan bersama yang didasarkan atas kebutuhan masyarakat pada saat itu. Formulasinya tentu akan disesuaikan dengan evolusi pemikiran manusia itu sendiri, selain locus (tempat) dan habitus (kebiasaan, adat, ‘urf) yang mereka anut.

Selain itu, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Imarah menekankan pentingnya memahami perbedaan agama dan keyakinan (tasâmuh). Sebab, tujuan sebuah negara dalam menciptakan stabilitas, tidak akan terwujud jika masing-masing individu yang berbeda keyakinan tetap mengedepankan sentimen primordialnya. Imarah kemudian merujuk pada beberapa ayat Al-Qur`an yang menurutnya telah meletakan fondasi yang cukup kuat bagi umat Islam dalam menyemai benih-benih toleransi, seperti pada QS. Hud: 18, An-Nahl: 93, dan As-Syuro: 8. dalam keyakinan Imarah, pada dasarnya agama adalah tunggal pada esensinya dan plural pada sisi ritualnya.

Sehingga, pada akhirnya posisi umat Islam dalam menghadapi persoalan keduniaan akan bermuara pada dua prinsip. Pertama, umat Islam harus meyakini bahwa agama yang diturunkan Tuhan termaktub dalam ajaran-ajaran Al-Qur`an. Untuk membantu memahaminya, umat Islam harus mencari bantuan Sunnah dengan tetap mengedepankan akal dalam mengawal proses interpretasi terhadap Al-Qur`an tersebut. Kedua, dalam persoalan politik dan hal lain yang tidak ada dalam Al-Qur`an, maka umat Islam harus menetapkannya melalui mekanisme pendapat personal atau ijtihad.

Menurut Imarah, pembaharuan (tajdîd) agama hanya dimungkinkan akan terjadi jika umat Islam berani melakukan ijtihad. Menurut Imarah, iktimâlud din (kesempurnaan agama)dan tajdîd pembaruan,meski sekilas terlihat paradoks, sebenarnya adalah dua hal yang integral dan mencerminkan murînatut islâm atau kelenturan Islam. Kesempurnaan agama Islam hanya berhenti pada wilayah ushul (fondasi-fondasi pokok keagamaan). Tapi pada permasalahan furu` atau cabang-rantingnya, Islam belumlah sempurna. Makanya, ijtihad dan tajdîd adalah keniscayaan Islam. Ini tentunya dilakukan dengan mengedepankan kepentingan umat dan menjadikan Al-Qur`an sebagai landasan etika-moral.

Tedi Kholiludin, Mahasiswa Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo Semarang, Aktivis Komunitas eLSA (elemen Studi Agama).

Tidak ada komentar: