Rabu, 02 Juli 2008

AGAMA: RAHMAT ATAUKAH LAKNAT?

Pertanyaan di atas kadang-kadang terbetik dalam pikiran ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa semua agama besar tidak bebas dari kehadiran sebagian pemeluknya yang terlibat dengan tindak kekerasan, kekejaman dan pertumpahan darah yang memalukan dan memilukan, yang dilakukan atas nama agama. Tragedi ini terjadi tidak hanya di masa lalu akan tetapi juga berlangsung saat ini. Agama-agama yang oleh para penganjurnya dikhotbahkan sebagai pembawa kasih dan rahmat ternyata dalam kenyataan kita menyaksikan berbagai peristiwa yang bertolak belakang dari apa yang dikhotbahkan. Kita menyaksikan pemaksaan kehendak, sikap tidak toleran, mau menang sendiri bahkan sikap tidak mau berbagi tempat di bumi ini seolah-olah bumi ini milik mereka sendiri. Adalah sangat ironis ketika fenomena yang didengung-dengungkan sebagai kebangkitan agama-agama alih-alih memberikan harapan yang menjanjikan tapi justru menimbulkan ketakutan yang mencekam. Dalam konteks masyarakat kita berbagai peristiwa keagamaan yang terjadi akhir-akhir ini memperkuat konstatasi di atas. Timbul pertanyaan dalam pikiran kita bagaimana agama bisa meyakinkan kita akan kehidupan damai kelak dalam kehidupan setelah mati kalau agama justru menyulut kebencian dan kekerasan kini dan di sini?

Kalau kita mencoba menganalisa fenomena di atas boleh jadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hal-hal tersebut bisa terjadi karena memang terdapat potensi yang melekat dalam sifat hakiki dari agama itu sendiri. Agama diterima dan dipahami sebagai sesuatu yang bersifat “ultimate” yang berkaitan dengan keselamatan manusia, tidak saja dalam kehidupan sekarang ini tapi dan terutama dalam kehidupan nanti. Terdapat keinginan luhur dalam setiap penganut agama untuk berbagi keselamatan dengan orang lain, keluarganya, teman-temannya dan sesamanya. Masalah muncul ketika para penganut agama menerima agama juga sebagai “kebenaran mutlak” lebih-lebih ketika mereka berusaha memaksa orang lain juga menerimanya. Lebih parah lagi ketika mereka “memutlakkan” pemahamannya sendiri sebagai kebenaran. Karena itu tidak mengherankan apabilapara penganut agama merasa terpanggil untuk melakukan apa saja demi dan untuk agama mereka masing-masing.

Ungkapan yang sering kita dengar yang diucapkan oleh penganut suatu agama “siap mati demi dan untuk agama” bisa dibaca sebagai demi dan untuk kemurnian atau kemuliaan agama sehingga muncul istilah penyimpangan atau penghinaan terhadap agama. Agama yang mestinya berfungsi sebagai jalan oleh sebagian penganutnya telah dijadikan sebagai tujuan. Agama diperlakukan sebagai tuhan. Maka yang terjadi adalah bukan agama untuk manusia tapi sebaliknya manusia untuk agama. Ketika agama sudah dipertuhan maka agama bukan lagi menjadi rahmat.

Tidak ada komentar: