Rabu, 02 Juli 2008

MEMAHAMI JILBAB DALAM ISLAM (2)

Siti Musdah Mulia

Halaman sebelumnyaAda kaidah dalam hukum Islam, bahwa tidak satupun ulama atau komutas agama yang dapat mengklaim pandangannya sebagai suatu yang mutlak dan absolut. Sebab, pada tataran ijtihad semua pandangan adalah relatif dan nisbi, serta dapat diubah. Artinya, setiap ulama dan komunitas agama bisa saja mengklaim pendapatnya benar, tetapi yang lain pun dapat melakukan hal yang sama. Dalam konteks ini yang diharapkan adalah agar setiap penganut agama bisa menghargai pendapat orang lain, sepanjang orang itu tidak memaksakan pendapatnya atau tidak menyalahkan pendapat orang lain. Dengan demikian, yang diperlukan dalam beragama sesungguhnya adalah sikap menghargai dan menghormati orang lain apapun pilihan pendapatnya, dan perlunya kearifan dalam merespon perbedaan pendapat.

Lalu, apa yang dimaksud dengan jilbab? Kata jilbab adalah bahasa Arab, berasal dari kata kerja ‘jalaba’ bermakna “menutup sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat.” Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan jilbab. Sebagian pendapat mengatakan jilbab itu mirip rida’ (sorban), sebagian lagi mendefinisikannya dengan kerudung yang lebih besar dari khimar. Sebagian lagi mengartikannya dengan qina’, yaitu penutup muka atau kerudung lebar. Muhammad Said Al-Asymawi, mantan hakim agung Mesir menyimpulkan bahwa jilbab adalah gaun longgar yang menutupi sekujur tubuh perempuan. Jilbab dalam Islam sangat erat kaitannya dengan masalah aurat dan soal hijab.

Satu-satunya ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit menggunakan istilah jilbab adalah ayat 59 surah al-Ahzab: “Wahai Nabi, katakanlan kepada para isterimu dan anak-anak perempuanmu, serta para perempuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Sebab, yang demikian itu akan membuat mereka lebih mudah dikenali sehingga terhindar dari perlakuan tidak sopan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

Para ulama sepakat bahwa ayat tersebut merespon tradisi perempuan Arab ketika itu yang terbiasa bersenang ria. Mereka membiarkan muka mereka terbuka seperti layaknya budak perempuan, mereka juga membuang hajat di padang pasir terbuka karena belum ada toilet. Para perempuan beriman juga ikut-ikutan seperti umumnya perempuan Arab tersebut. Kemudian mereka diganggu oleh kelompok laki-laki jahat yang mengira mereka adalah perempuan dari kalangan bawah. Mereka lalu datang kepada Nabi mengadukan hal tersebut. Lalu turunlah ayat ini menyuruh para isteri Nabi, anak perempuannya dan perempuan beriman agar memanjangkan gaun mereka menutupi sekujur tubuh.

Muhammad Said Al-Asymawi berkata: 'illat hukum pada ayat-ayat jilbab, atau tujuan dari penguluran jilbab adalah agar perempuan-perempuan merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan perempuan-perempuan yang berstatus hamba sahaya dan perempuan-perempuan yang tidak terhormat. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi kerancuan menyangkut mereka dan agar masing-masing dikenal sehingga perempuan-perempuan merdeka tidak mengalami gangguan dan dengan demikian terpangkas segala kehendak buruk terhadap mereka. Bukti tentang kebenaran hal ini adalah 'Umar Ibn Khaththab ra. bila melihat seorang perempuan budak menggunakan penutup muka atau mengulurkan jilbabnya, beliau mencambuk perempuan itu. Ini guna membedakan mereka dengan perempuan-perempuan merdeka.

Tidak ada komentar: