Jumat, 03 Oktober 2008

Rayakan dengan Ketakwaan


Maknai Lebaran 2008 untuk Introspeksi

RUMAH TANGGA KEPRESIDENAN/ABROR RIZKI / Kompas Images
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan menteri Kabinet Indonesia bersatu melaksanakan shalat Idul Fitri 1429 Hijriah di Masjid Istiqlal, Rabu (1/10). Shalat Idul Fitri 1429 Hijriah ini juga diikuti Ny Ani Yudhoyono dan Ny Mufidah Jusuf Kalla.
Jumat, 3 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni mengajak seluruh umat Islam di Indonesia merayakan Idul Fitri 1429 Hijriah dengan semangat takwa. Menjalani silaturahim, menaburkan kasih sayang, menumbuhkembangkan solidaritas, dan ukhuwah, serta menebarkan maaf kepada sesama.

Dalam konteks kenegaraan, sikap takwa juga dapat melahirkan sikap optimistik, toleran, dan tenggang rasa, bukan menimbulkan pertentangan di antara sesama. Kehadiran orang bertakwa di setiap tempat dapat memberikan manfaat pada lingkungan, bukan menimbulkan keresahan, apalagi kekacauan.

”Allahu akbar, Allahu akbar, walilah ilham. Kalau boleh dibuat perumpamaan, puasa ibarat membangun suatu bangunan yang disebut takwa. Ketika bangunan itu sudah berdiri tegak, untuk selanjutnya harus dipelihara baik dengan melakukan perbuatan baik dan perbuatan terpuji agar bangunan takwa kita itu kokoh dan tidak roboh,” katanya. dalam ceramah seusai shalat Id di Masjid Istiqlal, Rabu (1/10).

Shalat Id di Masjid Istiqlal dipimpin Imam Ahmad Husni Ismail. Hadir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan pejabat tinggi negara. Sejumlah duta besar dan perwakilan negara sahabat juga tampak hadir di Istiqlal. Ribuan warga Jakarta dan sekitarnya ikut berjemaah dalam shalat ini.

Jalan tengah

Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah M Din Syamsuddin yang memberikan khotbah shalat Idul Fitri di Gelora Bung Karno mengajak umat Islam memaknai Lebaran 2008 ini dengan melakukan introspeksi diri sehingga dapat meningkatkan perannya dalam membangun bangsa dan peradaban dunia pada umumnya.

Ia mengkritik umat Islam yang telah terjatuh pada tiga masalah, yaitu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Menurut dia, ada kesenjangan sangat besar antara kuantitas umat Islam dan kualitas peran bagi peradaban dunia.

”Jumlah umat Islam 1,4 miliar atau 22 persen dari total penduduk dunia. Namun, sumbangan mereka terhadap pembangunan perekonomian dunia hanya 5 persen. Begitu pula dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, umat Islam nyaris menjadi konsumen daripada produsen,” katanya.

Fenomena yang sama juga terjadi dalam konteks Indonesia. Sebagai bagian terbesar dari bangsa ini, umat Islam belum mampu menampilkan peran terbesarnya. Umat Islam terjebak dalam persoalan bangsa yang makin rumit. Krisis ekonomi berkepanjangan mengakibatkan kemiskinan merajalela. Proses demokratisasi politik juga belum berlangsung secara ideal. Ditambah rendahnya daya saing bangsa di kancah internasional serta terjadinya krisis moral.

Untuk menyelesaikan masalah bangsa tersebut, menurut Din, umat Islam harus mengambil posisi jalan tengah. Mereka harus menjaga keseimbangan, baik dalam urusan beragama maupun dalam urusan duniawi.

Posisi jalan tengah yang dimaksud adalah bekerja keras, disiplin waktu, serta menerapkan sepuluh watak budaya merdeka. Hal itu, antara lain, adalah merdeka dari mementingkan diri sendiri, tirani perasaan benar sendiri, sifat-sifat feodalisme, budaya nepotisme, dan kebiasaan korupsi.

Din Syamsuddin mengatakan, makna Idul Fitri bagi umat Islam adalah kembali ke fitrah, yakni kesucian, kekuatan, dan kemenangan. Ibadah Ramadhan yang dilakukan selama sebulan penuh diharapkan menjadi ajang pelatihan intensif membentuk insan paripurna, yang berwatak mulia, positif, dinamis, progresif, dan responsif terhadap masalah-masalah di sekitarnya.

Sebagai insan beragama, umat Islam juga harus optimistis bahwa bangsa Indonesia mampu bangkit merebut kemajuan dan keunggulan.

Keteladanan

Sementara itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid saat menjadi khotib dalam shalat Id di Lapangan Sono Krido, Sunggingan, Kabupaten Boyolali. Jawa Tengah menitikberatkan pada sikap keteladanan.

Dalam konteks kepemimpinan nasional, Nur Wahid berpesan agar momentum Idul Fitri dimaknai meski memiliki kekuasaan, tetap merasa sebagai hamba Allah. Hal ini berarti jangan menampilkan perilaku tidak sesuai ajaran agama, seperti korupsi, membiarkan pembalakan liar, maupun penangkapan ikan ilegal.

Ia juga berpesan agar Idul Fitri tidak dimaknai sebagai peristiwa datang dan pergi tanpa makna atau sekadar pulang ke kampung untuk pamer yang menghadirkan kesenjangan.

”Idul Fitri harus dimaknai untuk meningkatkan peran serta positif dan konstruktif di kawasan kita berada agar menjadi lebih bermartabat, lebih menghadirkan keteladanan dalam ukhuwah Islamiyah,” kata Nur Wahid.

Aktivitas Presiden

Sementara itu, di Istana Negara Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyelenggarakan open house. Rakyat berduyun-duyun datang dari berbagai daerah untuk menjabat tangan Presiden dan keluarganya.

Selain membuka rumahnya di Istana Negara, Yudhoyono dan anggota keluarga juga membuka rumahnya di Puri Cikeas Indah, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, pada hari kedua Lebaran. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid juga hadir di sana.

Acara yang dibuka pukul 11.00 itu sudah disesaki warga sejak pukul 09.00. Sama seperti di Istana Negara, open house di Cikeas juga diperpanjang lantaran masih banyak masyarakat yang berdatangan untuk bersilaturahim. (MDN/NDY/NIK/INU/GAL)

Tidak ada komentar: