Jumat, 03 Oktober 2008

Manusia Baru Setelah Puasa

Jumat, 3 Oktober 2008 | 01:59 WIB

Toto Suparto

Banyak orang berharap ada perubahan dalam dirinya setelah sebulan berpuasa. Harapan itu tidak berlebihan sebab dari teologi hingga antropologi agama, perubahan seharusnya terjadi.

Sebulan berpuasa akan melahirkan manusia baru, yakni manusia yang lebih mengedepankan perilaku religi sekaligus merawat moralitas. Manusia baru tak membedakan sebelas bulan pasca-Ramadhan dan Ramadhan itu sendiri. Roh Ramadhan terus membimbingnya pada sebelas bulan lainnya.

Bukankah dari sisi teologi selalu diulang hikmah puasa? Menahan lapar dan dahaga merupakan pesan moral agar seseorang beranggapan ”dalam harta kita ada keringat orang lain”. Setumpuk harta yang dikumpulkan bukan hanya untuk kepentingan pribadi, di sana ada bagian dari orang miskin. Selain itu, menahan lapar akan membangun kesucian hati dan pikiran. Dalam taraf itu, seseorang akan bertindak berdasarkan kesucian hati dan mengupayakan cara-cara halal.

Periode peralihan

Manusia baru setelah puasa bisa ditelaah dengan teori liminalitas Victor Turner, ahli antropologi sosial. Turner meletakkan liminalitas sebagai aspek penting yang ada dalam sebuah ritual. Liminalitas dipahami sebagai tahap atau periode waktu di mana subyek ritual mengalami keadaan ambigu. Acapkali juga diartikan sebagai peralihan dan bersifat transisi.

Liminalitas memberikan kesempatan kepada orang untuk mengalami pengalaman dasar sebagai manusia di mana kesadaran akan eksistensi sebagai manusia meningkat. Juga memberi kesempatan kepada subyek ritual untuk merefleksi ajaran yang telah didapati. Lewat refleksi ini diharapkan ia dibentuk menjadi anggota masyarakat yang baru karena ada perubahan baik pandangan maupun kedudukannya.

Di dalam The Ritual Process, Turner menyebutkan, semua ritual melewati tiga tahap: separasi, liminal, dan reintegration. Meminjam konsep Turner ini, hakikatnya puasa melewati tiga tahapan dimaksud. Pada tahap separasi, subyek ritual meloncat dari alam profan ke dunia sakral. Tahap liminal diartikan suatu fase di mana subyek ritual mengalami keadaan yang lain dengan dunia fenomenal. Dalam tahap ini berlaku antistruktur, di mana dalam dunia fenomenal manusia dibedakan oleh struktur. Dalam keseharian seorang pejabat dan rakyat biasa jelas berbeda struktur. Namun, saat melaksanakan ibadah puasa, pembatas struktur tak berlaku.

Kemudian saat beramai-ramai merayakan kemenangan Idul Fitri merupakan tahap reintegration. Setelah mengalami penyadaran diri dan refleksi formatif, subyek ritual disatukan kembali dengan masyarakat sehari-hari. Namun, subyek ritual yang telah berpuasa mendapat nilai-nilai baru. Ia seolah menjelma menjadi manusia baru.

Kesalehan sosial

Dalam konteks ini, nilai-nilai baru dari proses liminalitas itu seharusnya berdampak positif bagi masyarakat. Esensi puasa bukan sekadar dimensi vertikal yang bakal lebih memahami hakikat dan makna ketuhanan, tetapi juga dimensi horizontal yang ditandai sejauh mana hasil ibadah itu mengalir kepada tetangga, kolega, kerabat, dan sanak saudara lainnya.

Justru saat masyarakat sedang menuju jurang kehancuran karena krisis moral, dimensi horizontal menjadi lebih bermakna. Betapa indahnya jika ”manusia baru” itu menularkan nilai-nilai baru yang tentu sarat bermuatan ajaran moral kepada sesamanya. ”Manusia baru” yang sehari-hari duduk di birokrasi akan menularkan nilai-nilai baru yang menyadarkan bahwa kleptokrasi merupakan sendi perusak bangsa dan agama. ”Manusia baru” yang pengusaha akan mengingatkan bahwa main suap merupakan penyimpangan ajaran moral. Juga ”manusia baru” yang menjadi anggota legislatif akan memberi contoh, mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi merupakan nilai baru yang dipetik dari proses liminalitas itu. Para ”manusia baru” dari kalangan ibu-ibu kian arif menjaga mulut agar para suami tak terjebak banalisasi korupsi. Para ”manusia baru” yang ibu-ibu itu memetik nilai baru yang akhirnya pandai membedakan fakta dan gosip.

Dimensi horizontal inilah lazim disebut kesalehan sosial. Mereka yang saleh adalah orang yang baik, unggul, dan mampu berbuat baik terhadap sesama serta memperbaiki lingkungan sekitar. Kesalehan sosial mengandung makna, orang itu memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosial dan alam sekitar, sekaligus mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan partisipatoris yang dilandasi tingginya kualitas iman dan takwa.

Ciri masyarakat yang memiliki kesalehan sosial itu bisa dilihat bagaimana mereka konsisten menempatkan hukum sebagai aturan main. Mereka juga mempunyai kepedulian sosial yang ditandai dengan kemauan berbagi dengan kelompok yang lemah. Selain itu, dicirikan oleh sikap toleran atas berbagai perbedaan yang ada serta kemauan kerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.

Alangkah indahnya jika kesalehan sosial kian menebal pasca- Ramadhan. Dari beberapa ciri saja bisa dibayangkan masyarakat yang terbangun dari ketebalan kesalehan sosial itu. Mereka paham aturan main sebenarnya sehingga hidup lebih disiplin dan tidak main terabas. Mereka paham makna kerja keras bukan bernafsu meraih kesenangan dengan cara secepatnya, korupsi misalnya. Mereka menempatkan perbedaan sebagai landasan hidup harmonis, bukan pemicu konflik.

Itulah ”manusia baru” yang diharapkan lahir pasca-Ramadhan. Jika saja ke depan tak menemukan ”manusia baru” dimaksud, liminalitas tak terjadi. Ramadhan hanya membangun kesalehan ritual, tanpa kesalehan sosial. Rugilah mereka yang melewatkan Ramadhan demi kesalehan ritual belaka dan merayakan hari kemenangan menjadi semu belaka.

Toto Suparto Peneliti di Puskab Yogyakarta

Tidak ada komentar: