Minggu, 29 Juni 2008

Makna Perdamaian dan Pluralisme Agama

Antara Taize dan Mopuya


Oleh Sumanto Al Qurtuby
Taize, sebuah desa kecil di jantung kota Burgundy, France, dikenal luas sebagai tempat "wisata rohani" atau "oasis spiritual" bagi individu dan komunitas pecinta perdamaian global, kebersamaan hidup, toleransi iman, ketentraman batin, dan pluralisme agama.

Di tempat itu tinggal beberapa ratus orang dari berbagai agama, terutama Protestan dan Katolik, dan (masing-masing) hidup damai serta saling menghargai perbedaan dan keragaman. Setiap orang dari berbagai agama dan tradisi bisa "merayakan" kebebasan iman dan perdamaian di sana. Karena wataknya yang unik, lintas-agama dan budaya, Taize tiap tahun menjadi tempat "jujugan" ribuan orang dari berbagai negara dan agama yang haus makna perdamaian dan pluralisme agama.

Didirikan Roger Louis Schutz-Marsauche (populer Brother Roger, lahir 1915) pada 1940, Taize pada mulanya didesain sebagai tempat semacam "rekonsiliasi" antara komunitas Protestan dan Katolik. Kita tahu, dua kelompok agama pengikut Yesus itu selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, hidup dalam permusuhan sejak Martin Luther mendeklarasikan 95 Tesis Reformasi yang ditempel di Gereja Wittenberg pada akhir abad ke-15 sebagai tanda penabuhan genderang perang melawan Katolik. Tetapi kini, Taize menjadi milik bersama siapa saja dari agama, negara, dan etnis mana saja bisa merayakan kebebasan spiritualitas, berdoa bersama, menyanyikan lagu-lagu "rohani" bersama-sama dalam semangat perdamaian dan tetap menghargai keunikan serta keragaman masing-masing tradisi. Karena jasanya dalam menebarkan perdamaian, toleransi, dan pluralisme, kematian Brother Roger pada 2005 diratapi banyak orang. Pope Benedict XVI menyebutnya sebagai "one of the best-loved Christian leaders of our time." Sementara Jacques Chirac menggelarinya "one of the most remarkable servants of the values of respect and tolerance." Gerhard Schroeder menyebutnya sebagai "one of the great contemporary personalities of religious life."

Sebagaimana Taize yang damai dan pluralis, Mopuya, sebuah dusun terpencil di Kecamatan Dumoga Utara, Kabupaten Bolmong, Sulawesi Utara, juga memiliki karakter yang kurang lebih sama: damai, toleran, dan pluralis. Desa itu dihuni penduduk dari berbagai agama: Islam, Hindu, Katolik, dan Kristen dari berbagai denominasi.

Uniknya, mereka membangun tempat ibadah bersama-sama. Bahkan, di Desa Mopuya Selatan, tempat-tempat ibadah itu dibangun dalam satu kompleks. Di kompleks tersebut terdapat Masjid Jami’ al-Muhajirin, Pure Puseh Umat Hindu, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya, Gereja Pantekosta, Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, dan GMIBM PGI Jemaat Immanuel Mopuya (Jawa Pos, 18 Maret 2008).

Tidak sebatas itu, komunitas agama di desa tersebut juga saling merayakan hari-hari besar agama masing-masing dalam semangat penuh kebersamaan serta saling menghargai perbedaan dan keragaman. Karena karakteristiknya yang unik, damai, dan pluralis, desa itu pernah menjadi proyek percontohan atau model toleransi dan pluralisme agama bagi masyarakat internasional. Pada waktu itu, Menteri Tarmizi Taher dan Gubernur E.E. Mangindaan pernah diundang pemerintah Amerika Serikat untuk presentasi mengenai kehidupan keberagamaan di Indonesia, khusunya komunitas Mopuya.

***

Saya sengaja memaparkan kehidupan keberagamaan komunitas Taize dan Mopuya karena melihat -di Indonesia khususnya- masalah perdamaian dan pluralisme berbasis agama saat ini sedang dalam tahap memprihatinkan. Banyak umat beragama, baik muslim maupun nonmuslim, yang salah baca dalam menilai konsep pluralisme. Kelompok keislaman tertentu di tanah air, misalnya, merasa terancam dengan paham pluralisme yang mereka baca sebagai penegasian kebenaran agama Islam.

Bahkan, MUI secara serampangan menyamakan pluralisme dengan "sinkretisme" -sebuah pencampuradukan paham keagamaan, penyamarataan doktrin kebenaran yang secara esensial, menurut mereka, bertentangan dengan Islam sebagai "satu-satunya jalan kebenaran."

Kelompok Kristen konservatif juga menganggap wacana pluralisme sebagai ancaman atas identitas, sendi-sendi, dan nilai-nilai kekristenan yang mereka yakini kebenarannya mutlak dari Tuhan, mengancam doktrin evangelisme dan misionarisme, dll. Karena itu, mereka juga menyerang kelompok Kristen moderat-pluralis dan menganggap mereka telah menyeleweng dari ajaran tradisional Kristen.

Kedua kelompok konservatif Kristen dan Islam tersebut sejauh yang saya tahu telah "salah baca" (misreading) dan salah pengertian (misunderstanding) terhadap konsep dan paham pluralisme.

Dalam hal ini, Profesor Diana Eck yang sedang memimpin program "Pluralism Project" dari Harvard Divinity School memberikan penjelasan menarik mengenai pemahaman pluralisme itu. Menurut dia, pluralisme berbeda dengan plurality atau diversity, keragaman. Diversity, kata Eck, adalah pluralitas yang alami, basic, simple, colorful, splendid, dan given sifatnya.

Sebaliknya, pluralisme adalah proses pergumulan yang bertujuan menciptakan masyarakat bersama yang dibangun atas dasar pluralitas itu. Dia memberi contoh di salah satu negara bagian AS, Maryland, tepatnya di jalan di Silver Spring terdapat berbagai tempat ibadah yang berdekatan seperti the Vietnamese Catholic church, the Cambodian Buddhist temple, the Ukraine Orthodox church, the Muslim Community Center, the Disciples of Christ church, dan the Mongol Mandir Hindu temple.

Itu adalah contoh diversity atau plurality, tetapi tanpa engagement (baca, dialog intensif atau pergumulan terus-menerus) antara satu komunitas dan lainnya, kata Eck, maka plurality itu tidak akan menjadi pluralism.

Jadi, kata kunci pluralisme adalah "pergumulan kreatif-intensif" terhadap fakta pluralitas itu. Tidak seperti plurality yang merupakan pemberian atau anugerah Tuhan (given), pluralisme adalah sebuah "prestasi" (achievement) bersama dari kelompok agama dan budaya yang berlainan untuk menciptakan apa yang oleh Eck disebut common society.

Lebih lanjut Eck yang juga penulis buku Encountering God itu memberikan empat karakteristik tentang pluralisme. Pertama, pluralisme berbeda dengan keberagaman itu sendiri, melainkan (pluralisme) adalah "the energetic engagement with diversity" -atau katakanlah, sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman.

Kedua, pluralisme tidak sekadar toleransi, melainkan proses pencarian pemahaman secara aktif menembus batas-batas perbedaan (active seeking of understanding across lines of difference). Ketiga, pluralisme bukan relativisme, tetapi "the encounter of commitments."

Dalam paradigma baru, pluralisme bukan berarti seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agama tertentu, melainkan inti pluralisme adalah perjumpaan komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain.

Seorang pluralis bukan berarti tidak mengakui eksistensi perbedaan agama. Sebab, perbedaan itu adalah nature (sunatullah) yang tidak bisa diabaikan. Tetapi, perbedaan agama tersebut dijadikan sebagai sumber bagi hubungan agama yang sehat, sebagai kekuatan pemersatu, bukan sebaliknya, melihat perbedaan itu sebagai faktor pemecah (divider) yang mengancam identitas keagamaan dan kebudayaan tertentu.

Dalam konteks ini, seorang pluralis akan memandang agama lebih sebagai "unite factor" ketimbang "divide one." Empat, pluralisme dibangun di atas basis dialog. Bahasa pluralisme adalah bahasa dialog dan perjumpaan, take and give, criticism and self-criticism. Dialog berarti berbicara sekaligus mendengarkan, dan proses dialog itu harus mengungkapkan common understanding serta fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat dan saling menghargai.

Perlu juga dicatat bahwa dialog berbeda dengan debat. Dalam dialog, target yang hendak dicapai adalah mutual understanding, bukan saling mengalahkan seperti dalam debat. Tidak ada kalah-menang dalam dialog. Inilah makna ketika Alquran menegaskan "bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal" (Q 49:13).

Kalimat "berbangsa-bangsa" dan "bersuku-suku" adalah fakta diversity atau plurality, sementara "untuk saling mengenal" (ta’aruf) adalah pemahaman tentang pluralisme tadi.

Karena itu, fakta pluralitas tersebut baru bisa dipahami jika kita umat beragama memiliki komitmen untuk berdialog yang merupakan roh pluralisme. Sementara dialog bisa dimengerti sebagai "a way of knowing or understanding." Dalam kerangka pemikiran ini, pluralisme setingkat lebih tinggi daripada toleransi.

Dalam toleransi tidak dibutuhkan pengetahuan (knowledge) dan pemahaman (understanding) atas "yang lain", sementara pluralisme mensyaratkan keduanya. Meskipun toleransi itu baik dan perlu dalam hubungan antaragama, ia tidak cukup kuat sebagai landasan dialog antaragama. Sebab, "budaya toleransi" (culture of tolerance) itu masih rawan dan rapuh untuk disusupi dan diprovokasi pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agama dan politik.

***

Dalam banyak hal, hubungan inter dan antaragama di Indonesia dan di mana pun saat ini masih berada pada level toleransi itu, belum sampai ke tahap pluralisme.

Karena itu, dibutuhkan usaha keras untuk memecah kebuntuan dan kesalahpahaman antar dan interumat beragama di tingkat elite, lebih-lebih di level akar rumput.

Program-program seperti Center for Religious and Cultural Studies (CRCS) di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta serta Indonesian Consortium for Religious Studies yang didirikan UGM, UIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) di Jogjakarta adalah bagian dari usaha intelektual untuk menciptakan kultur pluralisme di Indonesia yang perlu ditiru lembaga akademik lain.

Di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam di negeri ini juga perlu ada mata pelajaran cross-cultural or religious understanding yang melibatkan nonmuslim dalam proses pengajaran.

Demikian juga, perguruan tinggi-perguruan tinggi non-Islam perlu melibatkan para sarjana muslim dalam proses pengajaran. Keterbukaan menjadi kata kunci sekaligus prasyarat religious encounter yang sehat dan dinamis serta jalan terciptanya perdamaian global antarumat beragama.

Di tingkat akar rumput, komunitas ekumeni Taize dan kelompok agama Mopuya juga bisa dijadikan contoh yang baik tentang bagaimana agama bisa ditransformasikan sebagai kekuatan penggerak perdamaian, persatuan, toleransi, dan pluralisme, bukan sebagai motor kekerasan, perpecahan, dan antipluralisme sebagaimana dilakukan kelompok konservatif dan fundamentalis agama.

Dalam konteks Indonesia yang pluralistis, aplikasi paham pluralisme seperti dipaparkan dengan baik oleh Eck dan dipraktikkan dengan tulus oleh masyarakat Taize dan Mopuya adalah wajib ain hukumnya dan menjadi tanggung jawab masing-masing umat beragama.***

*Sumanto Al Qurtuby, mahasiswa PhD di bidang "Cultural Anthropology" dan Earhart Fellow di Institute on Culture, Religion, and World Affairs, Boston University, Massachusetts, United States

(Jawa Pos, Selasa-Rabu, 27-28 Mei 2008).

Tidak ada komentar: