Rabu, 02 Juli 2008

MEMAHAMI JILBAB DALAM ISLAM (3)

Siti Musdah Mulia

Halaman sebelumnyaSelain ayat tersebut, ayat-ayat lain yang menyinggung soal jilbab, adalah al-Ahzab, 32, 33 dan 53; serta an-Nur ayat-ayat: 30, 31 dan 60. Adapun hadis yang banyak dijadikan rujukan adalah hadis riwayat Aisyah dan hadis riwayat Abu Daud. Keduanya hadis ahad, bukan hadis mutawatir. Para pakar hukum umumnya sepakat menilai hadis ahad tidak kuat menjadi landasan hukum.

Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca dalam konteks sekarang terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi memakai jilbab hanya sekedar agar mereka dikenali; atau agar mereka dibedakan dari perempuan yang bersatus budak; atau agar mereka tidak diganggu laki-laki jahat. Di masa sekarang tidak ada lagi perbudakan, juga busana bukan ukuran untuk menetapkan identitas seseorang. Dewasa ini banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat perempuan terhormat dan disegani, misalnya dengan meningkatkan kualitas pendidikan, memberdayakan mereka dengan mengajarkan berbagai skill dan keterampilan, memenuhi hak-hak asasi mereka, khususnya hak-hak reproduksi mereka.

Jika ayat-ayat jilbab mengandung pesan moral untuk meninggikan martabat kaum perempuan, maka kaum perempuan modern ditantang oleh Islam untuk menunjukkan martabat tersebut yang perlindungannya ditetapkan oleh agama, tetapi dengan suatu cara atau berbagai cara yang selaras dengan lingkungan mereka yang modern. Artinya, ajaran Islam menghendaki para perempuan tetap terjaga moralitasnya, meskipun tidak menggunakan simbol-simbol seperti jilbab dan sebagainya.

Pembacaan yang seksama terhadap semua ayat dan hadis Nabi tentang jilbab, pada akhirnya membawa kepada suatu kesimpulan berikut. Jilbab pada hakikatnya adalah mengendalikan diri dari dorongan syahwat, dan membentengi diri dari semua perilaku dosa dan maksiat. Jilbab dengan demikian tidaklah terkait dengan busana tertentu, melainkan lebih berkaitan dengan takwa di dalam hati. Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga menimbulkan perhatian publik, dan yang pasti juga tidak untuk pamer (riya’).

Pemahaman tentang jilbab hendaknya dimulai dengan memahami tauhid, inti ajaran Islam. Tauhid, inti ajaran Islam mengajarkan bagaimana berketuhanan yang benar, dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Ajaran tauhid membawa kepada pengakuan akan persamaaan manusia di hadapan Tuhan dan keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, gender, ras, suku bangsa, dan bahkan agama. Pemahaman tauhid berimplikasi pada dua aspek ajaran: ajaran tentang ketuhanan (dimensi vertikal) dan kemanusiaan (dimensi horisontal). Yang pertama berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan (hablun minallah), sementara yang terakhir berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (hablun minannas). Sayangnya, dalam praktek beragama di masyarakat, dimensi horisontal ini tidak terwujud dengan baik dalam kehidupan penganutnya. Penganut agama lebih mengutamakan hubungan dengan Tuhan ketimbang dengan sesamanya manusia. Akibatnya, agama sering tampil dalam wajah yang tidak bersahabat, terutama terhadap perempuan.

Tidak ada komentar: